Halal Bihalal Menumbuhkan Kasih Sayang
Prof Dr
Azyumardi Azra MA boleh dikata merupakan sosok intelektual dan cendekiawan
Muslim yang juga sukses sebagai birokrat. Keintelektualannya tidak diragukan
lagi. Berbagai tulisan dan komentarnya di berbagai media massa sangat
bernas berupaya memihak pada kebenaran, runut, dan tidak berbelit-belit.
Tak aneh bila kemudian komentar-komentarnya sangat laku 'dijual'. Sebagai
birokrat ia cukup berhasil mengembangkan Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta. Antara lain dengan meningkatkan status IAIN menjadi
Universitas Islam Negeri (UIN). Perubahan status ini penting, antara
lain untuk memperluas jangkauan keilmuan yang selama ini digarap IAIN. Dengan
menjadi UIN, garapannya bukan hanya ilmu-ilmu agama seperti di IAIN, tapi juga
ilmu-ilmu umum yang diberi jiwa agama. Dengan kesuksesannya memimpin IAIN dan
kemudian UIN Jakarta, menjadi wajar apabila kemudian ia terpilih kembali
menjadi rektor untuk periode kedua. Sebagai catatan, untuk jabatan rektor yang
kedua kalinya ini ia dipilih civitas akademika secara fair. Lalu apa komentar
Profesor Edi demikian ia disapa teman-teman dekatnya tentang
keberhasilannya sebagai intelektual dan sekaligus birokrat? ''Selama ini kalau
intelektual masuk birokrat terkesan hilang warna keilmuan atau
intelektualitasnya. Semestinya tidak demikian, amanat birokrasi jalan dan
keilmuannya juga demikian. Jadi kesan intelektual tak bisa memenej lembaga
pendidikan itu harus ditepis dengan pembuktian,'' ujar bapak tiga anak
kelahiran Lubuk Alung, Sumatera Barat, 4 Maret 1955 ini. Kelebihan lain dari
Prof Edi adalah kedekatannya dengan tokoh-tokoh ormas Islam dan non-Muslim.
Menurut doktor sejarah dari Columbia University, AS ini, kita boleh berbeda
pendapat. Tapi, katanya, perbedaan pendapat itu jangan sampai menjadi
permusuhan. ''Kuncinya adalah silaturahmi,'' jelas Ketua Yayasan Wakaf
Paramadina ini.
Berikut petikan perbincangan dengan Prof Edi di sekitar makna penting
silaturahmi dan halal bihalal yang banyak dilakukan masyarakat selama Idul
Fitri ini:
Menurut Anda, apa makna silaturahmi dan halal bihalal yang biasa dilakukan umat
Islam setelah lebaran?
Secara harfiah silaturahmi berarti menghubungkan kasih sayang. Hubungan kasih
sayang yang sarat dengan nilai-nilai persaudaraan, kesetiakawanan, dan saling
mengasihi baik antara sesama kaum muslim maupun antara kaum muslim dengan
non-muslim. Hubungan itu tak jarang rusak akibat ulah dan tindakan kita
sendiri. Karena itulah, dalam bulan Ramadahn dan rangkaian sesudahnya, yakni
Idul Fitri, kita dianjurkan menjalin kembali dan mempererat tali silaturahmi
dengan saling maaf-memaafkan satu sama lain.
Momentum itu menjadi sangat tepat dengan hadirnya apa yang biasa kita
sebut sebagai 'halal bihalal', yakni suatu forum yang secara substantif
sesungguhnya sangat baik dan mulia bagi perekatan dan wahana membangun
persaudaraan satu dengan lainnya. Jadi, sebagai sebuah wahana, antara
silaturahmi dan halal bihalal saling melengkapi. Yang satu menghalalkan kepada
yang lain dalam hal-hal yang baik tentunya, di mana puncak halal itu ya saling
memaafkan. Sebaliknya, kita juga akan mendapatkan banyak manfaat dengan
hadirnya forum tersebut, khususnya bila kita kaitkan dengan kondisi
sosio-kultural saat ini.
Maksudnya, dalam kondisi krisis multidimensi saat ini, halal bihalal maupun
silaturahmi bisa menjadi alternatif solusi?
Saya pikir begitu. Bangsa kita sekarang ini kan sudah di luar
kendali. Artinya, apa yang terjadi saat ini disebabkan hilangnya disorientasi,
yakni pemerintah menjalankan pemerintahannya tanpa orientasi yang jelas,
sementara rakyat terpenjara dalam kubang krisis dan tidak mendapatkan orientasi
yang jelas dari pemerintah yang mereka percaya melalui pemilu itu.
Disorientasi inilah yang sebenarnya sangat mengancam jalannya kita sebagai
bangsa ke depan, apakah masih mampu survive secara wajar atau hanya menjadi
bangsa dan negara yang terus terjerat dalam kubang krisis. Disorientasi ini
pula yang menyebabkan ancaman separatisme di berbagai daerah menjadi marak.
Karena itulah silaturahmi dan halal bihalal menjadi sangat relevan, bahkan
dapat menjadi stimulus bagi penyelesaian suatu masalah.
Apa ada teks dasar dari silaturahmi dan halal bihalal?
Substansi silaturahmi itu jelas ditegaskan dalam beberapa ayat Alquran dan
Hadis Rasulullah. Bila halal bihalal, itu kan hanya istilah saja. Makna dan
substansinya sama dengan anjuran atau nilai-nilai silaturahmi. Dasar
silaturahmia itu misalnya dapat kita temukan dalam surat An-Nisaa' ayat 1,
dengan penegasan kalimat arham, yang menjadi kata dasar silaturahmi. Firman
Allah SWT: ''Wahai manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari seorang diri, dan daripadanya Allah menciptakan isterinya; dan
daripada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak.
Dan bertakwalah kepada Allah, yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling
meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan kerabat. Sesungguhnya Allah
selalu menjaga dan mengawasi kamu.'' (An-Nisaa': 1) Juga dalam ayat yang
menyebutkan, ''...dan hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada...'' (QS:
24: 22), serta, ''Jika kamu menyatakan kebaikan atau menyembunyikannya atau
memaafkan kesalahan (orang lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Kuasa.'' (QS: 4: 149). Hadis Nabi juga banyak mengajarkan pentingnya
silaturahmi.
Misalnya sabda Rasulullah, ''Maukah kalian aku tunjukkan amal yang lebih besar
pahalanya dari shalat dan puasa?
Yaitu engkau damaikan orang-orang yang bertengkar, dan barangsiapa yang ingin
panjang usia dan banyak rezeki, sambungkanlah tali silaturahmi.'' (HR
Bukhari-Muslim). Jadi, jelas silaturahmi dan halal bihalal adalah bagian dari
perintah agama. Rasulullah sendiri telah memberi contoh bagaimana pentingnya
silaturahmi itu kepada para sahabat. Beliau tak hanya menunggu didatangi, tapi
bahkan Rasul terlihat sering mendatangi, menjalin silaturahmi baik dengan
sesama umat Islam maupun dengan umat agama lain. |
Sebagai sebuah tradisi, apakah halal bihalal hanya ada di Indonesia?
Secara keseluruhan, perayaan Idul Fitri memang kita rasakan keberadaannya di
Indonesia. Saya tidak menemukan, khususnya di negara-negara Timur Tengah,
adanya perayaan ini. Bagi banyak negara di dunia Arab kan justru menjadikan
Hari Raya Qurban (Idul Adha) sebagai hari raya yang lebih besar ketimbang Idul
Fitri. Perayaannya sangat meriah justru di saat Idul Adha (Qurban) itu. Nah,
perayaan lebaran atau halal bihalal di Indonesia itu kan kalau kita tilik lebih
dalam sesungguhnya menyangkut satu sistem.
Artinya, rentetan perayaan halal bihalal itu telah ada sejak menyambut puasa
itu sendiri. Misalnya, di beberapa daerah memiliki adat menyambut datangnya
Ramadhan, seperti di Sumatera Barat ada Mandi Balimau, atau tradisi orang ziarah,
dan lain sebagainya. Kemudian selama puasa misalnya ada tradisi memukul bedug
atau keliling kampung dengan membawa obor diselingi syiar-syiar keagamaan. Pada
tingkatan terakhir, yakni minggu terakhir hingga lebaran, berbagai tradisi itu
dilengkapi dengan apa yang disebut dengan mudik ke kampung. Itu kalau kita
cermati kan sebenarnya muaranya sama, yakni saling bertemu, kemudian memberi
salam kedamaian dengan bersalaman (memaafkan). Secara substansi kan juga sama
dengan halal bihalal. Hanya saja forumnya yang berbeda. Nah, lebaran itu
menjadi puncak saling silaturahmi itu, yang disebut halal bihalal. Tapi
faktanya, mudik itu kan sesungguhnya lebih pada simbolik atau lahiriyah, namun
pesan spiritual mudik hampir-hampir tak tampak.
Menurut Anda, gejala apa ini?
Itu tak ditampik. Kita tahu bahwa secara harfiah, mudik itu adalah pulang
kampung, katakanlah dari kota ke kampung. Tapi, secara simbolik mudik juga
berarti return to origion, kembali kepada asal. Kembali ke asal kultural,
seperti orang-orang yang berada di perantauan kembali ke asalnya, yakni kampung
halaman. Dalam pengertian simbolis yang lebih dalam lagi, adalah kembali kepada
kesucian. Sayangnya, masyarakat kita ini baru mampu menangkap makna simbolis
yang pertama tadi, sehingga pesan-pesan atau makna mudik sebagai sebuah
momentum spiritual itu hilang.
Warna 'spiritual mudik' jadi tak ada. Mestinya mudik itu dapat ditangkap dengan
pemahaman bahwa mudik itu kembali kepada asal spiritual kita. Makna semacam ini
yang sangat ditekankan dalam ibadah puasa dan Idul Fitri, yakni kembali kepada
fitrah (kesucian). Fitrah itu termasuk sifat dasar, sifat suci manusia yang
berkecenderungan kepada hal yang baik, hanif. Kita harus kembali kepada sikap
hanif (lembut) kita, seperti menerima kebenaran, menegakkan keadilan, dan
seterusnya. Kalau itu dapat kita kembangkan, saya kira kita baru dapat memahami
makna mudik di dalam pengertian simbolisme spiritualisme yang lebih tinggi.
Agar tidak 'mubazir', kiat apa yang perlu dilakukan agar halal bihalal lebih
bermanfaat dalam konteks mempererat persaudaraan antar-intern agama,
antar-agama, dan persaudaraan bangsa?
Kita harus kembali kepada makna hakiki dari silaturahmi dan halal
bihalal itu sendiri. Memang harus diakui, selama ini halal bihalal lebih
bersifat seremonial, sekalipun tidak menafikkan perayaan yang demikian juga
mencerminkan syiar agama yang cukup baik. Hanya saja, agar lebih maknawi,
pesan-pesan dari nilai spiritual halal bihalal itu yang mestinya mendapat
prioritas pemahaman, sehingga akan menjadi landasan dalam setiap tindakan dan
sikap kita. Itu kan sangat indah.
Jadi hemat saya, harus ada pemahaman dan penangkapan yang benar akan pesan
ritualitas halal bihalal. Dengan demikian, momentum baik halal bihalal itu
tidak kehilangan substansi keagamaan. Dalam konteks ini pula, para pemimpin
kita sudah semestinya melakukan halal bihalal dalam pengertian hijrah, yakni
hijrah dari sikap memihak kepentingan kelompok atau asing, kepada kepentingan
rakyat. Sekaligus merenungi untuk kemudian memikirkan langkah-langkah ke depan.
Oleh Prof Dr
Azyumardi Azra MA
Sumber:
-www.republika.co.id
0 Response to "Halal Bihalal Menumbuhkan Kasih Sayang"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!