Quo Vadis Renegosiasi Kontrak Pertambangan
Quo Vadis Renegosiasi Kontrak Pertambangan - Quo Vadis
Renegosiasi Kontrak Pertambangan - Sudah lebih dari empat tahun Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU No 4/2009)
memerintahkan agar renegosiasi Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya
Pengusahaan Pertambangan Pertambangan Batubara (PKP2B) dilaksanakan, tetapi
hingga saat ini belum tercapai. Renegosiasi KK dan PKP2B secara yuridis diatur
dalam Pasal 169 huruf b UU No 4/2009 yang menyatakan bahwa ketentuan yang
tercantum dalam pasal KK dan PKP2B disesuaikan selambat-lambatnya satu tahun
sejak UU ini diundangkan (12 Januari 2009).
Berdasarkan hal tersebut, seharusnya pada 12 Januari 2010, semua KK dan PKP2B
telah selesai direnegosiasi antara Pemerintah dan kontraktor. Keseriusan
Pemerintah Indonesia merenegoisasi KK dan PKP2B secara konkret baru terlihat
pada 2012 dengan dibentuknya tim Evaluasi Penyesuaian KK dan PKP2B melalui
Keputusan Presiden Nomor 3 Tahun 2012. Tim ini dipimpin oleh Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian.
Dilihat dari substansi UU No 4 Tahun 2009 paling sedikit enam
hal yang harus direnegosiasi: luas wilayah kerja pertambangan, perpanjangan
kontrak, penerimaan negara, kewajiban pengelolaan dan pemurnian, kewajiban
divestasi, serta kewajiban penggunaan barang dan jasa pertambangan dari dalam
negeri.
Dari keenam hal tersebut, berdasarkan Keppres No 3/2012 hanya tiga hal yang
akan direnegosiasi, yaitu luas wilayah kerja, penerimaan negara, pengolahan
dan/atau pemurnian mineral.
Substansi strategis mengenai kewajiban divestasi saham perusahaan pertambangan
asing kepada pihak Indonesia (Pasal 112 UU No 4/2009) dan substansi pengutamaan
pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri (Pasal 106 UU No 4/2009), tidak
menjadi isu prioritas. Padahal, kedua hal tersebut fundamental untuk
menyejahterakan rakyat.
Melalui divestasi saham perusahaan tambang asing kepada pihak Indonesia, akan
terjadi peralihan kepemilikan ke pihak Indonesia sehingga kontrol dan manfaat
ekonomi bisa untuk kepentingan masyarakat, berdasarkan prinsip-prinsip best
mining practice.
Hukum kontrak
Pemerintah boleh saja berdalih bahwa Pasal 169 huruf b memerintahkan agar KK
dan PKP2B harus disesuaikan. Namun, ada rezim hukum lain yang terlibat dalam
renegosiasi tersebut, yaitu hukum kontrak.
Kontrak
mempunyai kekhususan dan keberlakuan mengikat sebagaimana diatur dalam Pasal
1338 KUHPerdata. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua pihak atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh
undang-undang.
Secara teoretis dan yuridis terdapat tiga prinsip yang satu sama lain saling
berkaitan, yakni the principle of consensualism; the principle of the binding
force of contract; dan principle of freedom of contract. Dari prinsip tersebut,
kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai keadilan jika para pihak memiliki
posisi tawar kekuasaan (bargaining power) seimbang. Jika posisi tawar kekuasaan
tidak seimbang, suatu kontrak dapat menjadi unconscionable.
Ia rentan pada pemaksaan kehendak oleh pihak yang kuat terhadap pihak yang
lemah, sehingga keseimbangan kekuasaan sangat penting dalam mencapai kontrak
yang berkeadilan. Terutama apabila yang menjadi pihak dalam kontrak merupakan
negara dalam kedudukan hukum privat yang diwakili oleh pemerintah.
Walaupun faktanya tidak serta-merta negara selalu dalam posisi kuat ketika
berkontrak, negara pun dapat dalam posisi lemah dan dirugikan, misalnya ketika
kontrak dibuat oleh pejabat pemerintah yang korup sehingga manfaat kontrak
tidak diterima oleh negara.
Terhadap posisi tidak seimbang ini UNIDROIT Principles of International
Commercial Contracts (UPICCs) memberikan pedoman kemungkinan renegosiasi atas
kontrak tertentu yang mengalami situasi tertentu. Situasi tersebut, misalnya
mengenai hardship (Article 6.2.2 UPICCs), yaitu apabila terdapat peristiwa yang
secara fundamental telah mengubah keseimbangan kontrak.
Pemerintah tampaknya sangat berhati-hati melakukan renegosiasi. Pasal 169 huruf
b UU No 4/2009 tidak serta-merta dapat dilaksanakan tanpa melihat aspek
sanctity of contract dan asas pacta sunt servanda dalam kontrak. Artinya,
apabila terjadi pemaksaan secara sepihak oleh pemerintah, kerentanan sengketa
sangat besar.
Keadilan
Aspek keadilan harus diwujudkan dalam renegosiasi kontrak, Pemerintah Indonesia
menginginkan agar manfaat dari tambang tersebut harus sesuai dengan porsi
masing-masing, artinya manfaat yang diperoleh negara sesuai kontrak saat ini
belum adil. Namun, renegosiasi KK atau PKP2B juga harus mempertimbangkan
kepentingan kontraktor yang secara bisnis ingin mendapatkan keuntungan besar
dalam investasi yang high cost, high risk, high technology. Keinginan kedua
pihak harus diakomodasi sehingga terhadap isi KK dan PKP2B harus mencerminkan
keadilan kepada kedua belah pihak.
Sejalan dengan konsepsi keadilan tersebut, John Rawls dalam buku Justice As
Fainerss menjelaskan teori keadilan sosial sebagai the difference principle dan
the principle of fair equality of opportunity.
John Rawls menegaskan bahwa penegakan keadilan haruslah memperhatikan dua
prinsip keadilan, yaitu (1) memberikan hak dan kesempatan yang sama atas
kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang;
(2) mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga
dapat memberikan keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits)
bagi setiap orang.
Berdasarkan hal tersebut di atas, renegosiasi KK dan PKP2B sebagai amanat dari
UU No 4/2009, yang merupakan amanat rakyat, yang termanifestasi dari
pembentukan UU oleh DPR harus dilaksanakan.
Ahmad
Redi, Doktor Hukum Universitas Indonesia, Pengamat Hukum Sumber Daya
Alam
i like this....
ReplyDelete