Kezhaliman Kepada Manusia
Kezhaliman Kepada Manusia - Sedangkan
kezhaliman kepada manusia, di dalamnya juga terdapat kemaksiatan dan
pelanggaran terhadap hak Allah SWT. Karena Allah SWT juga melarang melakukan
kezhaliman kepada manusia. Yang berkaitan dengan hak Allah SWT dapat dihapuskan
dengan penyesalan, merasakan kerugian, serta tidak akan melakukan perbuatan
semacama itu lagi nantinya. Kemudian ia mengerjakan kebaikan yang menjadi lawan
keburukan itu. Tindakan aniaya yang ia lakukan terhadap manusia dihapus dengan
berbuatan baik kepada mereka. Dan tindakan mengambil harta mereka dihapuskan
dengan bersadaqah dengan hartanya yang halal. Ghibah dan celaan yang ia
lontarkan atas mereka diganti dengan memuji mereka. Serta menampilkan kebaikan
mereka dan orang-orang semacamnya. Membunuh manusia ditebus dengan membebaskan
budak, karena itu adalah suatu bentuk penghidupan. Karena hamba yang menjadi
budak adalah: ia hilang bagi dirinya sendiri dan ada bagi tuannya. Pembebasan
budak adalah suatu pengadaan yang dapat dilakukan oleh manusia, dan ia tidak
dapat melakukan yang lebih dari itu. Pelenyapan ditebus dengan pengadaan yang
telah ditentukan.
Dari ini
diketahui, cara penghapusan dosa dengan melakukan kebalikannya itu, mempunyai
landasan syari'atnya. Yaitu syari'at memerintahkan menghapus dosa membunuh
dengan membebaskan budak. Kemudian jika ia telah melakukan itu semua, tetap
tidak mencukupi untuk menebus dosanya jika ia belum mengeluarkan hak orang lain
yang ada padanya akibat kezaliman yang ia lakukan. Kezaliman terhadap orang
lain itu dapat berupa jiwa, harta, kehormatan diri, dan hati, maksudnya
tindakan aniaya.
Sedangkan jiwa,
jika ia melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja, maka taubatnya itu adalah
dengan memberikan diyat [Dosa ini juga mempunyai cara penghapusan yang lain,
yaitu membebaskan hamba sahaya yang mu'min, dan jika ia tidak menemukan hamba
itu maka ia dapat pula melakukan puasa sebanyak dua bulan berturut-turut.], dan
menyampaikan diyat itu kepada orang yang berhak. Diyat itu dikeluarkan darinya
atau dari keluarganya. Dan ia masih belum bebas selama diyat itu belum sampai
kepada yang berhak. Namun jika pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja dan
mengharuskan ia diqishash maka penebusan itu adalah dengan qisas. Jika ia tidak
diketahui, maka ia harus mengakuinya kepada keluarganya, dan meminta agar
mereka menghukumnya. Jika mereka mau maka mereka memaafkannya, dan jika mereka
mau dapat pula mereka membunuhnya. Dan tanggungannya itu tidak jatuh kecuali
dengan cara itu, dan ia tidak boleh menyembunyikan diri.
Tidak demikian
halnya jika ia berzina, atau minum minuman keras, mencuri, merampok, atau
melakukan tindakan yang mewajibkannya menanggung had Allah SWT. Dalam hal
seperti ini, ketika ia ingin taubat, ia tidak harus membuka rahasia pribadinya
itu, kemudian meminta kepada pihak yang berwenang untuk menunaikan hak Allah
SWT. Namun sebaliknya, ia harus menutupi dirinya itu, dan melakukan hukum Allah
atas dirinya sendiri dengan berbagai macam mujahadah dan penyiksaan diri.
Karena ampunan dari pelanggaran terhadap hak-hak Allah SWT amat dekat dengan orang-orang
yang menyesal dan bertaubat.
Namun jika
perbuatannya itu kemudian ia laporkan kepada pihak yang berwenang, dan ia
kemudian dikenakan had sebagai hukumannya, maka taubatnya menjadi sah dan
diterima oleh Allah SWT. Dengan dalil dari hadits sahih bahwa Ma'iz bin Malik
datang kepada Rasulullah Saw dan berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah
berlaku zhalim terhadap diriku dan aku telah berzina, saat ini aku ingin agar
baginda membersihkan saya! Kemudian Rasulullah Saw menyuruhnya pulang. Pada
keesokan harinya ia kembali berkata: wahai Rasulullah Saw, aku telah berzina!
Kemudian Rasulullah Saw kembali menyuruhnya pulang. Dan pada kesempatan yang
ketiga Rasulullah Saw memerintahkan agar menggali sebuah lobang dan merajamnya.
Saat itu manusia mempunyai dua pendapat: satu kelompok berpendapat: ia telah
binasa, dan kesalahannya itu menghancurkannya! Sementara pihak yang lain
berkata: tidak ada taubat yang lebih lurus dari taubatnya. Kemudian Rasulullah
Saw bersabda:
"Sesungguhnya
ia telah bertaubat dengan taubat yang jika dibagi kepada seluruh umat niscaya
akan mencukupinya " [Hadits dikeluarkan oleh Muslim dari hadits Buraidah
bin Khashib]
Kemudian tentang
qishash dan had qadzaf (menuduh zina orang baik-baik), harus diteliti orang
yang berhak atas had itu.
Dan jika yang ia
lakukan berkaitan dengan harta, seperti melakukan ghashab, khianat atau menipu
dalam berjual beli dengan bermacam cara pengelabuan, seperti beriklan dengan
tidak benar, menutupi kekurangan barang yang ia jual, mengurangi bayaran terhadap
orang yang ia sewa atau tidak memberikan uang lelahnya sama sekali... seluruh
perkara itu harus ia teliti kembali, tidak dari masa balighnya, tapi dari awal
keberadaannya di muka bumi. Maka jika ada suatu kewajiban yang terdapat dalam
harta seorang anak kecil, maka saat baligh kewajiban itu harus ia tunaikan,
jika orang yang menjadi walinya tidak melaksanakannya.
Jika ia tidak
menunaikannya maka ia menjadi orang yang zalim dan terus harus menunaikannya.
Karena dalam masalah harta, hak orang dewasa dengan anak-anak adalah sama. Maka
ia harus menghitung hingga harta sekecil biji beras sekalipun, dari semenjak
awal kehidupannya hingga hari taubatnya. Sebelum ia ditanyakan di hari kiamat
nanti. Hendaklah ia berdialog secara terbuka dengan dirinya sendiri sebelum ia
diteliti nanti. Siapa yang tidak memperhitungkan dirinya di dunia, maka
perhitungannya itu akan dijalankan di akhirat.
Jika ia telah
mencapai suatu pendapat yang kuat, disertai semacam ijtihad sedapat mungkin,
maka hendaklah ia menulisnya, dan menulis orang-orang yang mempunyai hak
atasnya satu-persatu. Kemudian ia mencari mereka ke seluruh penjuru dunia, dan
meminta maaf serta meminta dihalalkan oleh mereka, atau ia menunaikan hak-hak
mereka. Taubat seperti ini sulit untuk dilakukan oleh orang yang biasa berlaku
zhalim, juga bagi para pedagang, karena mereka tidak dapat meminta maaf kepada
seluruh orang yang berinteraksi dengan mereka, juga kepada para ahli warisnya.
Namun masing-masing mereka dapat melakukan sejauh apa yang mereka dapat
kerjakan. Dan jika mereka tidak dapat melakukannya maka tidak ada jalan lagi
baginya, kecuali hanya dengan memperbanyak kebaikan, hingga pada hari kiamat
nanti kebaikan itu dapat diambil oleh orang-orang yang ia zalimi. Dan hendaknya
kebaikannya itu sebanyak kezaliman yang telah ia lakukan. Karena jika kebaikan
itu tidak mencukupi untuk membayar kezaliman yang telah ia lakukan, maka ia
akan dibebani dengan dosa orang-orang yang ia zalimi itu, maka ia pun binasa
karena keburukan orang lain itu!!
Inilah cara
seluruh orang yang melakukan taubat dalam mengembalikan kezaliman yang mereka
kerjakan. Dan itu akan menghabiskan seluruh usia mereka untuk melakukan
kebaikan, jika usianya memang panjang, sesuai dengan panjangnya masa dan
luasnya kezaliman mereka. Padahal ia tidak tahu kapan ia mati? Dan barangkali
ajalnya sudah dekat? Usaha keras dia untuk melakukan kebaikan itu amat
dituntut, karena waktu yang ia miliki amat sempit, dibandingkan waktu saat ia
melakukan keburukan. Ini adalah hukum kezaliman yang masih berada dalam
tanggungannya.
Sedangkan harta
yang saat ini ada di tangannya, hendaklah ia kembalikan kepada pemiliknya, jika
ia mengetahui siapa pemiliknya. Dan jika ia tidak mengetahuui siapa pemiliknya,
maka hendaklah ia mensedekahkan harta itu. Jika yang halal bercampur dengan
yang haram, maka hendaklah ia mengetahui kadar harta yang haram semampu dia.
Kemudian mensedekahkan jumlah itu seperti telah dijelaskan dalam buku al halal
wa al haram.
Sedangkan
kesalahan menyakiti hati orang adalah dengan meminta maat kepada orang yang ia
sakiti atau ia bicarakan keburukannya (ghibah). Hendaklah ia meminta maaf
kepada semua orang yang ia telah sakiti dengan lidahnya, atau ia sakiti hatinya
dengan suatu perbuatannya, secara satu persatu. Sedangkan orang yang telah mati
atau tidak ia temukan, maka ia hanya dapat menutup kesalahannya kepada mereka
itu dengan memperbanyak kebaikan, dan nnantinya kebaikan itu akan diambil
sebagai ganti tindakan aniayanya oleh orang yang ia aniaya tadi, pada hari
kiamat. Sedangkan orang yang dapat ia temukan, kemudian orang itu memaafkannya
dengan ridha, maka ia telah mendapatkan penghapus kesalahannya. Dan ia harus
memberitahukan kesalahan yang telah ia lakukan kepadanya. Karena meminta maaf
dari kesalahan yang tidak jelas adalah tidak cukup. Karena kalau ia tahu
tindakan buruk dan aniaya yang ia lakukan kepadanya, barangkali orang itu tidak
akan memaafkannya. Dan ia akan menyimpan itu pada hari kiamat, hingga nanti ia
mengambil kebaikan orang yang berbuat jahat kepadanya itu atau ia nanti
membebani kesalahannya.
Sedangkan
kesalahan kepada orang lain yang jika ia beritahukan akan membuat orang lain
itu teraniaya, seperti ia telah berzina dengan budaknya, atau keluarganya, atau
ia menyebutkan salah satu aibnya yang tersembunyi, yang akan membuatnya amat
marah, maka pintu untuk maaf kepadanya baginya telah tertutup. Namun ia tetap
harus mendapatkan maafnya, dan kezaliman yang ia lakukan itu ia tebus dengan
amal kebaikan, seperti kezaliman terhadap orang yang telah mati atau tidak ada.
Sedangkan jika
ia menyebutnya dan mengakuinya, itu akan menjadi keburukan baru yang harus ia
mintakan maaf lagi. Meskipun ia telah menyebutkan kesalahannya dan ia
mengakuinya kepada orang yang telah menjadi korbannya, kemudian orang itu tidak
memaafkannya maka ia tetap menanggung kesalahan itu. Karena itu adalah haknya,
dan ia harus siap menghadapinya. Dan berusaha untuk menjalankan kepentingan dan
tujuannya. Serta menunjukkan cinta dan sayang kepadanya, sehingga hatinya
senang. Karena manusia adalah hamba dari kebaikan. Orang yang lari dari
keburukan akan mendekat karena kebaikan. Dan jika hatinya telah senang karena
ia telah berusaha terus berbuat baik kepadanya, maka dirinya dapat
memaafkannya. Jika ia terus tidak memaafkan, maka usaha berbaik-baik dengannya
itu akan menjadi bagian dari kebaikan yang mungkin dapat menebus kesalahannya
pada hari kiamat nanti. Dan usaha untuk berbuat baik dengannya itu hendaklah
sama dengan kadar usaha yang telah ia lakukan untuk membuatnya teraniaya.
Sehingga keduanya ditimbang, dan keburukannya masih lebih banyak, maka Allah
SWT akan mengambil kebaikannya itu sebagai ganti keburukan pada hari kiamat
nanti. Seperti orang yang telah mencuri harta orang lain, kemudian ia ingin
mengganti dengna jumlah yang sama, namun orang yang ia curi tidak mau menerima
dan tidak pula memaafkannya, maka hakim memutuskan baginya untuk menangkap
orang yang mencuri itu. Baik ia mau atau tidak. Begitu pula hukum pada hari
kiamat nanti oleh Allah Yang Mengadili dan Yang Maha Adil.
Sedangkan tekad
yang berkaitan dengan masa depan, adalah ia berjanji kepada Allah SWT dengan
janji yang kuat, serta bersumpah dengan setinggi-tinggi sumpah, bahwa ia tidak
akan kembali menjalankan dosa itu atau sejenisnya. Seperti orang yang tahu saat
ia sakit bahwa apel akan membuat sakitnya makin parah, maka ia bertekad untuk
tidak memakan apel itu selama ia sakit. Dan tekad itu ia pancangkan saat itu
juga, meskipun ia tahu bahwa ia dapat dikalahkan oleh syahwatnya untuk
memakannya. Namun orang tidak mungkin bertaubat jika ia belum sepenuhnya
bertekad saat itu juga [Ihya Ulumuddin: juz 4 hal. 34-38, dengan sedikit
peringkasan dalam pengutipan]
Penjelasan al
Ghazali tentang perkara yang berkaitan dengan hak-hak hamba, secara global
dapat diterima bersama. Namun Ibnu Qayyim mempunyai penjelasan terperinci
tentang beberapa hal, seperti akan kami sebutkan nanti.
Sedangkan yang
berkaitan dengan hak-hak Allah SWT, ada pendapat lain berkaitan dengan shalat,
dan qadhanya. Menurut pendapat madzhab yang empat: harus diqadha shalat yang
telah ia tinggalkan itu, meskipun telah lewat puluhan tahun, ia mengqadhanya
sebanyak yang telah ia tinggalkan sepanjang waktu itu.
Pendapat kedua
mengatakan: shalat yang dapat diqadha adalah shalat yang ia tinggalkan karena
tidur atau terlupa saja, seperti disebutkan dalam hadits sahih. Sedangkan
shalat yang sengaja ia tinggalkan, maka ia tidak mempunyai kesempatan lagi
untuk mengqadhanya. Ia hanya dapat menebusnya dengan memperbanyak shalat
sunnah, menjalankan shalat waktu dengan baik sesuai dengan yang disenangi Allah
SWT, dalam ruku', sujud dan khusyu'.
Pendapat ini
melihat orang yang baru mulai shalat setelah lama tidak mengerjakannya, seperti
orang yang baru masuk Islam. Ia memulai lembaran barunya dengan Allah SWT, dan
mengejar untuk melakukan perbuatan baik, serta dengan segera mencapai ampunan
Rabbnya dan surga yang seluas langit dan bumi.
Tentang masalah
ini terdapat banyak pendapat. Dapat dilihat pada juz 1 dari kitab "madarij
Salikin" karya Ibnu Qayyim. Ibnu Qayyim dan syeikhnya Ibnu Taymiah
menguatkan pendapat yang mengatakan tidak dapat diqadha. Dan pendapat itu pula
yang aku condong untuk memilihnya, bagi orang yang telah telah menghabiskan
usianya yang panjang namun ia tidak pernah melakukan shalat.
Kemudian mari
kita teliti sejenak tentang hak-hak manusia.
Oleh: DR. Yusuf Qardhawi
0 Response to "Kezhaliman Kepada Manusia"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!