Waris menurut Hukum Islam

Waris menurut Hukum Islam
Pengertian Waris
Apabila mencari pengertian waris dalam kamus, maka akan menjumpai kata waris berasal dari Bahasa Arab, yang artinya mewariskan, pusaka-pusaka dan warisan. Sedangkan menurut istilah para Ulama Fiqih, kata waris atau ilmu waris diartikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang ketentuan orang-orang yang diwarisi, orang-orang yang tidak mewarisi besar yang diterima oleh masing-masing ahli waris serta cara pembagiannya.
Istilah waris sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia, sehingga kebanyakan masyarakat Indonesia mengartikan Ilmu Waris sebagainsuatu perpindahan hak dan kewajiban serta harta kekayaan seseorang yang meninggal dunia kepada orang lain yang masih hidup.

Prinsip-prinsip Hukum Kewarisan Islam
Setelah mempelajari definisi Hukum Kewarisan Islam, untuk lebih mendalaminya, perlu mempelajari prinsip-prinsipnya. Beberapa prinsip dalam Hukum Kewarisan Islam adalah sebagai berikut :
1.      Prinsip Ijbari
Yang dimaksud dengan Prinsip Ijbari adalah bahwa peralihan harta seseorang yang telah meninggal dunia kepada yang masih hidup, berlaku dengan sendirinya.
Dalam Hukum Kewarisan Islam, dijalankannya Prinsip Ijbari ini berarti, peralihan harta dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya, berlaku dengan sendirinya sesuai dengan kehendak Allah, tanpa bergantung kepada kehendak pewaris atau ahli waris.
2.      Prinsip Individual
Secara singkat dapat dikatakan, bahwa yang dimaksud dengan Prinsi Individual adalah warisan dapat dibagi-bagikan kepada ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Ini berati setiap ahli waris berhak atas bagian warisan yang didapatkan tanpa terikat oleh ahli waris yang lain. Ada perbedaan yang sangat mencolok, jika Prinsip Individual dalam Hukum Kewarisan Islam dibandingkan dengan salah satu prinsip dalam Hukum Kewarisan Adat, yakni Prinsip Kolektif. Menurut prinsip ini, ada harta
peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris. Di beberapa daerah di Indonesia terdapat suatu adat, harta peninggalan yang turun-temurun diperoleh dari nenek-moyang, tidak dapat dibagi-bagi, jadi ahli waris harus menerimanya secara utuh. Misalnya adalah Harta Pusaka
di Minangkabau da Tanah Dati di Hitu Ambon. Tiap-tiap anak, turut menjadi anggota (deelgenot) dalam kompleks famili yang mempunyai barang-barang keluarga (harta pusaka) itu.
Apabila kompleks famili itu menjadi terlalu besar, maka kompleks famili itu dipecah menjadi dua, masing-masing berdiri sendiri dan menguasai Harta Pusaka.
3.      Prinsip Bilateral
Yang dimaksud dengan Prinsip Bilateral adalah bahwa baik laki-laki maupun perempuan dapat mewaris dari kedua belah pihak garis kekerabatan, yakni pihak kekerabatan laki-laki dan pihak kekerabatan perempuan. Tegasnya, jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk mewaris atau diwarisi dan baik dalam garis lurus ke bawah, ke atas serta garis ke samping, Prinsip Bilateral tetap berlaku.
4.      Prinsip Kewarisan hanya berlaku karena kematian
Hukum Kewarisan Islam menetapkan, bahwa peralihan harta seseorang kepada orang lain dengan sebutan kewarisan berlaku setelah yang mempunyai harta tersebut meninggal dunia. Dengan demikian, tidak ada pembagian warisan sepanjang pewaris masih hidup. Segala bentuk peralihan harta seseorang yang masih hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak termasuk ke dalam persoalan kewarisan menurut Hukum Kewarisan Islam.
Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk kewarisan, yaitu kewarisan akibat kematian yang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata disebut kewarisan ab intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada saat pewaris masih hidup.

Rukun Waris
Menurut Hukum Kewarisan Islam, Rukun Kewarisan ada 3 (tiga), yaitu :
  1. Pewaris, yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang meninggal dinia, yang hartanya diwarisi oleh ahli warisnya (mewaris).
  2. Ahli Waris, yang dimaksud dengan ahli waris adalah orang yang mendapatkan warisan dari pewaris, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena perkawinan.
  3. Warisan, yang dimaksud dengan warisan adalah sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tidak bergerak.

Sebab-sebab kewarisan
Adapun seseorang yang berhak mendapatkan harta harus berdasarkan salah satu sebab sebagai berikut, yaitu :
  1. Kekerabatan
Kekerabatan adalah hubungan nasib dengan orang yang mewariskan (muwaris) dengan orang yang akan menerima warisan karena adanya pertalian darah, waris karena hubungan nasab ini mencakup :
·         Anak, cucu baik laki-laki maupun perempuan (furu).
·         Ayah, kakek, ibu, nenek (usul).
·         Saudara laki-laki atau perempuan, paman dan anak laki-laki paman, bibi (hawasy).
  1. Perkawinan
Perkawinan yang sah menyebabkan adanya hubungan hukum saling mewarisi antara suami dan isteri, apabila diantara keduanya ada yang meninggal, maka isterinya atau jandanya mewarisi harta suaminya. Demikian juga, jika seorang isteri meninggal dunia, maka suaminya mewarisi harta isterinya.
  1. Wala
Wala yaitu hubungan hukmiah, suatu hubungan yang ditetapkan oleh Hukum Islam,karena tuannya telah memberikan kenikmatan untuk hidu merdeka dan mengembalikan hak asasi kemanusiaan kepada budaknya. Tegasnya, jika seorang tuan memerdekakan budaknya, maka terjadilah hubungan keluarga yang disebut wala’ itqi. Dengan adanya hubungan tersebut, seorang tuan menjadi ahli warisdari budak yang dimerdekakannya itu, dengan syarat budak yang bersangkutan, tidak mempunyai ahli waris sama sekali, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena perkawinan.
Akan tetapi, pada masyarakat sekarang ini, sebab mewaris karena wala tersebut, sudah kehilangan makna pentingnya, dilihat dari segi praktis, Sebab pada masa sekarang ini secara umum, perbudakan sudah tiada lagi. Jadi, pengertian wala disini adalah hubungan kewarisan akibat memerdekakan hamba sahaya, atau melalui perjanjian tolong-menolong. Sedangkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 174 Ayat 1 hanya menyebabkan dua sebab, yaitu karena hubungan darah dengan perkawinan.
Syarat-syarat kewarisan
  1. Meninggal dunianya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggal dunia di sini ialah baik meninggal dunia hakiki (sejati), meninggal dunia hukmi (menurut Putusan Hakim) dan meninggal dunia taqdiri (menurut dugaan). Tanpa ada kepastian, bahwa pewaris meninggal dunia, warisan tidak boleh dibagi bagikan kepada ahli waris.
  1. Hidupnya ahli waris
Hidupnya ahli waris harus jelas, pada saat pewaris meninggal dunia. Ahli waris merupakan pengganti untuk menguasai warisan yang ditinggalkan oleh pewaris. Perpindahan hak tersebut diperoleh melalui jalan kewarisan. Oleh karena itu, sesudah pewaris meninggal dunia, ahli warisnya harus benarbenar hidup.
  1. Mengetahui status kewarisan
Agar seseorang dapat mewarisi harta orang yang meninggal dunia, haruslah jelas hubungan antara keduanya. Misalnya, hubungan suami-isteri, hubungan orang tua-anak dan hubungan saudara, baik sekandung, sebapak maupun seibu.

Penghalang Mewaris
Tidak semua ahli waris mendapatkan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh si mati. Ada beberapa hal yang meghalangi seseorang ahli waris untuk mendapatkan harta warisan. Halangan tersebut adalah :
  1. Pembunuhan
Para ulama Fiqih sepakat, bahwa pembunuhan tidak bisa menerima warisan mulai dari masa tabi’in sampai pada masa mujtahid, hal ini berdasarkan orang yang membunuh sesamanya, berarti ia telah berbuat dosa, dan dosa tidak bisa dijadikan alasan atau sebab menerima warisan. Mereka berlandaskan pada sabda Nabi Muhammad :
Artinya:
“Dari Abi Hurairah, dari Nabi Muhammad, beliau bersabda
pembunuhan tidak dapat mewarisi”. (H. R. AL-Tirmizi).
Bila para ulama sepakat, bahwa pembunuhan merupakan penghalang untuk mewaris, maka mereka berbeda pendapat mengenai jenis-jenis pembunuhan yang menjadi penghalang untuk mewaris. Perbedaan pendapat di kalangan para ulama muncul mengenai pembunuhan yang dilakukan tanpa kesengajaan.
Para ulama Hanafiyah membagi pembunuhan menjadi 2 (dua) jenis, yaitu pembunuhan lansung (mubasyarah) dan pembunuhan tidak langsung (tasabbub). Pembunuhan yang langsung tersebut dibagi lagi menjadi empat, yakni pembunuhan dengan senganja, pembunuhan yang serupa sengaja, pembunuhan yang tidak dengan sengaja dan pembunuhan yang dipandang tidak dengan sengaja.
Menurut para ulama Hanafiyah, pembunuhan langsung merupakan penghalang untuk mewaris, sedangkan pembunuhan tidak langsung, bukan merupakan penghalang untuk mewaris.
  1. Berlainan Agama
Islam menetapkan, bahwa tidak ada antara orang dengan orang kafir meskipun diantaranya ada hubungan yang menyebabkan kewarisan atau ada wasiat maka wasiat itu wajib dilaksanakan sedang hak waris antara kedua tetap terhalang, sebab perbedaan agama menyebabkan terhalangnya hak waris, hal ini berdasarkan sabda Nabi Muhammad :
Artinya :
“Orang Islam tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir
pun tidak dapat mewarisi harta orang Islam”. (H. R. Al-Bukhari dan Muslim).
Sedangkan berlainan mazhab atau aliran dalam Agama Islam, menurut kesepakatan para fuqaha, bukan merupakan penghalang untuk mewaris, karena mereka itu tetap sesama muslim.
  1. Perbudakan
Perbudakan menjadi penghalang mewarisi bukan karena status kemanusiaannya, tetapi karena status formalnya sebagai hamba sahaya (budak). Mayoritas sepakat seorang budak terhalang untuk menerima warisan karena ia tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Sebagaimana firman Allah :
Artinya:
“Allah telah membuat perumpamaan, yakni seorang budak (hamba
sahaya) yang dimiliki yang tidak dapat bertindak sesuatupun” (Q.S. Al-Nahl: 75)
Ayat di atas menegaskan, bahwa seorang budak itu tidak cakap mengurusi hak miliknya dengan jalan apapun. Seorang budak tidak dapat mewarisi karena ia tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seorang budak tidak dapat diwarisi, jika ia meninggal dunia, sebab ia orang miskin yang tidak memiliki harta kekayaan sama sekali.
  1.  Berlainan Negara
Pengertian negara adalah suatu wilayah yang ditempati suatu bangsa yang memiliki angkatan bersenjata sendiri, Kepala Negara sendiri dan kedaulatan sendiri serta tidak ada ikatan dengan negara asing. Adapun berlainan Negara yang menjadi penghalang mewaris adalah apabila diantara ahli waris dan mewarisnya berdomisili di dua negara yang berbeda kriterianya seperti yang disebutkan dimuka, apabila dua negara sama-sama muslim menurut para ulama tidak menjadi penghalang mewarisi.
Sedangkan Kompilasi Hukum Islam hanya menyebutkan dua hal yang menghalangi kewarisan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 173, yaitu :
“Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena :
1. Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat pada pewaris.
2. Dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan, bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.”
Akan tetapi pada Pasal 171 huruf c, secara tersirat telah menunjukkan bahwa perbedaan agama menjadi penghalang untuk mewarisi. Terdapat perbedaan halanhan untuk mewarisi antara fiqih dan Kompilasi Hukum Islam. Dalam fiqih perbudakan dan perbedaan negara dapat menjadi penghalang. Untuk mewarisi, sedangkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) hanya menyebutkan pembunuhan dan fitnah, perbedaan agama yang menjadi penghalang.

Referensi:
Ahmad Rofiq, 1993. Fiqh Mawaris, Jakarta Rajawali Press.
Ahmad Warson Munawir Al-Munawir, 1984. Kamus Arab–Indonesia, Yogyakarta, Pondok Pesantren Al-Munawir.
Amir Syarifudin, 1984. Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan Minangkabau, Jakarta, Gunung Agung.
Muslim Maruzi, 1989. Pokok-pokok Ilmu Waris. Semarang, Mujahidin,
Rachmad Budiono, 1999. Pembaruan Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti.
Soekanto, 1981. Meninjau Hukum Adat Indonesia, Jakarta, Rajawali.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Waris menurut Hukum Islam"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!