Urgensi Penerjemah di Pengadilan
Tersangkut
kasus hukum, Ataliat Joses Guambe alias Lawrence harus berhadapan dengan aparat
penegak hukum Indonesia. Sepanjang Mei 2012 ia berurusan dengan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Perkara yang dihadapi pria asal Mozambik ini terbilang
berat menurut hukum Indonesia: narkotika. Mau tidak mau, Lawrence harus
mempersiapkan banyak hal agar bisa membela diri.
Celakanya,
Lawrence tak bisa berbahasa Indonesia, sehingga tak paham apa materi dakwaan
dan pertanyaan-pertanyaan jaksa dan hakim. Beruntung, dia didampingi seorang
penerjemah.
Seorang
penerjemah laksana penghubung bagi aparat
penegak hukum, terutama pengadilan. Adakalanya dibutuhkan
untuk penerjemahan teks (translation service), atau menerjemahkan langsung
pernyataan lisan (interpreter service)terdakwa kepada petugas pengadilan.
Peran
penerjemah menjadi lebih penting terutama dalam sidang pidana yang terdakwanya
warga negara asing, atau ketika hakim ingin mendengar saksi atau ahli
berkewarganegaraan asing. Sudah jadi rahasia umum, kemampuan bahasa asing
sebagian aparat hukum belum fasih. Apalagi di luar bahasa Inggris. Ada hubungan
simbiosis antara aparat penegak hukum dengan terdakwa, saksi, atau ahli
berkewarganegaraan asing dalam hal kehadiran penerjemah.
Juru bicara
PNJakarta Selatan, Mathius Samiaji mengakui jasa penerjemah memang dibutuhkan
di pengadilan dalam persidangan dengan terdakwa warga negara asing. Meskipun
hakim mengerti bahasa asing, mereka tidak diperkenankan mengajukan pertanyaan
menggunakan bahasa asing, bahasa Inggris misalnya. Sidang harus tetap
menggunakan bahasa Indonesia. Tugas penerjemahlah mengartikan apa yang disampaikan
dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia. “Begitupun sebaliknya,” ujarnya
kepada hukumonline.
Menurut dia,
agar keterangan hasil terjemahan meyakinkan hakim, para penerjemah biasanya
disumpah atau berjanji terlebih dahulu. “Harus diikat dengan sumpah,” ujar sang
hakim.
Melihat
intensitas penggunaan penerjemah di pengadilan itulah sekelompok penerjemah
sering berkumpul di gedung Jakarta Design Center (JDC). Di sini, para
penerjemah dilatih dan sekali dalam sepekan mendapat pelatihan. Tak ada nama
komunitas karena perkumpulan para penerjemah di JDC lebih sebagai paguyuban
yang cair. Gunawan Ilyas, pimpinan komunitas, berperan menjadi instruktur
pelatihan, dan kadang menunjuk penerjemah yang akan bertugas di suatu
pengadilan. Tetapi secara formal, ada organisasi Himpunan Penerjemah Indonesia
(HPI) yang berpusat di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin, Cikini, Jakarta
Pusat.
Permintaan
penerjemah umumnya datang dari pengadilan. Pasal 177 ayat (1) KUHAP
menyebutkan: ”Jika terdakwa atau saksi tidak paham bahasa Indonesia, hakim
ketua sidang menunjuk seorang juru bahasa yang bersumpah atau berjanji akan
menerjemahkan dengan benar semua yang harus diterjemahkan”. Begitupun halnya
dengan Pasal 51 ayat (2) KUHAP yang menyebutkan, “Terdakwa berhak untuk
diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa
yang didakwakan kepadanya’.
Nuzuludin
Siregar, penerjemah yang mendampingi Lawrence di PN Jakarta Selatan, adalah
anggota komunitas di JDC. Menurut Nuzul, begitu ia biasa disapa, untuk bisa
menjadi penerjemah di pengadilan, seseorang perlu mengikuti pelatihan untuk
peningkatan kapasitas. Lulus sarjana bahasa asing tak serta merta bisa menjadi
penerjemah di pengadilan. “Tidak serta merta kemampuan berbahasa dia lantas
bisa hadir di sini (pengadilan, red),” ujarnya kepada hukumonline.
Meskipun
menguasai bahasa Inggris dengan baik, Nuzul tak lantas berpuas diri. Ia tetap
mengikuti pelatihan di JDC sekali sepekan. Dosen Universitas Indraprasta
(Unindra) PGRI itu beberapa kali ‘bertugas’ di PN Jakarta Selatan lantaran
berdomosili di kawasan ini.
Nuzul dan
anggota komunitas penerjemah umumnya sudah mendapat sertifikat. Biasanya agar
bisa menjadi penerjemah, seseorang harus lulus Ujian
Kualifikasi Penerjemah yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Indonesia.
Profesi
penerjemah
Awalnya, Nuzul
mendapat undangan dari seorang temannya untuk membantu menterjemahkan dalam
persidangan. Nuzul pun menilai prospek profesi penerjemah cukup menggiurkan.
Selain materi, Nuzul merupakan lulusan ilmu bahasa asing. Karena itulah Nuzul
tertarik untuk menekeuni profesi penerjemah selain menjadi pengajar mahasiswa
di Unindra.
Nuzul
menuturkan profesi penerjemah ibarat ‘jembatan’. Penerjemah, kata Nuzul,
merupakan profesi penghubung untuk menyampaikan sesuatu yang dibelum
dipahami oleh hakim, jaksa maupun pengacara sebagaimana yang diucapkan terdakwa
warga negara asing di persidangan. “Tidak lebih dari jembatan. Karena
penghubung itu harus ada yang menghubungi dari jembatan,” katanya.
Sebagai
pengajar ilmu bahasa asing, khususnya bahasa Inggris di Unindra, Nuzul lebih
memperdalam keahlian di komunitas penerjemah JDC. Awalnya, dia mengenyam
pendidikan bahasa melalui lembaga kursus bahasa. Selepas menamatkan Sekolah
Menegah Atas, Nuzul melanjutkan pendidikanbahasaInggris di Universitas Sumatera
Utara (USU) Medan. Sertifikat penerjemah juga sudah dikantongi.
Penunjukan
Sebagaimana
tertuang dalam KUHAP, pihak pengadilan yang memerintahkan kehadiran juru
bahasa. Menurut Samiaji, kepentingan jasa penerjemah demi kepentingan
persidangan. Biasanya, pihak penuntut umum sudah menyiapkan juru bahasa asing
sesuai kebutuhan sidang.
Sebaliknya,
jika penuntut umum belum menyiapkan, maka majelis hakim di pengadilan
memerintakan penuntut umum agar dihadirkan di muka persidangan. “Kalau belum
(disiapkan jaksa), mau tidak mau majelis hakim yang memerintahkan, dan itu
harus supaya dihadirkan penerjemah,” ujarnya.
Arya Wicaksana
membenarkan pandangan Samiaji. Jaksa penuntut umum ini menuturkan memang
kewajiban pengadilan menunjuk dan memerintahkan penuntut umum untuk
menghadirkan juru penerjemah. Kendatipun pengadilan memerintahkan, toh jaksa
pula yang mencari juru penerjemah. “Iya kita yang mencari mereka juru
penerjemah,” imbuhnya.
Tak ada
anggaran
Lantan
bagaimana dengan honor jasa penerjemah?. Menurut Samiaji pengadilan memang
tidak menganggarkan pembayaran jasa penerjemah di pengadilan. Namun honor jasa
penerjemah dapat diambil dari biaya persidangan sebuah perkara. Namun dia
mengakui biaya persidangan perkara pidana terbilang kecil dan terbatas.
“Kalau di pengadilan memang tidak ada anggarannya untnuk itu. “Kalau di
pengadilan memang tidak ada anggarannya untuk itu. Untuk anggaran penerjemah
itu tidak ada. Jadi kalau misalnya honornya tinggi juga tidak bisa ditanggulangi
oleh pengadilan,” ujarnya.
Nuzul
mengatakan juru penerjemah tidak memberikan tarif. Tetapi pihak komunitas yang
menentukan tarif kepada pihak yang membutuhkan jasa mereka. Menurut dia pihak
komunitas sudah menentukan berapa nilai nominal terhadap mereka menggunakan
yang menggunakan jasa penerjemah. Namun Nuzul enggan membeberkan berapa nilai
rupiah yang diterimanya. “Iya ada nilai-nilainya, ada ketentuannya. Jadi tidak
langsung ke saya. Kalau itu (fee, red) pribadi sekali sifatnya,” pungkasnya.
Lain Nuzul,
lain pula Pegawai Negeri Sipil yang menduduki jabatan fungsional sebagai
penerjemah. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 70 Tahun 2008, mereka diberikan
tunjangan setiap bulan. Besarannya bervariasi sesuai jenjang jabatan. Terendah,
kelas penerjemah pertama, mendapat tunjangan jabatan Rp375.000. Tertinggi
adalah penerjemah utama dengan tunjangan jabatan Rp1.300.000 setiap bulan.
Sumber: HukumOnline
0 Response to "Urgensi Penerjemah di Pengadilan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!