Akad Dalam Fiqh Muamalah
- Pengertian Akad
Akad berasal dari bahasa Arab ( العقد ) jama’nya ( العقود ) yang berarti ikatan, mengikat. Dan dapat juga diartikan sebagai العقدة (sambungan), العهد (janji). Namun secara garis besarnya adalah:
وهو جمع طر في حبلين ونحو هما وشد احدهما بالاخر يتصل فيصبحا كقطعة واحدة
“Yaitu menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatnya salah satu dari pada yang lainnya hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu”.
Pengertian lafdiyah ini sebagai mana yang tertlis dalam kitab suci al-Qur’an yang berbunyi:
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. ”(Q.S al-Maidah: 01)
Dalam terminologi hukum Islam akad didefinisikan sebagai berikut:
ارتباط ايجاب بقبول على وجه مشروع بثبت أثره فى محله
“Akad adalah pertalian antara ijab dan qabul yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum terhadap obyeknya”.
Yang dimaksud dengan ايجاب dalam definisi akad adalah ungkapan atau penyataan kehendak melakukan perikatan (akad) oleh suatu pihak, biasanya disebut sebagai pihak pertama. Proses perikatan ini tidak terlalu jauh berbeda dengan proses perikatan yang dikemukakan oleh Subekti yang didasarkan pada KUHPer. Subekti member pengertian perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Sedangkan perjanjian menurut Subekti adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Hal ini seperti yang tertuang dalam Pasal 1233 KUHPer bahwa, perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan
Jadi perbedaan perikatan dalah hukum Islam dengan yang ada di KUHPer adalah tahap perjanjiannya. Pada Islam janji pihak pertama terpisah dari janji pihak kedua (merupakan dua tahap), baru kemudian lahir perikatan. Sedangkan pada KUHPer, perjanjian antar pihak pertama dan kedua adalah satu tahap yang kemudian menimbulkan perikatan diantara mereka. Dan yang juga yang membedakannya adalah pada pentingnya unsur ikrar (ijab dan qabul) dalam tiap transaksi. Apabila dua janji antara para pihak tersebut disepakati dan dilanjutkan dengan ikrar (ijab dan qabul), maka terjadilah العقد (perikatan).
- Rukun Akad
Terdapat perbedaan di kalangan fuqaha tentang rukun akad ini, dan menurut mayoritas jumhur ulama’adalah:
1) Al-Aqidain, para pihak yang terlibat langsung dalam akad;
2) Mahallul ‘aqd, obyek akad atau sesuatu yang hendak diakadkan;
3) Sighat al-‘aqd, pernyataan kalimat akad, yang pada umumnya dilaksanakan melalui pernyataan ijab dan qabul.
Rukun menurut pengertian istilah fuqaha dan ahli ushul adalah:
ما يكون به قوام الشيئ ووجوه بحيث يعيد جزأ داخلا فى ماهيته
“Sesuatu yang menjadikan tegaknya dan adanya sesuatu sedangkan bersifat internal (dakhiliy) dari sesuatu yang ditegakkan”.
Berdasarkan pengertian diatas maka rukun akad adalah kesepakatan dua kehendak, yakni ijab dan qabul. Seorang pelaku tidak dapat dipandang sebagai rukun dari perbuatannya, kerana pelaku bukan merupakan bagian internal dari perbuatannya. Sebagaimana yang berlaku pada ibadah, misalnya shalat, diman orang yang melakukan shalat tidak dapat dipandang sebagai rukun shalat. Atas dasar ini al-Aqid (orang atau pihak yang melakukan akad) tidak dapat dipandang sebagai rukun akad. Namun sebagian fuqaha seperti Imam al-Ghazali, ulama’ Syafi’iyah memandang al-Aqid sebagai rukun akad, dengan alas an ia merupakan salah satu pilar utama dalam tegaknya akad. Demikian juga dengan pendapat Syihab al-Karakhi, dari kalangan Malikiyah.
- Unsur-unsur Akad
Unsur-unsur akad adalah sesuatu yang merupakan pembentukan adanya akad, yaitu berikut ini:
a. Shighat Akad
Shighat akad adalah sesuatu yang disandarkan dari dua pihak yang berakad yang menunjukkan atas apa yang ada di hati keduanya tentang terjadinya suatu akad. Hal itu dapat diketahui dengan ucapan, perbuatan, isyarat, dan tulisan. Fiqh Muamalah menetapkan sejumlah persyaratan umum yang harus terpenuhi dalam setiap shighat akad, yaitu sebagai berikut:
· Jala’ul ma’na (dinyatakan dengan ungkapan yang jelas dan pasti maknanya), sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki (melalui ungkapan lisan);
· Tawafuq/tathabuq bainal ijab wal-qabul (persesuaian antara ijab dan qabul);
· Jazmul iradataini (ijab dan qabul mencerminkan kehendak masing-masing pihak secara pasti) tidak menunjukkan adanya unsure keraguan dan keterpaksaan;
· Ittishal al-Qabul bil Ijab, dimana kedua pihak dapat hadir dalam satu majlis.
Syarat-syarat sighat diatas khususnya yang pertama adalah akad harus jelas hal ini ditekankan pada ucapan lisan. Namun akad juga bias dilakukan dengan tulisan, artinya kehendak yang dinyatakan melalui tulisan yang jelas itu sudah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan diucapkan secara lisan. Bagi orang yang tidak dapat mengungkapkan kehendaknya secara lisan, karena cacat wicara, maka tulisan adalah solusi terbaik selama dapat dibuktikan keaslian tulisan tersebut. Tulisan juga merupakan solusi bagi pihak-pihak yang berhalangan bertemu secara langsung. Dalam hal ini terdapat sebuah kaidah Fiqhiyah:
الكتابة بين الغا ئبين كا النقط بين الخا ضرين
“Tulisan bagi orang-orang yang berhalangan hadir sepadan dengan tulisan bagi orang yang hadir”.
Menurut Ulama Hanafiyah dan Malikiyah, sah melakukan akad melakui tulisan ini bagi yang cacat wicara maupun tidak, bagi orang yang berhalangan hadir maupun bagi orang yang hadir. Tetapi akad seperti ini tidak berlaku bagi akad zawaj (perkawinan). Dan jika dikaitkan dengan rukun akad (ijab dan qabul), maka akibat hukum dari ijab yang dinyatakan melalui tulisan berlaku terhitung sejak diterima akad dan disetujui oleh pihak lainnya, tidak terhitung sejak ditulis.
Sighat akad juga dapat dilakukan melalui isyarat yang menunjukkan secara jelas kehendak pihak-pihak yang melakukan akad. Akad dengan isyarat ini berlaku khusus bagi orang yang tidak dapat bicara (bisu) dan tidak dapat pula menulis. Adapun sighat berikutnya juga dapat berupa dalalah (petunjuk), yakni keberlangsungan akad dikaitkan dengan suatu perbuatan tertentu yang menunjukkan persetujuan kedua pihak. Akad melalui dalalah ini berlangsung dalam dua bentuk yaitu:
Pertama, Ta’athi atau mu’athah (saling member dan menerima), maksudnya ketika masing-masing pihak melakukan suatu perbuatan dalam batas situasi dan kondisi yang menunjukkan kehendak melakukan suatu transaksi (akad). Seperti akad jual-beli yang terjadi di swalayan, supermarket dan lain-lain. Kedua, lisanul hal yaitu kondisi tertentu yang menunjukkan kepada suatu ungkapan. Misalnya ketika seseorang menaruh suatu barang dihadapan kita, kita diam saja. Maka perbuatan tersebut mengidentifikasikan ungkapan penitipan barang (wadi’ah) dan jika kita diam, artinya kita berkenan dititipi barang tersebut.
b. Al-Aqid (orang yang berakad)
Al-Aqid adalah orang yang melakukan akad. Keberadaannya sangat penting karena tidak dapat dikatakan akad jika tidak ada aqid. Begitu juga tidak akan terjadi ijab dan qabul tanpa adanya aqid. Secara umum, aqid disyaratkan harus ahli dan memiliki kemampuan untuk melakukan akad atau mampu menjadi pengganti orang lain jika ia menjadi wakil. Ulama’ Malikiyah dan Hanafiyah mensyaratkan aqid harus berakal, yakni sudah mumayyiz anak yang agak besar yang pembicaraannya dan jawaban yang dilontarkan dapat dipahami, serta berumur minimal 7 tahun. Oleh karena itu dipandang tidak sah suatu akad yang dilakukan oleh anak kecil yang belum mumayyiz, orang gila, dan lain-lain.
Sedangkan ulama’ Syafi’iyah dan Hanbaliyah menyaratkan aqid harus baligh, berakal, telah mampu memelihara agama dan hartanya. Dengan demikian, seorang anak kecil melakukan akad yang sederhana tetapi harus seizing dengan walinya.
c. Mahal aqd (al-Ma’qud Alaih)
Mahal aqd (al-Ma’qud Alaih) adalah obyek akad atau benda-benda yang dijadikan akad yang bentuknya tampak dan membekas. Barang tersebut dapat berbentuk harta benda, seperti barang dagangan, benda bukan harta seperti dalam akad perkawinan, dan dapat pula berbentuk kemanfaatan seperti dalam masalah upahlgaji dan lain-lain.
Dalam islam tidak semua barang dapat dijadikan obyek akad misalnya minuman keras, oleh karena itu para Fuqaha menetapkan lima syarat barang-barang yang bisa dijadikan obyek akad, yaitu:
- Ma’qud alaih (barang) harus ada ketika akad;
- Ma’qud alaih harus masyru’ (sesuai ketentuan syara’);
- Dapat diberikan waktu akad;
- Ma’qud alaih harus diketahui oleh kedua belah pihak yang akad melangsungkan akad;
- Ma’qud alaih harus suci.
d. Maudhu (Tujuan) Akad
Maudhu akad adalah maksud utama disyariatkan akad. dalam syariat islam, Maudhu akad ini harus benar dan sesuai dengan ketentuan syara’. Sebenarnya Maudhu akad adalah sama meskipun berbeda-beda barang dan jenisnya. Misalnya pada akad jual-beli, Maudhu akad adalah pemindahan kepemilikan barang dari penjual kepada pembeli. Maudhu akad pada hakikatnya satu arti dengan maksud asli akad dan hukum akad. Hanya saja, maksud asli akad dipandang sebelum terwujudnya akad, hukum dipandang dari segi setelah terjadinya akad atau akibat terjadinya akad, sedangkan Maudhu akad berada diantara keduanya.
Pembahasan ini sangat erat kaitannya dengan hubungan dzahir akad dan batinnya. Diantara para ulama’, ada yang memandang bahwa akad yang shahih harus bersesuaian antara dzahir dan batin akad. Ulama’ Hanafiyah dan Syafi’iyah menetapkan beberapa hukum akad yang dinilai secara dzahir sah, tetapi makruh tahrim: yaitu jual-beli yang menjadi perantara munculnya riba, menjual anggur untuk dijadiakn khamr dan lain-lain.
- Macam-macam Akad
Pembagian macam-macam akad ini dapat ditilik darai bervagai macam aspek dan sudut pandang yang berbeda-beda, yaitu:
i. Berdasarkan ketentuan syara’
a) Akad shahih adalah akad yang memenuhi unsure dan syarat yang ditentukan oleh syara’. Dalam istilah ulama Hanafiyah akad shahih adalah akad yang memenuhi ketentuan syariat pada asal dan sifatnya;
b) Akad ghairu shahih adalah akad yang sebagian unsurnya atau sebagian rukunnya tidak terpenuhi. Seperti akad jual-beli bangkai dan daging babi, atau jual-beli yang dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi syarat kecakapan hukum. Akad yang seperti ini tidak menimbulkan akibat hukum.
ii. Berdasarkan penamaannya
a) Akad yang telah dinamai syara’, seperti jual-beli, hibah, gadai, dll;
b) Akad yang belum dinamai syara’ tetapi disesuaikan dengan perkembangan zaman.
iii. Berdasarkan maksud dan tujuan akad
a) Kepemilikan;
b) Menghilangkan kepemilikan;
c) Kemutlakan, yaitu sesorang mewakilkan secara mutlak kepada wakilnya;
d) Perikatan, yaitu larangan kepada seseorang untuk beraktifitas misalnya orang gila;
e) Penjagaan.
iv. Berdasarkan zatnya
a) Benda yang berwujud (al-‘ain);
b) Benda yang tidak berwujud (ghair al-‘ain).
- Berakhirnya Akad
Akad itu dapat berakhir apabila adanya pembatalan, meninggal dunia, atau tanpa adanya izin dalam akad mauquf (ditangguhkan). Akad dengan pembatalan, terkadang dihilangkan dari asalnya seperti pada masa khiyar, terkadang dikaitkan pada masa yang akan datang seperti pembatalan dalam sewa-menyewa dan pinjam-meminjam yang telah disepakati selama jangka waktu yang sudah ditentukan misalnya 5 bulan, tetapi sebelum sampai 5 bulan sudah dibatalkan.
Pada akad ghairu lazim, yang kedua belah pihak dapat membatalkan akad, pembaltalan ini sangat jelas seperti pada gadai, orang yang menerima gadai dibolehkan membatalkan akad walaupun tanpa sepengetahuan orang yang menggadaikan barangnya. Adapun pembatalan pada akad lazim terdapat dalam beberapa hal yaitu: ketika akad rusak, adanya khiyar, pembatalan akad, tidak mungkin melaksanakan akad, masa akad berakhir.
Referensi:
Dewi, Gemala, dkk. 2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Mas’adi, Gufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontektual. : Rajawali Pers.
Ramadhan, M. Taufiq. 1998. Al-Buyu’ al-Sya’iyah wa Athar Dawabit al-Mabi’ ‘ala Shar’iyatiha. Damaskus: Darul Fiqry.
Subekti. 1992. Hukum Perjanjian,. Cet. 14, Jakarta: Intermasa.
Syafei, Rachmat. 2000 Fiqh Muamalah. Bandung: Pustaka setia.
0 Response to "Akad Dalam Fiqh Muamalah"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!