Empat Sumber Hukum dalam Aswaja
Di dalam menentukan hukum fiqih, madzhab Ahlussunnah
wal Jama’ah (Aswaja) bersumber kepada empat pokok; Al-Qur’an, Hadits/as-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Secara singkat, paparannya sebagai berikut;
Al-Qur’an
Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama dalam
pengambilan hukum. Karena Al-Qur’an adalah perkataan Allah yang merupakan
petunjuk kepada ummat manusia dan diwajibkan untuk berpegangan kepada
Al-Qur’an. Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 2; Al-Maidah Ayat 44-45,
47 :
ذلِكَ
اْلكِتَبَ لاَرَيْبَ فِيْهِ هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ
“Kitab (Al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya
petunjuk bagi mereka yang bertaqwa”.
(Al-Baqarah; 2)
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلكفِرُوْنَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut
apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang kafir”.
Tentu dalam hal ini yang bersangkutan dengan aqidah,
lalu;
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ الظّلِمُوْنَ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut
apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah orang-orang yang dhalim”.
Dalam hal ini urusan yang berkenaan dengan hak-hak
sesama manusia
وَمَنْ
لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلئِكَ هُمُ اْلفسِقُوْن َ
“Dan barang siapa yang tidak memutuskan hukum menurut
apa yang diturunkan Allah maka mereka adalah golongan orang-orang fasik”.
Dalam hal ini yang berkenaan dengan ibadat dan
larangan-larangan Allah.
Al-Hadits/Sunnah
Sumber kedua dalam menentukan hukum ialah sunnah
Rasulullah ٍSAW.
Karena Rasulullah yang berhak menjelaskan dan menafsirkan Al-Qur’an, maka
As-Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an. Allah berfirman dalam
Al-Qur’an surat an-Nahl ayat 44 dan al-Hasyr ayat 7, sebagai berikut;
وَاَنْزَلْنَا
اِلَيْكَ الذِكْرَ لِتُبَيِنَ لِلنَّاسِ مَانُزِلَ اِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ
يَتَفَكَّرُوْنَ
“Dan kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu
menerangkan kepada ummat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya
mereka memikirkan”. (An-Nahl : 44)
وَمَاءَاتَكُمُ
الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَانَهكُمْ عَنْهُ فَانْتَهَوْاوَاتَّقُوْااللهَ, اِنَّ
اللهَ شَدِيْدُاْلعِقَابِ
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka ambillah dia,
dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada
Allah, sesungguhnya Allah sangat keras sikapnya”.
(Al-Hasyr: 7)
Kedua ayat tersebut di atas jelas bahwa Hadits atau
Sunnah menduduki tempat kedua setelah Al-Qur’an dalam menentukan hukum.
Al-Ijma’
Yang disebut Ijma’ ialah kesepakatan para Ulama’ atas
suatu hukum setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW. Karena pada masa hidupnya Nabi
Muhammad SAW seluruh persoalan hukum kembali kepada Beliau. Setelah wafatnya
Nabi maka hukum dikembalikan kepada para sahabatnya dan para Mujtahid.
Kemudian ijma’ ada 2 macam :1. Ijma’ Bayani (الاجماع البياني ) ialah apabila
semua Mujtahid mengeluarkan pendapatnya baik berbentuk perkataan maupun tulisan
yang menunjukan kesepakatannya.
2. Ijma’ Sukuti (الاجماع السكوتي) ialah apabila sebagian Mujtahid mengeluarkan pendapatnya dan
sebagian yang lain diam, sedang diamnya menunjukan setuju, bukan karena takut
atau malu.
Dalam ijma’ sukuti ini Ulama’ masih berselisih faham
untuk diikuti, karena setuju dengan sikap diam tidak dapat dipastikan. Adapun
ijma’ bayani telah disepakati suatu hukum, wajib bagi ummat Islam untuk
mengikuti dan menta’ati.
Karena para Ulama’ Mujtahid itu termasuk orang-orang
yang lebih mengerti dalam maksud yang dikandung oleh Al-Qur’an dan Al-Hadits,
dan mereka itulah yang disebut Ulil Amri Minkum (اولىالامر
منكم ) Allah berfirman
dalam Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat : 59
ياأَيُّهَاالَّذِيْنَ
أَمَنُوْاأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَأُوْلِى اْلأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang yang beriman ta’atilah Allah dan ta’atilah
Rasul-Nya dan Ulil Amri di antara kamu”.
Dan para Sahabat pernah melaksanakan ijma’ apabila
terjadi suatu masalah yang tidak ada dalam Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah
S.A.W. Pada zaman sahabat Abu Bakar dan sahabat Umar r.a jika mereka sudah
sepakat maka wajib diikuti oleh seluruh ummat Islam. Inilah beberapa Hadits
yang memperkuat Ijma’ sebagai sumber hokum, seperti disebut dalam Sunan
Termidzi Juz IV hal 466.
اِنَّ
اللهَ لاَ يَجْمَعُ اُمَّتىِ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ, وَيَدُاللهِ مَعَ اْلَجَماعَةِ
“Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku atas
kesesatan dan perlindungan Allah beserta orang banyak.
Selanjutnya, dalam kitab Faidlul Qadir Juz 2 hal 431
اِنَّ
اُمَّتىِ لاَتَجْتَمِعُ عَلىَ ضَلاَ لَةٍ فَاءِذَارَأَيْتُمُ اخْتِلاَ فًا
فَعَلَيْكُمْ بِالسَّوَادِاْ لأَعْظَمِ.
“Sesungguhnya ummatku
tidak berkumpul atas kesesatan maka apabila engkau melihat perselisihan, maka
hendaknya engkau berpihak kepada golongan yang terbanyak”.
Al-Qiyas
Qiyas menurut bahasanya berarti mengukur, secara
etimologi kata itu berasal dari kata Qasa (قا س ). Yang disebut Qiyas ialah
menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain dalam hukum karena adanya sebab
yang antara keduanya. Rukun Qiyas ada 4 macam: al-ashlu, al-far’u, al-hukmu dan
as-sabab. Contoh penggunaan qiyas, misalnya gandum, seperti disebutkan dalam
suatu hadits sebagai yang pokok (al-ashlu)-nya, lalu al-far’u-nya adalah beras
(tidak tercantum dalam al-Qur’an dan al-Hadits), al-hukmu, atau hukum gandum
itu wajib zakatnya, as-sabab atau alasan hukumnya karena makanan pokok.
Dengan demikian, hasil gandum itu wajib dikeluarkan
zakatnya, sesuai dengan hadits Nabi, dan begitupun dengan beras, wajib
dikeluarkan zakat. Meskipun, dalam hadits tidak dicantumkan nama beras. Tetapi,
karena beras dan gandum itu kedua-duanya sebagai makanan pokok. Di sinilah
aspek qiyas menjadi sumber hukum dalam syareat Islam. Dalam Al-Qur’an Allah
S.WT. berfirman :
فَاعْتَبِرُوْا
يأُوْلِى اْلأَيْصَارِ
“Ambilah ibarat (pelajaran dari kejadian itu) hai
orang-orang yang mempunyai pandangan”.
(Al-Hasyr : 2)
عَنْ
مُعَاذٍ قَالَ : لَمَا بَعَثَهُ النَّبِىُّ صلى الله عليه وسلم اِلىَ اْليَمَنِى
قَالَ: كَيْفَ تَقْضِى اِذَا عَرَضَ قَضَاءٌ ؟ قَالَ اَقْضِى بِكَتَابِ اللهِ
قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى كِتَابِ اللهِ ؟ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ,
قَالَ فَاءِنْ لَمْ تَجِدْ فِى سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ وَلاَ فىِ كِتَابِ اللهِ ؟
قَالَ اَجْتَهِدُ بِرَأْيِى وَلاَ الُوْ قَالَ فَضَرَبَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله
عليه وسلم صَدْرَهُ وَقَالَ اْلحَمْدُ للهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ
اللهِ لِمَا يَرْضَاهُ رَسُوْلُ اللهِ. رواه أحمد وابو داود والترمذى.
“Dari sahabat Mu’adz berkata; tatkala
Rasulullah SAW mengutus ke Yaman, Rasulullah bersabda bagaimana engkau
menentukan apabila tampak kepadamu suatu ketentuan? Mu’adz menjawab; saya akan
menentukan hukum dengan kitab Allah? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah
s.aw. kemudian nabi bersabda; kalau tidak engkau jumpai dalam Sunnah Rasulullah
dan dalam kitab Allah? Mu’adz menjawab; saya akan berijtihad dengan pendapat
saya dan saya tidak kembali; Mu’adz berkata: maka Rasulullah memukul dadanya,
kemudian Mu’adz berkata; Alhamdulillah yang telah memberikan taufiq kepada
utusan Rasulullah SAW dengan apa yang Rasulullah meridlai-Nya.
Kemudian Al-Imam Syafi’i memperkuat pula tentang qiyas
dengan firman Allah S.W.T dalam Al-Qur’an :
ياأَيُّهَااَّلذِيْنَ
ءَ امَنُوْا لاَتَقْتُلُوْاا لصَّيْدَوَاَنْتُمْ حُرُمٌ وَمَنْ قَتَلَهُ مِنْكُمْ
مُتَعَمِدًا فَجَزَاءٌ مِثْلُ مَا قَتَلَ مِنَ النَّعَمِ يَحْكُمُ بِهِ
ذَوَاعَدْلٍ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang
beriman janganlah kamu membunuh binatang buruan ketika kamu sedang ihram,
barang siapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah
mengganti dengan binatang ternak yang seimbang dengan buruan yang dibunuhnya,
menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu”.
(Al-Maidah: 95).
Sebagaimana madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah lebih
mendahulukan dalil Al-Qur’an dan Al-Hadits dari pada akal. Maka dari itu
madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah mempergunakan Ijma’ dan Qiyas kalau tidak
mendapatkan dalil nash yang shareh (jelas) dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. (nu.or.id)
0 Response to "Empat Sumber Hukum dalam Aswaja"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!