Fatwa Haram Merokok dan Problem Implementasinya

Fatwa Haram Merokok dan Problem Implementasinya
Majelis Ulama Indonesia (MUI) akhirnya mengeluarkan fatwa haram merokok. Fatwa ini khususnya ditujukan untuk wanita, anak-anak/remaja, merokok di tempat umum dan pengharaman merokok bagi anggotaMUI. Menyusul pengeluaran fatwa tersebut, sejumlah petani tembakau di Jember Jawa Timur menolak tentu dengan alasan ekonomis.

Prokontra muncul bahkan jauh sebelum fatwa tersebut diputuskan. Contohnya adalah reaksi MUI Kabupaten Kudus Jawa Tengah yang secara gamblang mengusulkan agar fatwa merokok tidak sampai pada keputusan untuk mengharamkannya. Kita tahu bahwa Kudus merupakan Kota dengan ribuan Pabrik Rokok (plus home industrinya). Sementara Nahdlatul Ulama (NU) tetap pada pendirian awal bahwa merokok hukumnya Makruh (lebih baik kalau ditinggalkan)

Sebagai masyarakat awam, saya melihat bahwa persoalan merokok memang sangat kompleks. Menyangkut persoalan ekonomi sekaligus kesehatan pada hususnya. Jutaan manusia telah tertolong secara ekonomis dan penghidupan sehari-harinya dari bertani tembakau sampai berjualan rokok. Saya sendiri menjual rokok di warung dan saya menerima sedikit keuntungan dari hasil penjualan tersebut. Saya tidak sendiri, sebab, jutaan pemilik warung lainnya, hampir bisa bisa dipastikan menjual dan memperdagangkan rokok.

Pertanyaan saya sederhana, bagaimana implementasi fatwa tersebut di tengah-tengah masyarakat? Secara kelembagaan, MUI memiliki struktur kepengurusan sampai dengan tingkat Kecamatan, kecuali yang belum terbentuk. Apakah mereka yang tergabung di dalamnya itu yang akan menjadi corong implementasi fatwa tersebut di tengah masyarakat? Mestinya demikian. Mengapa? Karena fatwa haram merokok ternyata juga ditujukan kepada anggota MUI, tentu di semua tingkatannya. Padahal, sejuah penglihatan saya, banyak ulama dalam jajaran MUI juga perokok. Melihat kenyataan tersebut, apakah fatwa haram merokok akan akan menjadi solusi dan efektif berlaku dan dipatuhi oleh masyarakat?

Persoalan rokok dan merokok dalam ranah (penetapan) hukum (Islam) masuk dalam wilayah non-ibadah. Dari perspektif yang saya rujukkan pada tradisi pengambilan hukum di lingkungan Nahdlatul Ulama, maka pilihan NU untuk me-makruh-kan (tidak sampai mengharamkan) perbuatan merokok juga bukan tanpa pijakan.

Setidaknya, jika mengacu pada persoalan non-ibadah, pijakan hukumnya mengacu pada apa yang disebut dengan maqashid al-syari’ah yang meliputi lima aspek : 1. Melindungi Agama (hifzh al din /baca: hifduddin), 2. Melindungi Jiwa dan Keselamatan Fisik (hifzh al nafs/hifdunnafsi), 3. Melindungi Kelangsungan Keturunan (hifzh al nasl/hifdunnasl), 4. Melindungi Akal Pikiran (hifzh al naql/hifdul’aqli), dan 5. Melindungi Harta Benda (Hifzh al-mal/hifdulmaal).

Dari lima perspektif tersebut, nomor urut 2 sampai 5 aktual sepanjang zaman jika dikaitkan dengan hukum merokok. Melindungi Jiwa dan Keselamatan berkaitan dengan Menjaga Kesehatan, Melindungi Kelangsungan Keturunan (sangat relevan dengan peringatan pemerintah tentang bahaya merokok bagi wanita hamil), Melindungi Akal Pikiran (efek negatif coffein dalam tembakau bisa diminamlisir), dan melindungi Harta Benda (mencegah dan menghindari pemborosan melalui konsumsi rokok yang berlebihan).

Saya kira itulah antara lain yang menjadi bagian dari pertimbangan ulama-ulama dalam Jamiyyah Nahdlatul Ulama yang memiliki pandangan bahwa hukum merokok itu makruh atau lebih baik jika ditinggalkan. Demikian semoga bermanfaat. Mudah-mudahan saya bisa meninggalkan kebiasaan merokok, meskipun saya mungkin tidak bisa untuk tidak menjual rokok di warung saya.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Fatwa Haram Merokok dan Problem Implementasinya"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!