Tasawuf Diantara Pemuji dan Pengelak


Tasawuf Diantara Pemuji dan Pengelak
Masalah tasawuf ini pernah dibahas, tetapi ada baiknya untuk diulang  kembali,  sebab  masalah  ini  amat  penting  untuk menyatakan suatu hakikat dan kebenaran yang hilang diantara orang-orang  yang mencela dan memuji tasawuf tersebut secara
menyeluruh.

Dengan penjelasan  yang  lebih  luas  ini,  sekiranya  dapat membuka  tabir  yang  menyelimuti  bagian  yang  cerah  ini, sebagai teladan bagi orang yang hendak meninjau ke arah itu, misalnya ahli suluk yang berjalan ke arah Allah.
Di zaman para sahabat  Nabi  saw,  kaum  Muslimin  serta pengikutnya mempelajari tasawuf, agama Islam dan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, tanpa kecuali.
Tiada   satu   bagian   pun   yang   tidak   dipelajari  dan dipraktikkan, baik lahir maupun batin; urusan  dunia  maupun akhirat; masalah  pribadi  maupun  kemasyarakatan,  bahkan masalah  yang  ada  hubungannya  dengan   penggunaan   akal, perkembangan  jiwa  dan  jasmani,  mendapat  perhatian pula. 

Timbulnya perubahan dan  adanya  kesulitan  dalam  kehidupan baru   yang   dihadapinya   adalah   akibat   pengaruh  yang ditimbulkan  dari  dalam   dan   luar.   Dan juga adanya bangsa-bangsa   yang   berbeda  paham  dan  alirannya  dalam masyarakat yang semakin hari kian bertambah besar.

Dalam  hal  ini,  terdapat  orang-orang  yang   perhatiannya dibatasi pada bagian akal, yaitu Ahlul Kalam, Mu'tazilah. Ada yang perhatiannya dibatasi pada  bagian  lahirnya  (luarnya) atau   hukum-hukumnya  saja,  yaitu  ahli  fikih.  Ada  pula orang-orang yang perhatiannya  pada  materi  dan  foya-foya, misalnya orang-orang kaya, dan sebagainya.

Maka,  pada  saat  itu,  timbullah  orang-orang  sufi  yang perhatiannya terbatas pada  bagian  ubudiah  saja,  terutama pada   bagian peningkatan   dan   penghayatan  jiwa  untuk mendapatkan   keridhaan   Allah   dan    keselamatan    dari kemurkaan-Nya.   Demi   tercapainya  tujuan  tersebut,  maka diharuskan zuhud atau hidup sederhana  dan  mengurangi  hawa nafsu.  Ini diambil dari pengertian syariat dan takwa kepada
Allah.

Disamping itu, kemudian timbul hal baru, yaitu cinta  kepada Allah (mahabatullah). Sebagaimana Siti Rabi'ah Al-Adawiyah, Abu Yazid Al-Basthami, dan Sulaiman Ad-Darani, mereka adalah tokoh-tokoh sufi. Mereka berpendapat sebagai berikut, "Bahwa ketaatan dan kewajiban bukan karena takut pada neraka, dan bukan keinginan akan surga dan kenikmatannya, tetapi demi cintanya kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya, supaya dekat dengan-Nya."

Dalam syairnya, Siti Rabi'ah Al-Adawiyah telah berkata, "Semua orang yang menyembah Allah karena takut akan neraka dan ingin menikmati surga. Kalau aku tidak demikian, aku menyembah Allah, karena aku cinta kepada Allah dan ingin ridha-Nya."

Kemudian  pandangan  mereka  itu  berubah,  dari  pendidikan akhlak  dan  latihan  jiwa, berubah menjadi paham-paham baru atas Islam yang menyimpang, yaitu filsafat; dan yang  paling menonjol  ialah Al-Ghaulu bil Hulul wa Wahdatul Wujud(paham bersatunya hamba dengan Allah).
Paham ini juga yang dianut  oleh  Al-Hallaj,  seorang  tokoh sufi,  sehingga dihukum mati tahun 309 H. karena ia berkata, "Saya adalah Tuhan." Paham Hulul berarti Allah bersemayam di  dalam  makhluk-Nya, sama dengan paham kaum Nasrani terhadap Isa Al-Masih. 

Banyak  di  kalangan  para  sufi  sendiri yang menolak paham Al-Hallaj itu. Dan hal ini juga yang  menyebabkan  kemarahan para fuqaha khususnya dan kaum Muslimin pada umumnya. Filsafat  ini  sangat  berbahaya, karena dapat menghilangkan rasa tanggung jawab  dan  beranggapan  bahwa  semua  manusia sama,  baik  yang jahat maupun yang baik; dan yang bertauhid maupun yang tidak, semua makhluk menjadi tempat bagi Tajalli (kasyaf) Al-Haq, yaitu Allah. 

Dalam  keadaan  yang  demikian,  tentu  timbul  asumsi  yang bermacam-macam, ada yang menilai  masalah  tasawuf  tersebut secara  amat  fanatik  dengan  memuji  mereka dan menganggap semua ajarannya itu baik sekali. Ada pula  yang  mencelanya, menganggap  semua ajaran mereka tidak benar, dan beranggapan aliran tasawuf itu diambil dari agama Masehi,  agama  Buddha, dan lain-lainnya.

Secara  obyektif  bahwa  tasawuf itu dapat dikatakan sebagai berikut: "Tasawuf ada dalam Islam dan mempunyai dasar yang mendalam. Tidak dapat diingkari dan disembunyikan, dapat dilihat dan dibaca dalam Al-Qur'an, Sunnah Rasul SAW dan para sahabatnya yang mempunyai sifat-sifat zuhud (tidak mau atau menjauhi  hubbud dunya), tidak suka hidup mewah, sebagaimana sikap khalifah Umar, Ali, Abu Darda', Salman Al-Farisi, Abu Dzar dan lainnya."

Banyak ayat Al-Qur'an yang menganjurkan agar mawas diri dari godaan yang berupa kesenangan atau fitnah dunia. Tetapi  hendaknya  selalu  bergerak  menuju  ke  jalan  yang diridhai oleh Allah swt. dan berlomba-lomba memohon  ampunan Allah SWT, surga-Nya dan takutlah akan azab neraka.
Dalam  Al-Qur,an  dan hadis Nabi saw. juga telah diterangkan mengenai  cinta  Allah  kepada  hamba-hamba-Nya  dan   cinta hambaNya  kepada  Allah.  Sebagaimana  disebutkan dalam ayat Al-Qur'an: "Adapun orang-orang yang beriman cintanya sangat besar kepada Allah..." (QS Al-Baqarah: 165).

"... Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya..." (QS Al-Maidah: 54).


"Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjihad di jalan Allah dalam barisan yang teratur (tidak tercerai-berai)..."(QS Ash-Shaff: 4).


Diterangkan pula dalam Al-Qur'an dan hadits mengenai  masalah zuhud, tawakal,   tobat,   syukur,  sabar,  yakin,  takwa,muraqabah (mawas diri), dan  lain-lainnya  dari  maqam-maqam yang suci dalam agama.

Tidak  ada  golongan lain yang memberi perhatian penuh dalam menafsirkan,   membahas  dengan  teliti  dan  terinci,  serta membagi  segi-segi  utamanya  maqam  ini  selain  para sufi. Merekalah yang paling mahir  dan  mengetahui  akan  penyakit jiwa, sifat-sifatnya  dan kekurangan yang ada pada manusia, mereka ini ahli dalam ilmu pendidikan yang dinamakan Suluk.

Tetapi, tasawuf tidak berhenti hingga  di  sini  saja  dalam peranannya  di  masa  permulaan,  yaitu adanya kemauan dalam melaksanakan akhlak yang luhur dan hakikat dari ibadat  yang murni  semata  untuk  Allah SWTT. Sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim Al-Jauzi,  yaitu,  "Ilmu  tasawuf  itu, kemudian  akan  meningkat  ke  bidang  makrifat  perkenalan, setelah itu ke arah khasab ungkapan dan karunia  Allah.  Hal ini diperoleh melalui pembersihan hati nurani. Akhirnya,  dengan  ditingkatkannya  hal-hal  ini,  timbullah penyimpangan, tanpa dirasakan oleh sebagian ahli sufi."

Di antara yang tampak dari penyimpangan sebagian orang-orang sufi adalah sebagai berikut: 

1.  Dijadikannya  wijid  (perasaan) dan ilham sebagai ukuran untuk dasar pengetahuan dan lain-lain; juga dapat  dijadikan ukuran   untuk  membedakan  antara  yang  benar  dan  salah. Sehingga sebagian ada yang berkata, "Aku  diberi  tahu  oleh hati dari Tuhanku (Allah)."

Berbeda  dengan  ungkapan  dari  ahli  sunnah  bahwa apabila mereka meriwayatkan ini  dari  si  Fulan,  si  Fulan  sampai kepada Rasulullah SAW.

2.  Dibedakannya  antara  syariat  dan hakikat, antara hukum Islam dan yang bebas dari hukumnya.

3. Dikuasai oleh paham Jabariah dan Salabiah, sehingga dapat mempengaruhi  iman  dan akidah mereka, dimana manusia mutlak dikendalikannya. Maka tidak perlu lagi  melawan  dan  selalu bersikap pasif, tidak aktif.

Tidak dihargainya dunia dan perkembangannya. Apa yang ada di dunia  dianggapnya  sepele,  padahal  ayat  Al-Qur,an  telah menyatakan: "...dan janganlah kamu melupakan akan nasibmu (kebahagiaanmu) dari (kenikmatan) dunia..." (QS Al-Qashash: 77).

Pikiran dan teori di atas telah  tersebar  dan  dipraktikkan dimana-mana,  dengan  dasar  dan  paham bahwa hal ini bagian dari  Islam,  ditetapkan  oleh  Islam,  dan  ada   sebagian, terutama  dari golongan intelektual, keduanya belum mengerti benar akan hal itu karena tidak mempelajarinya.

Sekali lagi kita tandaskan, bahwa orang sufi dahulu,  selalu menyuruh  jangan  sampai  menyimpang  dari garis syariat dan hukum-hukumnya.

Ibnul Qayyim berkata mengenai  keterangan  dari  tokoh-tokoh sufi, "Tokoh-tokoh sufi dan guru besar mereka, Al-Junaid bin Muhammad (297 H),  berkata,  'Semua  jalan  tertutup  bagi manusia, kecuali jalan yang dilalui Nabi SAW.'"

Al-Junaid pun berkata, "Barangsiapa yang tidak hafal Al-Qur'an dan menulis hadis-hadis Nabi saw. maka tidak boleh dijadikan panutan dan ditiru, karena ilmu kita (tasawuf) terikat pada kitab Al-Qur'an dan As-Sunnah."

Abu Khafs berkata, "Barangsiapa yang tidak menimbang amal dan segala sesuatu dengan timbangan Al-Kitab dan As-Sunnah, serta tidak menuduh perasaannya (tidak membenarkan wijid-nya), maka mereka itu tidak termasuk golongan kaum tasawuf."

Abu Yazid Al-Basthami berkata, "Janganlah kamu menilai dan tertipu dengan kekuatan-kekuatan yang luar biasa, tetapi yang harus dinilai adalah ketaatan dan ketakwaan seseorang pada agama dan syariat pelaksanaannya."

Kiranya keterangan yang paling tepat  mengenai  tasawuf  dan para  sufi  adalah  sebagaimana  yang diuraikan oleh Imam Ibnu Taimiyah dalam  menjawab  atas  pertanyaan,  "Bagaimana pandangan ahli agama mengenai tasawuf?"

Ibnu Taimiyah memberi jawaban sebagai berikut, "Pandangan orang dalam masalah tasawuf ada dua, yaitu: Sebagian termasuk ahli fiqih dan ilmu kalam mencela dan menganggap para sufi itu ahli bid'ah  dan di luar Sunnah Nabi SAW. Sebagian lagi terlalu berlebih-lebihan dalam memberikan pujian dan menganggap mereka paling baik dan sempurna di antara manusia setelah Nabi SAW.Kedua-duanya tidak benar. Yang benar ialah bahwa mereka ini sedang dalam usaha melakukan pengabdian kepada Allah, sebagaimana usaha orang-orang lain untuk menaati Allah SWT. Dalam kondisi yang prima di antara mereka, ada yang cepat sampai dan dekat kepada Allah, orang-orang ini dinamakan minal muqarrabiin(orang-orang yang terdekat dengan Allah), sesuai dengan ijtihadnya; ada pula yang intensitas ketaatannya sedang-sedang    saja. Orang ini termasuk bagian kanan; min ashhaabilyamiin (orang-orang yang berada di antara kedua sikap tadi)."

Di antara golongan itu ada yang  salah,  ada  yang  berdosa, melakukan  tobat,  ada  pula yang tetap tidak bertobat. Yang lebih sesat lagi adalah orang-orang yang melakukan kezaliman dan kemaksiatan, tetapi menganggap dirinya orang-orang sufi.

Masih  banyak  lagi dari ahli bid'ah dan golongan fasik yang menganggap dirinya golongan tasawuf, yang ditolak dan  tidak diakui  oleh  tokoh-tokoh  sufi  yang  benar  dan  terkenal. Sebagaimana Al-Junaid dan lain-lainnya

Sumber: Fatawa Qardhawi: Permasalahan, Pemecahan dan Hikmah

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Tasawuf Diantara Pemuji dan Pengelak"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!