Qardhawi: Hukum Donor Organ Tubuh Ketika Masih Hidup
Ada yang
mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan
sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka apakah seseorang itu memiliki tubuhnya
sendiri sehingga ia dapat mempergunakannya sekehendak hatinya, misalnya dengan
mendonorkannya atau lainnya?
Atau apakah tubuh itu merupakan titipan dari Allah yang tidak boleh ia
pergunakan kecuali dengan izin-Nya? Sebagaimana seseorang tidak boleh
memperlakukan tubuhnya dengan semau sendiri pada waktu dia hidup dengan
melenyapkannya dan membunuhnya (bunuh diri), maka dia juga tidak boleh
mempergunakan sebagian tubuhnya jikasekiranya menimbulkan mudarat buat
dirinya.
Namun demikian, perlu diperhatikan d isini bahwa meskipun tubuh merupakan
titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan
mempergunakannya, sebagaimana harta. Harta pada hakikatnya milik Allah,
sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Qur'an, misalnya dalam firman Allah: "...
dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya
kepadamu..." (QS An-Nur: 33)
Akan tetapi, Allah memberi wewenang kepada manusia untuk memilikinya dan
membelanjakan harta itu.
Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang
lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan
sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya.
Hanya perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau
membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh
anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan
dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat,
atau dari kehidupan yang sengsara.
Apabila seorang Muslim dibenarkan menceburkan dirinya ke laut untuk
menyelamatkan orang yang tenggelam, atau masuk ke tengah-tengah
jilatan api untuk memadamkan kebakaran, maka mengapakah tidak
diperbolehkan seorang Muslim mempertaruhkan sebagian wujud materiilnya (organ
tubuhnya) untuk kemaslahatan orang lain yang membutuhkannya?
Pada zaman sekarang kita melihat adanya donor darah, yang merupakan bagian dari
tubuh manusia, telah merata di negara-negara kaum Muslim tanpa ada seorang
ulama pun yang mengingkarinya. Bahkan mereka menganjurkannya atau ikut serta menjadi
donor. Maka ijma' sukuti (kesepakatan ulama secara diam-diam) ini menurut
sebagian fatwa yang muncul mengenai masalah ini menunjukkan bahwa donor
darah dapat diterima syara'.
Di dalam kaidah syar'iyah ditetapkan bahwa mudarat itu harus dihilangkan
sedapat mungkin. Karena itulah kita disyariatkan untuk menolong orang yang
dalam keadaan tertekan/terpaksa, menolong orang yang terluka, memberi makan
orang yang kelaparan, melepaskan tawanan, mengobati orang yang sakit, dan
menyelamatkan orang yang menghadapi bahaya, baik mengenai jiwanya maupun
lainnya.
Maka tidak diperkenankan seorang Muslim yang melihat suatu dharar (bencana,
bahaya) yang menimpa seseorang atau sekelompok orang, tetapi dia tidak berusaha
menghilangkan bahaya itu padahal dia mampu menghilangkannya, atau tidak
berusaha menghilangkannya menurut kemampuannya.
Karena itu saya katakan bahwa berusaha menghilangkan penderitaan seorang Muslim
yang menderita gagal ginjal misalnya, dengan mendonorkan salah satu ginjalnya
yang sehat, maka tindakan demikian diperkenankan syara', bahkan terpuji dan berpahala
bagi orang yang melakukannya. Karena dengan demikian berarti dia menyayangi
orang yang di bumi, sehingga dia berhak mendapatkan kasih sayang dari yang di
langit.
Islam tidak membatasi sedekah pada harta semata-mata, bahkan Islam menganggap
semua kebaikan (al-ma'ruf) sebagai sedekah. Maka mendermakan sebagian organ
tubuh termasuk kebaikan (sedekah). Bahkan tidak diragukan lagi, hal ini
termasuk jenis sedekah yang paling tinggi dan paling utama, karena tubuh
(anggota tubuh) itu lebih utama daripada harta, sedangkan seseorang mungkin
saja menggunakan seluruh harta kekayaannya untuk menyelamatkan (mengobati)
sebagian anggota tubuhnya. Karena itu, mendermakan sebagian organ tubuh karena
Allah Ta'ala merupakan qurbah (pendekatan diri kepada Allah) yang paling utama
dan sedekah yang paling mulia.
Kalau kita katakan orang hidup boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka
apakah kebolehan itu bersifat mutlak atau ada persyaratan tertentu? Jawabannya,
bahwa kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Maka seseorang tidak
boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan dharar,
kemelaratan, dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak
tetap atas dirinya.
Oleh sebab itu, tidak diperkenankan seseorang mendonorkan organ tubuh yang cuma
satu-satunya dalam tubuhnya, misalnya hati atau jantung, karena dia tidak
mungkin dapat hidup tanpa adanya organ tersebut; dan tidak diperkenankan
menghilangkan dharar dari orang lain dengan menimbulkan dharar pada dirinya.
Maka kaidah syar'iyah yang berbunyi, "Dharar (bahaya, kemelaratan,
kesengsaraan, nestapa) itu harus dihilangkan," dibatasi oleh kaidah lain
yang berbunyi, "Dharar itu tidak boleh dihilangkan dengan menimbulkan
dharar pula."
Para ulama ushul menafsirkan kaidah tersebut dengan pengertian: tidak boleh
menghilangkan dharar dengan menimbulkan dharar yang sama atau yang lebih besar
daripadanya.
Karena itu tidak boleh mendermakan organ tubuh bagian luar, seperti mata,
tangan, dan kaki. Karena yang demikian itu adalah menghilangkan dharar orang
lain dengan menimbulkan dharar pada diri sendiri yang lebih besar. Sebab dengan
begitu dia mengabaikan kegunaan organ itu bagi dirinya dan menjadikan buruk
rupanya.
Begitu pula halnya organ tubuh bagian dalam yang berpasangan tetapi salah satu
dari pasangan itu tidak berfungsi atau sakit, maka organ ini dianggap seperti
satu organ.
Hal itu merupakan contoh bagi yang dharar-nya menimpa salah seorang yang
mempunyai hak tetap terhadap penderma (donor), seperti hak istri, anak, suami,
atau orang yang berpiutang (mengutangkan sesuatu kepadanya).
Pada suatu hari pernah ada seorang wanita bertanya kepada saya bahwa dia ingin
mendonorkan salah satu ginjalnya kepada saudara perempuannya, tetapi suaminya
tidak memperbolehkannya, apakah memang ini termasuk hak suaminya?
Saya jawab bahwa suami punya hak atas istrinya. Apabila ia (si istri)
mendermakan salah satu ginjalnya, sudah barang tentu ia harus dioperasi dan
masuk rumah sakit, serta memerlukan perawatan khusus. Semua itu dapat
menghalangi sebagian hak suami terhadap istri, belum lagi ditambah dengan
beban-beban lainnya. Oleh karena itu, seharusnya hal itu dilakukan dengan izin
dan kerelaan suami.
Disamping itu, mendonorkan organ tubuh hanya boleh dilakukan oleh orang dewasa
dan berakal sehat. Dengan demikian, tidak diperbolehkan anak kecil mendonorkan
organ tubuhnya, sebab ia tidak tahu persis kepentingan dirinya, demikian pula
halnya orang gila.
Begitu juga seorang wali, ia tidak boleh mendonorkan organ tubuh anak kecil dan
orang gila yang di bawah perwaliannya, disebabkan keduanya tidak mengerti.
Terhadap harta mereka saja wali tidak boleh mendermakannya, lebih-lebih jika ia
mendermakan sesuatu yang lebih tinggi dan lebih mulia daripada harta, semisal
organ tubuh.
0 Response to "Qardhawi: Hukum Donor Organ Tubuh Ketika Masih Hidup"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!