Qardhawi: Fitnah dan Suara Wanita
Sebenarnya
tidak ada satu pun agama langit atau agama bumi, kecuali Islam, yang memuliakan
wanita, memberikan haknya, dan menyayanginya. Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai manusia. Islam memuliakan wanita,
memberikan haknya, dan memeliharanya sebagai anak perempuan.
Islam memuliakan wanita sebagai manusia yang diberi tugas (taklif) dan
tanggungjawab yang utuh seperti halnya laki-laki, yang kelak akan mendapatkan
pahala atau siksa sebagai balasannya. Tugas yang mula-mula
diberikan Allah kepada manusia bukan khusus untuk laki-laki, tetapi juga untuk
perempuan, yakni Adam dan istrinya.
Perlu diketahui bahwa tidak ada satu pun nash Islam, baik Al-Qur'an maupun
sunnah, yang mengatakan bahwa wanita (Hawa) yang menjadi penyebab
diusirnya laki-laki (Adam) dari surga dan menjadi penyebab penderitaan anak
cucunya kelak, sebagaimana disebutkan dalam Kitab Perjanjian Lama. Bahkan
Al-Qur'an menegaskan bahwa Adam-lah orang pertama yang dimintai
pertanggungjawaban. (Surat Thaha: 115-122).
Namun sangat disayangkan masih banyak umat Islam yang merendahkan kaum wanita
dengan cara mengurangi hak-haknya serta mengharamkannya dari apa-apa yang
telah ditetapkan syara'. Padahal syariat Islam sendiri telah menempatkan wanita
pada proporsi yang sangat jelas, yakni sebagai manusia, sebagai perempuan,
sebagai anak perempuan, sebagai istri, atau sebagai ibu.
Bagaimana bisa terjadi diskriminasi seperti itu, sedangkan Al-Qur'an selalu
menyejajarkan Muslim dengan Muslimah, wanita beriman dengan laki-laki beriman,
wanita yang taat dengan laki-laki yang taat, dan seterusnya. Sebagaimana
disinyalir dalam Kitab Allah.
Mereka juga mengatakan bahwa suara wanita itu aurat, karenanya tidak boleh
wanita berkata-kata kepada laki-laki selain suami atau mahramnya. Sebab suara
dengan tabiatnya yang merdu dapat menimbulkan fitnah dan membangkitkan syahwat.
Ketika kami tanyakan dalil yang dapat dijadikan acuan dan sandaran, mereka
tidak dapat menunjukkannya.
Apakah mereka tidak tahu bahwa Al-Qur'an memperbolehkan laki-laki bertanya
kepada istri-istri Nabi SAW dari balik tabir? Bukankah istri-istri Nabi itu
mendapatkan tugas dan tanggung jawab yang lebih berat daripada istri-istri yang
lain, sehingga ada beberapa perkara yang diharamkan kepada mereka yang tidak
diharamkan kepada selain mereka?
Namun demikian, Allah berfirman: "Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang
tabir..." (QS Al-Ahzab: 53)
Permintaan atau pertanyaan dari para sahabat itu sudah tentu memerlukan jawaban
dari Ummahatul Mukminin (istri-istri Nabi). Mereka biasa memberi fatwa kepada
orang yang meminta fatwa, dan meriwayatkan hadits-hadits bagi orang yang ingin
mengambil hadits mereka.
Pernah ada seorang wanita bertanya kepada Nabi SAW di hadapan kaum laki-laki.
Ia tidak merasa keberatan melakukan hal itu, dan Nabi pun tidak
melarangnya. Dan pernah ada seorang wanita yang menyangkal pendapat Umar ketika
sedang berpidato di atas mimbar. Atas sanggahan itu, Umar tidak mengingkarinya.
Bahkan ia mengakui kebenaran wanita tersebut dan mengakui kesalahannya sendiri
seraya berkata, "Semua orang (bisa) lebih mengerti daripada
Umar."
Kita juga mengetahui seorang wanita muda, putri seorang syekh yang sudah tua
(Nabi Syu'aib) yang berkata kepada Musa, sebagai dikisahkan dalam Al-Qur'an: "...
Sesungguhnya bapakku memanggil kamu agar ia memberi balasan terhadap
(kebaikan)-mu memberi minum (ternak) kami..." (QS Al-Qashash: 25)
Sebelum itu, wanita tersebut dan saudara perempuannya juga berkata kepada Musa,
ketika Musa bertanya kepada mereka:"... Apakah maksudmu (dengan berbuat
begitu)? Kedua wanita itu menjawab, 'Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),
sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedangkan bapak
kami adalah orang tua yang telah lanjut usianya." (QS Al-Qashash: 23)
Selanjutnya, Al-Qur'an juga menceritakan kepada kita percakapan yang terjadi
antara Nabi Sulaiman AS dengan Ratu Saba, serta percakapan sang Ratu dengan
kaumnya yang laki-laki. Begitu pula peraturan (syariat) bagi nabi-nabi sebelum
menjadi peraturan kita selama peraturan kita tidak menghapuskannya, sebagaimana
pendapat yang terpilih.
Yang dilarang bagi wanita ialah melunakkan pembicaraan untuk menarik laki-laki,
yang oleh Al-Qur'an diistilahkan dengan "al-khudhu bil-qaul"
(tunduk/lunak/memikat dalam berbicara), sebagaimana disebutkan
dalam firman Allah: "Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah
seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam
berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan
ucapkanlah perkataan yang baik." (QS Al-Ahzab: 32)
Allah melarang "khudhu", yakni cara bicara yang bisa membangkitkan
nafsu orang-orang yang hatinya "berpenyakit". Namun dengan ini bukan
berarti Allah melarang semua pembicaraan wanita dengan setiap laki-laki.
Perhatikan ujung ayat dari surat di atas: "Dan ucapkanlah perkataan
yang baik"
Orang-orang yang merendahkan wanita itu sering memahami hadits dengan salah.
Hadits-hadits yang mereka sampaikan antara lain yang diriwayatkan Imam Bukhari
bahwa Nabi SAW bersabda, "Tidaklah aku tinggalkan sesudahku suatu
fitnah yang lebih membahayakan bagi laki-laki daripada (fitnah) wanita."
Mereka telah salah paham. Kata fitnah dalam hadits di atas mereka artikan
dengan "wanita itu jelek dan merupakan azab, ancaman, atau musibah yang
ditimpakan manusia seperti ditimpa kemiskinan, penyakit, kelaparan, dan
ketakutan." Mereka melupakan suatu masalah yang penting, yaitu bahwa
manusia difitnah (diuji) dengan kenikmatan lebih banyak daripada diuji
dengan musibah.
Allah berfirman: "... Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan
kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)..." (QS Al-Anbiya:
35)
Al-Qur'an juga menyebutkan harta dan anak-anak yang merupakan kenikmatan hidup
dunia dan perhiasannya—sebagai fitnah yang harus diwaspadai, sebagaimana firman
Allah: "Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan
(bagimu)..." (QS At-Taghabun: 15)
"Dan ketabuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai
cobaan..." (QS Al-Anfal: 28)
Wanita-wanita itu menjadi fitnah apabila mereka menjadi alat untuk
membangkitkan nafsu dan syahwat serta menyalakan api keinginan dalam hati kaum
laki-laki. Ini merupakan bahaya sangat besar yang dikhawatirkan dapat
menghancurkan akhlak, mengotori harga diri, dan menjadikan keluarga berantakan
serta masyarakat rusak.
Peringatan untuk berhati-hati terhadap wanita di sini seperti peringatan untuk
berhati-hati terhadap kenikmatan harta, kemakmuran, dan kesenangan hidup,
sebagaimana disebutkan dalam hadits sahih: "Demi Allah, bukan
kemiskinan yang aku takutkan atas kamu, tetapi yang aku takutkan ialah
dilimpahkan (kekayaan) dunia untuk kamu sebagaimana dilimpahkan untuk
orang-orang sebelum kamu, lantas kamu memperebutkannya sebagaimana mereka
dahulu berlomba-lomba memperebutkannya, lantas kamu binasa karenanya
sebagaimana mereka dahulu binasa karenanya." (Muttafaq Alaih)
Dari hadits ini tidak berarti bahwa Rasulullah SAW hendak menyebarkan
kemiskinan, tetapi beliau justru memohon perlindungan kepada Allah dari
kemiskinan itu, dan mendampingkan kemiskinan dengan kekafiran.
Juga tidak berarti bahwa beliau tidak menyukai umatnya mendapatkan kelimpahan
dan kemakmuran harta, karena beliau sendiri pernah bersabda, "Bagus
nian harta yang baik bagi orang yang baik." (HR Ahmad dan Al-Hakim)
Dengan hadits di atas, Rasulullah SAW hanya menyalakan lampu merah bagi pribadi
dan masyarakat Muslim di jalan (kehidupan) yang licin dan berbahaya agar kaki
mereka tidak terpeleset dan terjatuh ke dalam jurang tanpa mereka sadari.
0 Response to "Qardhawi: Fitnah dan Suara Wanita"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!