Kewarisan Kakek Bersama Saudara Menurut Para Sahabat
Kewarisan Kakek Bersama Saudara Menurut Para Sahabat - Para ulama sepakat bahwa ayah menghalangi kakek, dan kakek menggantikan ayah dengan menerima bagian tertentu saja dalam keadaan si mati meninggalkan keturunan laki-laki, dan hanya menerima ‘asabah saja jika si mati tidak meninggalkan keturunan yang menjadi ahli waris, baik laki-laki maupun perempuan, dan menerima bagian tertentu dan ‘asabah dalam hal si mati meninggalkan keturunan perempuan yang menjadi ahli waris. Mereka sepakat pula bahwa ayah dan kakek menghalangi saudara seibu, dan ayah menghalangi saudara sekandung dan saudara seayah, sementara saudara seibu akan mendapat waris hanya ketika kalalah. Tetapi mereka berbeda pendapat apakah kakek dalam hal menggantikan ayah, dapat menghalangi saudara sekandung dan saudara seayah? ataukah dalam hal ini tidak dapat menggantikan ayah sehingga tidak dapat menghalangi mereka?. Berikut dua golongan sahabat yang berselisih:
Pertama: Abu Bakar al-Siddiq, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Zubair, Abii bin Ka'ab, Huzaifah bin al-Yaman, Abi Sa‘id al-Khudri, Mu‘ad bin Jabal, Abi Musa al-Asy'ary, 'Aisyah, Abu Tsaur, Al-Muzanni, Mereka menyatakan, Banu al-A'ayan (saudara laki-laki dan perempuan kandung/ seayah dan seibu), Banu al-'Allat (saudara laki-laki dan perempuan seayah), Banu al-Akhyaf (saudara laki-laki dan perempuan seibu), terhalangi (gugur) hak warisnya dengan adanya kakek. Mereka beralasan bahwa kakek akan mengganti kedudukan ayah bila telah tiada, dan memandang kakek sebagai ayah secara mutlak. Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt:
"Dan Aku pengikut agama bapak-bapakku yaitu Ibrahim, Ishak dan Ya'qub......." (Yusuf : 38)
Juga hadis Nabi SAW:
"hubungkanlah fara'id kepada ahlinya. Maka sisanya untuk 'ashabah laki-laki yang lebih utama".
Kakek lebih utama dari pada saudara, sebagaimana kaidah dalam ‘asabah mendahulukan arah ayah dari pada arah saudara. Atas dasar ini mereka berkesimpulan bahwa jika ada kakek, maka para saudara tidak mendapatkan bagian, karena kakek menindih mereka sebagai ayah.
Kedua: Pendapat ini dianut oleh jumhur sahabat dan tabi‘in, yakni Zaid bin Sabit, Umar bin Khattab, Usman, Ali bin Abi Talib, Ibnu Mas‘ud, Auza'i, al-Sauri. Para saudara laki-laki atau perempuan kandung dan seayah berhak mendapat hak waris ketika bersamaan dengan kakek. Kakek tidaklah menggugurkan hak waris para saudara kandung dan yang seayah. Alasan yang dikemukakan golongan kedua ini ialah bahwa derajat kekerabatan saudara dan kakek dengan pewaris sama, kedekatan kakek terhadap pewaris melewati ayah, demikian juga saudara dan kewarisan saudara dengan jelas diterangkan dalam al- Qur'an dimana kewarisan saudara tidak ada keterangan yang dapat menghijabnya baik nas maupun ijma'.
Di pihak Umar yang sering mempunyai intuisi tajam terhadap maksud dan tujuan nas, sangat menaruh perhatian terhadap masalah kalalah yang juga erat kaitannya dengan masalah jad ma‘a al-ikhwah (kakek bersama saudara), karena kalalah adalah bagaimana al-ikhwah mendapatkan warisan dan jad ketika mewaris bersama-sama ikhwah sama halnya dengan mewarisnya ikhwah. Ketidaksediaan Rasul saw. menjawab pertanyaan Umar, r.a tentang arti kalalah secara tegas, lebih menguatkan adanya keizinan untuk mengijtihadkannnya, sesuai kondisi saat itu. Tetapi riwayat-riwayat menunjukkan beliau tidak menemukan keyakinan yang mantap dari pendapat-pendapatnya dan cenderung tawaqquf (tidak ada keputusan tertentu) di masa akhir hidupnya, baik itu masalah kalalah mupun jad ma‘a al-ikhwah. Dari sekian banyak pendapat sahabat Umar r.a dapat ditarik konklusi kewarisan jad ma‘a al-ikhwah, yaitu:
- Ikhwah lebih berhak mewaris, sehingga mereka menggugurkan bagian jad.
- Jad dapat mewaris, akan tetapi ia tidak mendapat bagian tertentu. Karena bagiannya akan ditentukan hakim. Berapa selayaknya dia mendapatkan warisan adalah menjadi keputusan hakim.
- Jad akan isytirak (bersekutu mendapat waris) dengan saudara laki-laki dan perempuan, baik saudara yang sekandung maupun yang sebapak.
- Jad dapat menggugurkan bagian ikhwah (beberapa saudara laki-laki) dan akhwat (beberapa saudara perempuan). Sehingga jika ia mewaris bersama-sama dengan jad, maka mereka semuanya tidak akan mendapatkan bagian waris sama sekali.
- Tawaqquf terhadap masalah ini. Hal ini adalah keputusan Umar yang terakhir, demikian juga pendapatnya tentang kalalah, dalam artian ijtihad dan pertimbangannya terhadap nas-nas yang ada, tidak sampai menimbulkan konklusi dan keputusan final. Sebagaimana diriwayatkan dari Umar, ia berkata, "dalam masalah jad, saya telah memutuskan tujuh puluh putusan dan saya tidak tahu apakah dari putusan itu ada yang yang benar atau tidak ". Diriwayatkan darinya juga, "kenapa dulu nabi tidak memutuskan masalah jad dengan keputusan yang pasti?". Kemudian beliau menyerahkan keputusan masalah kalalah dan jad ma‘a al-ikhwah kepada orang-orang muslim setelahnya.
Referensi:
-Hasan Ahmad al-Khatib, al-Fiqh al-Muqaranah, (Beirut: Dar al-Fikr, tt)
-Ibnu Rusydi al-Qurthuby, Bidayatul al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasyid, Juz V, (Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1996)
-Muhammad Baltaji, Minhaj Umar bin al-Khatab fi Tasyri' Dirasah Mustau'ibah Lifiqhi Umar wa tanzimtuhu, alih bahasa Masturi Irham, (Jakarta: Khalifa, 2005)
0 Response to "Kewarisan Kakek Bersama Saudara Menurut Para Sahabat"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!