Pengertian Talfiq dan Dasar Hukum Talfiq
Pengertian Talfiq
Talfiq secara bahasa berarti menyesuaikan
beberapa hal, cara mengamalkan ajaran agama dengan mengikuti secara taqlid tata cara berbagai madzhab,
sehingga dalam satu amalan terdapat pendapat berabagai madzhab. Ulama ushul
fiqh mendefinisikan talfiq dengan melakukan suatu amalan dengan tatacara yang
sama sekali tidak dikemukakan mujtahid manapun, metode talfiq berkaitan erat
dengan ijtihad dan taqlid.
contoh talfiq dapat dikemukakan sebagai berikut: ketika berwudlu’, khususnya
dalam masalah menyapu kepala, seseorang mengikuti tatacara yang dikemukakan
Imam Syafi’i, Imam Syafi’i berpendapat bahwa dalam berwudlu’ seseorang cukup
menyapu sebagian kepala, yang batas minimalnya tiga helai rambut, setelah
berwudlu’ orang tersebut bersentuhan kulit dengan seorang wanita yang bukan mahram atau muhrim- nya, menurut Imam Syafi’i wudlu’
seorang laki-laki batal apabila bersentuhan kulit dengan wanita dan sebaliknya. Namun, dalam bersentuhan kulit
dengan wanita setelah berwudlu’ orang tersebut mengambil pendapat Imam Abu
Hanifah dan meninggalkan pendapat Imam Syafi’i. Imam Abu Hanifah menyatakan
bahwa persentuhan kulit tersebut tidak membatalkan wudlu’. Dalam kasus seperti
ini, pada amalan wudlu’ terkumpul dua pendapat sekaligus, yaitu pendapat Imam
al-Syafi’i dan Imam Abu Hanifah.
Jika dilihat dari pendapat dua madzhab itu secara terpisah, maka
wudlu’ tersebut dinyatakan tidak sah. Dalam madzhab Syafi’i, wudlu’ itu tidak
sah karena yang bersangkutan telah bersentuhan kulit dengan wanita yang bukan mahram atau muhrim-nya.
Dilihat dari pendapat madzhab Hanafi wudlu’ itupun tidak sah karena orang
tersebut hanya menyapu sebagian kepalanya, menurut imam abu hanifah dalam berwudlu’
kepala harus disapu seluruhnya.
Pemikiran tentang talfiq muncul setelah berkembangnya madzhab
yang diiringi dengan semakin kuatnya pemikiran taqlid, sehingga muncul
pernyataan bahwa ijtihad telah tertutup. Di zaman Rosulullah SAW. Sahabat dan
Tabi’in tidak dijumpai pemikiran tentang talfiqtersebut.
Bahkan di zaman imam Madzhab yang empat pun (Abu Hanifah, Maliki, Syafi’i,
Hanbali) tidak ditemukan pembahasan tentang talfiq, karena tidak seorangpun di
antara mereka yang melarang orang lain untuk
mengikuti pandapat siapapun di antara mereka.
Para ahli ushul
fiqh kontemporer, seperti
Zakiyuddin Sya’ban, Imam Muhammadabu Zahrah (w. 1394 H/1974 M), Ali al-Khafif,
ketiganya dari Mesir, mengatakan bahwa konsep talfiqmuncul
akibat kuatnya perasaan taqlid yang ditanamkan ulama’ madzhab di
zaman berkembangnya taqlidyang
mengharamkan seorang pengikut madzhab tertentu untuk mengmbil pendapat dari
madzhab lain. Ulama’ fiqh dan ushul fiqh yang tidak membolehkan talfiq jumlahnya sangat sedikit, di
antaranya Abu Bakar al-Qaffal (291-365 H).
Dasar Hukum Talfiq
Mayoritas ulama’ fiqh dan ushul fiqh
berpendapat bahwa talfiq boleh dilakukan dalam
mengamalkan sesuatu, hal ini didasari oleh tidak adanya suatu nash (al-Qur’an dan Hadits) yang menyatakan
bahwa talfiq dilarang. Di samping itu, Rosulullah
saw. ketika berhadapan dengan dengan dua pilihan yang dibenarkan agama selalu
memilih yang paling mudah dan ringan (HR. al-Bukhori, at-Tirmidzi, dan Malik). Hal ini sejalan dengan firman Allah
SWT adalam surat al-Baqarah (2) ayat 185yang artinya:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki
kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur.
Dan dalam ayat lain Allah SWT berfirman:……..”dan
Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam gama suatu kesempitan……..”
(QS.22:78)
Namun demikian ulama’ fiqh juga mengemukakan
beberapa ketentuan berkenaan dengan dibolehkannya memilih pendapat yang termudah
dalam mengamalkan suatu ajaran agama. Ketentuan-ketentuan tersebut adalah
sebagai berikut:
·
Mengambil cara yang termudah tersebut harus disebabkan adanya udzur. Dalam hal ini Imam
al-Ghozali (ahli ushul fiqh madzhab Syafi’i)berpendapat bahwa talfiq tidak boleh didasarkan pada keinginan
mengambil yang termudah dengan dorongan hawa nafsu, dan hanya boleh apabila
disebabkan oleh adanya udzur atau situasi yang menghendakinya.
Talfiq tidak boleh membatalkan hukum yang
telah ditetapkan hakim, karena apabila hakim telah menentukan suatu pilihan
hukum dari beberapa pendapat tentang suatu masalah, maka hukum itu wajib
ditaati, hal ini sejalan dengan kaidah fiqh “keputusan
hakim itu mengahapuskan segala perbedaan pendapat”.
Talfiq tidak boleh dilakukan dengan
mencabut kembali suatu hukum atau amalan yang sudah diyakini, misalnya,
serorang Mujtahidmenceraikan
isterinya secara mutlak, tanpa menyebutkan bilangan talak yang dijatuhkannya. Ketika itu Ia
berkeyakinan bahwa talak yang dijatuhkannya secara mutlak
tersebut adalah talak tiga sekaligus. Oleh karena itu ia
tidak berhak rujuk kepada isterinya, kecuali setelah isterinya menikah dan
bercerai dengan orang lain, kemudian Mujtahid tersebut berubah pikiran, sehingga ia
berpendapat bahwa talak yang diucapkan secara mutlak (tanpa
menyebut bilangan talak)
tersebuit hanya jatuh satu, sehingga ia boleh rujuk dengan istrinya. Menurut
imam Ghozali perkawinan seperti itu tidak dibolehkan, karena akan membuat aqad talak sebagai permainan belaka dan nilai
sakralitas dari perkawinan akan hilang.
Ulama’ fiqh berpendapat bahwa talfiq dapat dilakukan dalam
hukum-hukum furu’ (cabang) yang ditetapkan berdasarkan
dalil dzonni (kebenarannya tidak pasti), adapun
dalam masalah aqidah dan akhlak tidak dibenarkan talfiq.
Sementara ulama’ ushul fiqh dalam masalah furu’ tersebut menjadi tiga macam:
Hukum yang ditetapkan berdasarkan kemudahan dan kelapangan yang
dapat berbeda dengan perbedaan kondisi setiap pribadi. Hukum-hukum seperti ini
adalah hukum yang termasuk al-ibadah
al-mahdah (ibadah khusus).
Karena dalam masalah ibadah khusus tujuan yang ingin dicapai adlaah kepatuhan
dan loyalitas seseorang pada Allah SWT dengan menjalankan perintah-Nya. Dalam ibadah
seperti ini faktor kemudahan dan menghindarkan diri dari kesulitan amat
diperhatikan.
Hukum yang didasarkan pada sikap kewaspadaan
dan penuh perhitungan. Hukum-hukum seperti ini biasanya berhubungan dengan sesuatu yang
dilarang. Allah SWT tidak mungkin melarang sesuatu,
melainkan didasari atas kemudaratan. Oleh karenanya pada hukum-hukum seperti
ini tidak dibenarkan kemudahan dan talfiq,
kecuali dalam keadaan darurat, misalnya larangan memakan daging babi dan
bangkai. Dalam mhal ini Rasulullah SAW bersabda: segala yangb dilarang,
hindarilah dan segala yang saya perintahkan ikutilah sesuai dengan kemampuanmu
(HR. Al-bukhori dan Muslim dari Abu Hurairah)berangkat dari hadits ini, ulama’
ushul fiqh menyatakan bahwa hukum-hukum yang bersifat perintah dikaitkan dengan
kemampuan. Hal ini menunjukkan adanya kelapangan dan kemudahan dalam
menjalankan suatu perintah. Namun untuk yang bersifat larangan tidak ada
toleransi dan tidak ada peluang memilih berbuat atau tidak berbuat. Karenanya seluruh
yang dilarang wajib dihindari.
Hukum yang intinya mengandung kemaslahatan
dan kebahagiaan bagi manusia. Misalnya pernikahan, muamalah dan pidana/hukuman.
Dalam pernikahan tujuan yang hendak dicapai adalah kebahagiaan suami isteri
beserta keturunan mereka. Oleh sebab itu segala cara yang dapat mencapai tujuan
perkawinantersebut boleh dilakukan, sekalipun terkadang harus dengan talfiq. Namun talfiqyang diambil tersebut
tidak bertujuan untuk menghilangkan esensi perperkawinanitu sendiri. Oleh sebab
itu ulama’ fiqh mengatakan bahwa nikah dan talak tidak bisa dipermainkan.
Adapun dalam bidang muamalah dan pidana yang disyari’atkan untuk memelihara
jiwa dan lain sebagainya, patokannya adalah kemaslahatan pribadi dan
masyarakat. Untuk mencapai tujuan tersebut cara-cara talfiq dibolehkan. Dan terkadang harus
dilakukan. Hal ini dibolehkan karena persoalan muamalah berkembang sesuai
dengan perkembangan masa dan tempat. Oleh karena itu segala cara yang dapat
menjamin dan mencapai kemaslahatan manusia sekaligus menghindarkanmereka dari
kemudaratan, boleh dilakukan.
Berdasarkan kenyataan di atas ulama fiqh
kontemporer menyatakan bahwa talfiq diperbolehkan, asal tidak menimbulkan
sikap main-main dalam ber-agama atau mengambil pendapat alasan tertentu.
Layaknya ulama’ tersebut di atas, terdapat
juga pendapat dari para mujtahid yang beraliran rasionalisme, pada dasarnya
aliran rasinalisme mempunyai arti aliran ijtihad yang berpandangan bahwa hukum
syara’ itu merupakan sesuatu yang dapat ditelaah esensi-esensi yang mendasari
ketentuan-ketentuan doktrinnya dengan mengacu pada kemaslahatan kehidupan umat
manusia. Dalam hal ini para mujtahid mengkaji ilat untuk setiap norma hukum dengan
melihat pada setiap sisi yang memungkinkannya untuk memperoleh ilat sebanyak-banyaknya, sehingga dapat
leluasa melakukan kajian analogis dengan memelihara kepantingan kehidupan
manusia dan masyarakat.
Para rasionalis selalu menganggap bahwa talfiq sah dilakukan guna menjaga serta
memperdayakan hukum syara’. Salah satu tokoh yang dimaksud di sisni adalah
Wahbah Al-Zuhaili yang memberikan ketetapan-ketetapan hukum talfiq dengan pertimbangan al-azri’ah guna menjga kemaslahatan umat manusia.
Ketetapan-ketetapan tentang talfiq ini dianggap sah karena tidak ada
kepastian hukum dari Nabi maupun sahabat, dan bahkan para mujtahid pun belum
menyinggung soal ini, karena pada masanya belum ada kecenderungan talfiq. Sikap
ini baru terlihat setelah madzhabitu mapan dimasyarakat, dan mampu
mempelajarinya secara leluasa.
Referensi:
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta: PT Ikhtiar Van Hoeve, 2003).
0 Response to "Pengertian Talfiq dan Dasar Hukum Talfiq"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!