Macam-Macam Alat Bukti Dalam Hukum Pidana Indonesia
Seperti diketahui dalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (Absolut) semua pengetahuan kita hanya sifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar, jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar dari pelaku tindak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidak-kesalahannya walaupun selalu ada kemungkinannya merupakan suatu hal yang tidak diterima sama sekali.
Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan menyakinkan.
Mengenai alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam pasal 184 KUHAP. Yaitu:
· Keterangan Saksi
Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur di dalam 1 (satu) pasal saja, yaitu pasal 185 KUHAP, yang antara lain menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi, bagaimana tentang kekuatan pembuktiannya. Pasal 185 KUHAP, yang berbunyi
1. Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah: apa yang saksi nyatakan di sidang peradilan.
2. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
3. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.
4. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungan satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
5. Baik berpendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi.
6. Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus bersungguh-sungguh memperhatikan:
a. Persesuaian antara saksi satu dengan yang lainnya
b. Persesuaian saksi dengan alat bukti lainnya.
7. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu.
8. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.
9. Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan saksi yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.
Dalam pasal 164 KUHAP, alat bukti berupa keterangan saksi menempati urutan pertama, dalam hal ini, diatur dalam pasal 160 ayat (1) huruf b. KUHAP, yang rumusannya sebagai berikut: “Yang pertama-tama di dengar keterangannya adalah korban yang menjadi saksi.”
Mengenai keterangan saksi menempati urutan pertama dalam sidang pengadilan. M. Yahya Harahap, berpendapat bahwa:
Yakni yang membuat Undang-undang menghendaki suatu prinsip mendahulukan, mendengarkan keterangan saksi dari pada terdakwa, tujuannya memberi kesempatan terdakwa mempersiapkan diri untuk membela kepentingannya dalam pemeriksaan persidangan, agar persiapannya lebih baik. Undang-undang menetapkan supaya terdakwa diberi kesempatan lebih dahulu mendengar keterangan saksi.
Jika diperhatikan H.I.R dan R.I.J.B dahulu, maka terdapat perbedaan, karena menurut H.I.R atau R.I.J.B, terdakwa diperiksa lebih dahulu baru kemudian para saksi-saksi.
Dalam hukum acara pidana yang tidak dapat diambil keterangannya sebagai saksi adalah:
a. Mereka yang relatif tidak berwewenang memberi kesaksian, adalah:
Diatur dalam pasal 168 yang berbunyi: kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
1). Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa;
2). Saudara dari terdakwa atau bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu dan saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
3). Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa.
Orang-orang yang tersebut dalam pasal 168 KUHAP disebut Relatif tidak berwenang (Relatif Onbevoegd) untuk memberi kesaksian, karena jika jaksa dan terdakwa serta orang-orang tersebut menyetujuinya, maka mereka dapat didengar sebagai saksi (pasal 169 (1) KUHAP). Namun demikian, walaupun ketiga golongan tersebut tidak setuju untuk memberi kesaksian, yaitu jaksa, terdakwa, dan orang-orang tersebut di atas, hakim masih bisa memutuskan untuk mendengar mereka tetapi hanya untuk memberi keterangan saja.
b. Mereka yang Absolut tidak berwenang memberi kesaksian.
Dalam pasal 171 KUHAP, berbunyi sebagai berikut yang yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa sumpah ialah:
1). Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin
2). Orang yang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali
Mengigat bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila, meskipun hanya kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut Psychopat, mereka ini tidak dapat dipertangung jawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja.
Para saksi menurut pasal 265 ayat (3) HIR dan pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum didengar keterangannya, harus disumpah lebih dahulu menurut cara yang ditetapkan oleh agamanya masing-masing, bahwa mereka akan memberikan keterangan yang mengandung kebenaran dan tidak lain dari pada kebenaran. Penyumpahan semacam ini dinamakan, dilakukan secara “Promissoris” (secara sanggup berbicara benar) lain cara ialah: yang dinamakan, secara “Assertoris” (menempatkan kebenaran pembicaraan yang telah lalu), yaitu saksi didengar dulu keterangannya, dan kemudian baru disumpah bahwa yang telah diceritakan itu adalah benar.
· Keterangan ahli
Keterangan Ahli diatur dalam pasal 186 KUHAP yang mengatakan bahwa keterangan ahli ialah: apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.
Keterangan ahli pada hakikatnya merupakan keterangan pihak ketiga untuk memperoleh kebenaran sejati, ia dijadikan saksi karena keahliannya bukan ia terlibat dalam suatu perkara yang sedang disidangkan. Hakim karena jabatan atau karena permintaan pihak-pihak dapat meminta bantuan seseorang atau lebih saksi saksi ahli, keterangan ahli merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus dan obyektif dengan maksud membuat terang suatu perkara atau guna menambah pengetahuan hakim sendiri dalam suatu hal tertentu.
Menurut Karim Nasution, ahli itu tidaklah perlu merupakan seorang spesialis dalam lapangan suatu ilmu pengetahuan. Setiap orang menurut hukum acara pidana dapat diangkat sebagai ahli, asal saja dianggap mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang khusus mengenai sesuatu hal, atau memiliki lebih banyak pengetahuan dan pengalaman tentang soal itu, bukan berarti bahwa dalam memerlukan bantuan ahli, selalu harus meminta bantuan sarjana-sarjana, atau ahli-ahli ilmu pengetahuan, tetapi juga pada orang-orang yang berpengalaman dan kurang pendidikan. Namum dalam bidangnya saja, umpamanya pembuat senjata, pemburu, tukang sepatu dan sebagainya yang soal-soal tertentu yang dapat memberikan pertolongan yang diperlukan.
Kekuatan pembuktian keterangan ahli tersebut, adalah sebagai alat bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian hakim; hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli.
· Surat
Pemeriksaan surat di persidangan langsung dikaitkan dengan pemeriksaan saksi-saksi dan persidangan terdakwa, pada saat pemeriksaan saksi, ditanyakan mengenai surat-surat yang ada keterkaitan dengan saksi yang bersangkutan dan kepada terdakwa pada saat memeriksa terdakwa.
Berkaitan dengan alat bukti berupa surat diatur dalam pasal 187 KUHAP, yang Berbunyi:
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, dalam hal ini diatur dalam pasal 187 KUHAP adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya. Yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu.
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan:
c. Surat dari seseorang keterangan ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian lain.
Keterangan-keterangan, catatan-catatan dan laporan-laporan itu sebenarnya tidak berbeda dengan keterangan-keterangan saksi, tetapi di ucapkan secara tulisan. Maka dari itu arti sebenarnya dari pasal tersebut ialah bahwa pejabat-pejabat tersebut dibebaskan dari menghadap sendiri di muka hakim. Surat-surat yang ditanda tangani mereka, cukup dibaca saja dan dengan demikian mempunyai kekuatan sama dengan kalau mereka menghadap di muka hakim dalam sidang dan menceritakan hal tersebut secara lisan.
Surat dapat digunakan sebagai alat alat bukti dan mempunyai nilai pembuktian apabilah surat tersebut dibuat sesuai dengan apa yang yang diharuskan oleh undang-undang.
Apabila surat sudah dibuat sesuai dengan ketentuan undang-undang maka bukti surat mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna dan mengikat bagi hakim dengan syarat:
1. Bentuk formil maupun materiil sudah sesuai dengan ketentuan yang diatur oleh undang-undang.
2. Bahwa surat tersebut tidak ada cacat hukum
3. Tidak ada orang lain yang mengajukan bukti bahwa yang dapat melemahkan bukti surat tersebut.
Dalam menilai alat bukti surat, penyidik, penuntut umum, maupun hakim dalam meneliti alat bukti surat harus cermat, dan hanya alat bukti tersebut di atas yang merupakan alat bukti yang mempunyai kekuatan pembuktian dalam perkara pidana.
Di antara surat-surat bukti yang bukan surat resmi tersebut, ada segolongan yang penting bagi pembuktian, yaitu surat-surat yang berasal dari atau di tanda tanggani oleh terdakwa. Kalau terdakwa menggakui di muka hakim penanda tangannya atau berasal dari atau di tanda tangani oleh terdakwa, maka hal ini akan memudahkan pemeriksaan perkara. Dalam hukum acara perdata, surat-surat tidak resmi itu kalau diakui tanda tangannya oleh yang bersangkutan, mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat hakim, seperti halnya, akte autentik, ini pun lain bagi hakim hukum pidana, yang leluasa untuk tidak menggangap hal tentang sesuatu telah terbukti oleh surat semacam itu, meskipun tanda tangan diakui oleh terdakwa, yaitu hakim tidak berkeyakinan atas kesalahan terdakwa.
· Petunjuk.
Di dalam KUHAP alat bukti petunjuk ini dapat di lihat dalam pasal 188, yang berbunyi sebagai berikut:
1. Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuainya, baik antara yang satu yang lainnya, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
2. Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari:
a. Keterangan saksi;
b. Surat
c. Keterangan terdakwa.
3. Penilaian atas penilaian pembuktian dari suatu ptunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.
Dari bunyi pasal di atas, maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung, karena hakim dalam mengambil kesimpulan tentang pembuktian, haruslah menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti lanya dan memilih yang ada persesuaiannya satu sama lain.
Syarat-syarat untuk dapat dijadikannya petunjuk sebagai alat bukti haruslah:
a. Mempunyai persesuaian satu sama lain atas perbuatan yang terjadi.
b. Keadaan-keadaan perbuatan itu berhubungan satu sama lain dengan kejahatan yang terjadi.
c. Berdasarkan pengamatan hakim baik dari keterangan terdakwa maupun saksi di persidangan.
Adanya petunjuk dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa (ayat 2). Keterangan seorang saksi saja dapat dijadikan petunjuk oleh hakim, jika berhubungan dengan alat bukti lainya. Demikian juga halnya dengan keterangan terdakwa yang diberikan di luar persidangan merupakan petunjuk bagi hakim atas kesalahan terdakwa.
· Keterangan Terdakwa.
Mengenai keterangan terdakwa ini dalam KUHAP diatur dalam pasal 189 yang berbunyi sebagai berikut:
1. Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.
2. Keterangan terdakwa yang diberikan di luar sidang dapat digunakan untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang didakwakan kepadanya.
3. Keterangan terdakwa hanya dapat digunakan terhadap dirinya sendiri.
4. Keterangan terdakwa saja tidak cukup dengan untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain
Permuatan kata-kata yang ia ketahui atau alami sendiri seperti dalam redaksi ayat (1) pasal di atas, menurut Andi Hamzah, berlebihan. Menurut beliau, sebaiknya kata-kata tersebut dimasukkan dalam redaksi keterangan saksi atau ahli. Seharusnya yang dimaksud dengan keterangan terdakwa ialah apa yang ia nyatakan di sidang tentang perbuatan apa yang dilakukannya disertai dengan keterangan dari keadaan keadaan tertentu. Maksudnya agar keterangan terdakwa didepan sidang pengadilan harus disertai cara-cara bagaimana ia melakukan perbuatannya. Demikian juga dengan ayat (4) tidak cukup dengan keterangan terdakwa saja dan disertai dengan alat bukti lain. Terdakwa harus menerangkan cara-cara ia melakukan perbuatan itu.
Menurut ketentuan ayat (2) keterangan terdakwa di luar sidang dapat membantu menemukan bukti di sidang. Pengadilan di luar sidang di sini maksudnya pengakuan yang diberikan terdakwa baik secara lisan atau tulisan di depan penyidik merupakan bukti petunjuk atas kesalahan terdakwa.
Referensi:
-Andi Hamzah, 1984. Perbandingan KUHAP-HIR dan Komentar, Jakarta: Ghalia Indonesia.
-Djoko Prakoso, 1988. Alat Bukti Dan Kekuatan Pembuktian Di Dalam Proses Pidana, Yogyakarta: Liberty.
-Suharto. RM, 1997. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Jakarta: Sinar Grafika,
-Wirjono Projodikoro, 1977. Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Bandung: Sumur Bandung.
izin copas gan :)
ReplyDeleteSedikit memberi tambahan. Kekuatan pembuktian keterangan ahli adalah sebagai alat bukti bebas artinya diserahkan kepada kebijaksanaan penilaian hakim; hakim bebas untuk menerima, percaya, atau tidak terhadap keterangan ahli.
ReplyDeleteMohon tanya, apakah surat pernyataan tertulis yang dibubuhi meterai Rp 6.000,--. (enam ribu) dapat dikatakan lebih baik dan benar, jika dibandingkan dengan yang tidak dibubuhi meterai Rp. 6.000,--.
ReplyDeleteSekian dan terima kasih.
Terimakasih mas Fahri telah manambahkan pendapat anda.. semoga bermanfaat. amin
ReplyDelete