Konsep pajak Pada Masa Rasulullah dan Khulafa Al-rasyidin

Pada Masa Rasulullah
Pada masa pemerintahannya, Rasulullah SAW menerapkan jizyah, yakni pajak yang dibebankan kepada orang-orang non muslim, khususnya ahli kitab, sebagai jaminan perlindungan jiwa, harta milik, kebebasan menjalankan ibadah, serta pengecualian dari wajib militer. Besarnya jizyah adalah satu dinar pertahun untuk setiap orang laki-laki dewasa yang mampu membayar. Perempuan, anak-anak, pengemis, pendeta, orang tua, penderita sakit jiwa dan semua yang menderita penyakit dibebaskan dari kewajiban ini.
Disamping itu, Rasulullah SAW juga menerapkan sistem Kharaj, yaitu pajak tanah yang dipungut dari kaum non muslim ketika wilayah Khaibar ditaklukkan, tanah hasil taklukan diambil alih oleh kaum muslimin dan pemilik lamanya diberi hak untuk mengolah tanah tersebut dengan status sebagai penyewa dan bersedia memberikan separo hasil produksinya kepada negara. Rasulullah SAW mengirim orang-orang yang ahli untuk menaksir jumlah keseluruhan hasil produksi. Setelah mengurangi sepertiga sebagai konpensasi dari kemungkinan kelebihan penaksiran, dan sisanya yang duapertiga dibagi-bagikan, setengahnya untuk negara dan setengahnya untuk para penyewa. Dalam perkembanganya, kharaj menjadi sumber pemasukan bagi Negara.

Masa Khulafa Al-rasyidin
Pada masa khalifah Umar, mengintruksikan kepada gubernur agar menarik zakat dari satu kuda yang berniali 20.000 sebesar satu dinar dan didistribusukan kepada Fakir miskin serta budak-budak.
Paska penaklukan Syria, Sawad (Iarak) dan Mesir, pendapatan Bait al-Mal meningkat secara subtansial, kharaj dari Sawad mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir dua juta dinar. Dalam penetapan kharaj, khalifah Umar sangat teliti dan memperhatikan jangan sampai memberikan beban yang melebihi dari kemampuan penyewa. Khalifah Umar menentukan jizyah senantiasa melihat situasi dan kondisi daerah yang berbeda-beda. Kepada penduduk Syam dan Mesir, ditentukan 4 dinar bagi yang kaya, 2 dinar bagi kalangan menengah, dan 1 dinar bagi orang miskin yang mempunyai penghasilan. Dan mewajibkan kepada mereka untuk memberi makan kepada tentara muslim. Kepada penduduk Irak, diwajibkan membayar jizyah sebesar 48 dirham bagi orang kaya, 24 dirham bagi kalangan menengah, dan 12 dirham bagi orang miskin yang berpenghasilan.
Khalifah Utsman membuat beberapa perubahan administrasi tingkat atas dan pergantian gubernur, untuk menutupi kebutuhan dana negara. Hasilnya, ada peningkatan pemasukan dari kharaj dan jizyah yang berasal dari Mesir meningkat dua kali lipat dari 2 juta dinar menjadi 4 juta dinar, setelah dilakukan pergantian gubernur dari Amr kepada Abdullah bin Said.
Khalifah Utsman menerapkan kebijakan membagi-bagikan tanah negara kepada individu-individu untuk tujuan reklamasi, dari hasil kebijakan ini negara memperoleh pendapatan sebesar 50 juta dirham atau naik 41 juta dirham jika di bandingkan pada masa khalifah umar yang tidak membagi-bagikan tanah tersebut.
Khalifah Ali, menetapkan pajak terhadap para pemilik hutan sebesar 4000 dirham dan mengizinkan Ibnu Abbas, gubernur Kufah memungut zakat terhadap sayuran segar yang akan diadakan sebagai bumbu masakan.
Khalifah Ali, menolak pendapat Khalifah Umar dalam pendistribusian Bait al-Mal dengan tidak mendistribusikan seluruh pendapatannya, tetapi menyimpan sebagai cadangan. Beliau mendistribusikan seluruh pendapatan dan provisi yang ada di Bait al-Mal Madinah, Basrah, dan Kufah. Sistem distribusi setiap pekan sekali mulai diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran. Hari itu, semua perhitungan diselesaikan dan pada hari sabtu mulai perhitungan baru. Cara ini sebagai solusi terbaik secara hukum dan kondisi negara dalam masa-masa transisi.
Pada masa khalifah Ali, alokasi pengeluaran kurang lebih masih tetap sama sebagaimana halnya masa khalifah Umar, pengeluaran untuk armada laut dihilangkan, karena sepanjang wilayah pantai Syria, Palestina, dan Mesir berada dalam kekuasaan Muawiyah. Khalifah Ali mempunyai konsep yang jelas tentang pemerintahan, administrasi umum dan masalah-masalah yang berkaitan dengannya. Konsep ini dijelaskan dalam suratnya yang terkenal kepada Malik Asther bin Haris. Surat tersebut berkaitan dengan tanggung jawab dan kewajiban para penguasa, penegakan keadilan, pendapatan pegawai administrasi dan pengadaan bendahara.
Berkaitan dengan pembahasan pajak tidak lepas dari adanya pembiayaan yang dilakukan oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan. Kegiatan pemerintah semakin meningkat baik dalam masyarakat kapitalis maupun lebih-lebih dalam masyarakat sosialis. Sebagai konsekuensinya maka diperlukan pembiayaan-pembiayaan atau pengeluaran pemerintah yang tidak sedikit jumlahnya sesuai dengan semakin luasnya kegiatan pemerintah itu. Agar supaya biaya bagi pengeluaran pemerintah itu dapat dipenuhi maka pemerintah memerlukan penerimaan.

Referensi:
Yusuf Qardlawi, 1997. Hukum Zakat. Jakarta; Pustaka Litera InterNusa
Nuruddin Ali Mhd., 2006. Zakat Sebagai Instrumen Dalam Kebijkan Fiskal. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Konsep pajak Pada Masa Rasulullah dan Khulafa Al-rasyidin"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!