Hakam dan Ketentuannya
Hakam menurut bahasa, At-Tahkim menjatuhkan hukuman yang berasal dari kata hakama, yahkumu, yang berarti memutuskan hukuman, atau orang yang mempunyai wewenang untuk perkara orang yang berselisih. Dalam kamus Yunus, makna Hakam menurut bahasa adalah hakim dan pemisah. Menurut Ropuan Rambe, dkk, Bahwa hakam adalah seseorang yang diangkat oleh hakim untuk mendamaikan kedua belah pihak berperkara dalam sengketa perkawinan dengan alasan adanya perselisihan yang terus menerus atau untuk menambah pengetahuan hakim, sejauh mana perselisihan yang terjadi antara kedua belah pihak. Pengertian ini lebih dipertegas lagi oleh Slamet Abidin, bahwa yang dimaksud dengan hakam atau hakamain adalah juru damai yang dikirim oleh kedua belah pihak suami istri apabila terjadi perselisihan antara keduanya, tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah di antara kedua suami istri tersebut.
Dari pengertian di atas, maka hakam adalah seseorang yang telah dipercaya oleh pihak Pengadilan untuk mencari solusi terjadinya perselisihan antara suami istri tanpa diketahui keadaan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Dengan demikian hakam di sini tidak sama dengan arbitase (wasit) karena dalam perwasitan tersebut yang menunjuk dan menetapkan adalah mereka yang bersengketa, di samping itu syarat arbiter menurut pasal 12 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 disebutkan antara lain; tidak mempunyai hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai dengan derajat kedua dengan salah satu pihak bersengketa, juga memiliki serta menguasai secara aktif di bidangnya paling sedikit 15 tahun. Sedangkan hakam ditetapkan dan diangkat oleh Hakim yang mengadili perkara sebagaimana pendapat Asy-Syaerozi dan pendapat tersebut dikuatkan oleh Al-Qurthubi dalam kitab Tafsir Jami'i Akmamili Qur'an juz V mengemukakan: Jumhur Ulama berpendapat bahwa yang dikhithobi (dituju) dengan firman Allah SWT adalah para hakim atau penguasa.
Menurut Morteza Mutahhar, hakam dipilih dari keluarga suami dan istri. Satu dari pihak suami dan satu pihak dari istri, dengan persyaratan jujur dan dapat dipercaya, berpengaruh dan mengesankan, mampu bertindak sebagai juru damai serta orang yang lebih mengetahui keadaan suami istri, sehingga suami lebih terbuka mengungkapkan rahasia hati mereka masing-masing. Apa yang dijelaskan di atas hampir tidak berbeda dengan pengertian yang dirumuskan dalam pasal 76 ayat (2): hakam adalah orang yang ditetapkan pengadilan dari pihak keluarga suami istri atau pihak lain untuk mencari upaya penyelesaian perselisihan terhadap syiqaq.
Akan tetapi, kalau dibanding pengertian yang dikemukakan oleh beliau dengan apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), tampaknya pengertian yang dikemukan beliau sangat dekat dengan maksud yang tertulis dalam Al-Qur'an surah An-Nisa' : 35. Sedang apa yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), sudah agak menyimpang. Hal ini, sebagaimana pendapat Dr. H. Mahmud Yunus dalam menafsirkan ayat di atas, bahwa ”Kalau terjadi perselisihan antara suami istri, hendaklah diadakan seorang hakim dari keluarga suami dan hakim dari keluarga istri, untuk mendamaikan antara keduanya, sehingga dapat hidup rukun kembali…". Pendapat ini diperkuat lagi oleh Ibnu Rusyd dalam kitab Bidayatul Mujtahid mengemukakan sebagai berikut:
"Dan para ulama Ijma' bahwa sesungguhnya dua orang hakam itu tidak diangkat kecuali dari keluarga suami istri, salah seorang diantaranya adalah dari pihak suami dan yang lainnya dari pihak istri, kecuali apabila tidak terdapat dari pihak keluarga yang dapat mendamaikan maka diutuslah orang selain mereka".
Jelas dapat dilihat dari sumber asli yang ditentukan dalam surah An-Nisa' : 35. Hakam terdiri dari dua orang yang diambil atau dipilih dari masing-masing satu orang dari keluarga pihak suami istri.
Demikian itu menurut suatu pendapat adalah merupakan salah satu syarat sehingga dikatakan wajib sebagaimana yang dikemukakan oleh Ali Asy-Syayis dalam tafsir Ayatul Ahkam.
Adapun menurut Sayyid Sabiq dalam Fiqhus Sunnah sebagai berikut:
"Dan tidak disyaratkan kedua hakam itu terdiri dari keluarga suami istri, maka jika bukan dari keluarga maka boleh dan perintah dalam ayat itu adalah sebagai anjuran, karena hakam dari keluarga itu adalah lebih bisa memberi manfaat dan lebih tahu dengan apa yang sedang terjadi serta lebih mengenal keadaan dari pada orang lain".
Dari pembahasan di atas kami berpendapat bahwa pihak keluargalah yang diutamakan terlebih dahulu dalam pengangkatan hakam itu, karena selain dianjurkan maka pada pihak keluarga biasanya mempunyai beberapa kelebihan yang dimiliki sebagaimana yang digambarkan di atas.
Sedangkan Hakam yang dirumuskan dalam penjelasan pasal 76 ayat (2), boleh dari pihak keluarga suami saja atau dari pihak istri saja. Bahkan diperbolehkan Hakam yang terdiri dari pihak lain. Di samping itu, menurut Al-Qur'an, Hakam terdiri dari dua orang. Satu dari pihak keluarga suami dan satu lagi dari pihak keluarga istri. Tapi dalam pasal 76 ayat (2) dan penjelesannya, hal itu tidak disinggung sama sekali.
Pada prinsipnya hal tersebut dianggap tidak keberatan, asal dalam batas-batas pengertian bahwa rumusannya sengaja diperluas pembuat Undang-Undang, bukan untuk tujuan menyingkirkan ketentuan surah An-Nisa' :35. tetapi tujuannya agar rumusan ayat itu dapat dikembangkan menampung prolema yang berkembang dalam kehidupan masyarakat dalam batas-batas acuan jiwa dan semangat yang terkandung di dalamnya. Hal ini sebagaimana tujuan dari maqasidus Syari'ah yang pernah digagas oleh Najamuddin At-Tufi yang dikutib oleh Yusdani, yaitu menekankan pada kepentingan umum dengan mempertimbangkan unsur-unsur darurat, illat-illat, adat, dan syarat karena situasi tertentu.
Adapun kriteria seorang hakam yang mendamaikan perselisihan antara suami istri adalah :
a. Muslim.
b. Baligh.
c. Berakal.
d. Laki-laki.
e. Merdeka.
f. Berwawasan luas.
g. Fakih (memahami ajaran Islam).
h. Adil.
i. Memahami dan menguasai tugas.
j. Jujur.
k. Ikhlas dalam menjalankan tudas Karena Allah SWT semata.
l. Taqwa dan wara'.
m. Dianjurkan dari keluarga dekat saumi istri.
Referensi:
Abi Abdillah Muhammad Bin Ahmad Al-Anshori Al-Qurthubi, 1993. Jami’I Ahkamill Qur’ani, Bairut: Darul Kutub Al-‘ilmiyah.
Abi Ishaq Ibrahim Bin Ali Bin Yusuf Al-Fairuzbari Asy-Syaerozi, 1995. Muhadzdzab Juz: II, Bairut: Darul Kutub Al-‘ilmiyah.
Gunawan Widjaya, Ahmad Yani, 2001.Hukum Arbitrase, Jakarta: P.T. Raja GrafindoPersada.
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid Wa Niyahatul Muqtashid Juz: II, Surabaya: Al-Hidayah.
Muhammad Ali Asy-Syaayis, 1998. Ayatul Ahkam, Libanon: Darul Kutub Ilmiyah.
Morteza Mutahhar, 1985. Wanita Dan Hak-Haknya Dalam Islam. Bandung: Pustaka Bandung.
Slamet Abidin, Aminuddin, 1998. Fiqh Munakahat, Bandung: Pustaka Setia.
Sabiq, Sayyid, 1990. Fiqhus Sunnah. Mesir: Darul Fatf Lil A’lam.
Yusdani, 2000. Peranan Kepentingan Umum Dalam Reaktualisasi Hukum: Kajian Konsep Hukum Islam Najamuddin At-Tufi, Yogyakarta: UII Press.
0 Response to "Hakam dan Ketentuannya"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!