Orang Sakit Yang Mati Otaknya Dianggap Mati Menurut Syara
Orang Sakit Yang Mati Otaknya
Dianggap Mati Menurut Syara'
Sekarang sampailah pembahasan kita
pada kondisi tertentu bagi sebagian orang yang sakit, yang belum
meninggal dunia, tetapi otak dan sarafnya sudah mati, tidak berfungsi, dan
tidak dapat kembali normal menurut analisis para
dokter ahli. Dalam kondisi seperti ini keluarga dan familinya
harus merawatnya dengan mempergunakan
instrumen-instrumen tertentu misalnya untuk
memasukkan makanan, pernapasan,
dan kontinuitas peredaran darahnya. Kadang-kadang kondisi seperti
ini dijalani berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan biaya yang besar dan
harus menunggunya secara bergantian. Mereka
mengira bahwa dengan cara demikian mereka telah memelihara
si sakit dan tidak mengabaikannya. Padahal dalam
kondisi seperti itu, si sakit tidak dianggap berada di
alam orang sakit, tetapi menurut kenyataannya
dia telah berada di alam orang mati, semenjak otak atau pusat
sarafnya mengalami kematian secara total.
Karena itu
meneruskan pengobatan dengan mempergunakan
instrumen-instrumen seperti tersebut di
atas merupakan perbuatan sia-sia, membuang-buang tenaga, uang, dan
waktu yang tidak keruan ujungnya, dan yang demikian ini
tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kalau keluarga si sakit
memahami agama dengan baik dan benar serta mengerti hakikat masalah yang
sebenarnya, niscaya akan timbul keyakinan dalam hati mereka bahwa
yang lebih utama bagi mereka dan lebih mulia bagi si mayit yang mereka
kira masih dalam keadaan sakit adalah menghentikan penggunaan peralatan
tersebut. Maka ketika itu akan berhentilah aliran darahnya,
dan dengan demikian semua orang tahu bahwa dia
benar-benar sudah meninggal dunia.
Dengan begitu, keluarga si sakit
dapat menghemat tenaga dan biaya. Disamping
itu, tempat tidur bekas si sakit dan
peralatan-peralatan tersebut yang biasanya sangat terbatas
jumlahnya dapat dimanfaatkan pasien lain yang memang masih hidup.
Apa yang saya katakan
ini bukanlah pendapat saya seorang, tetapi
merupakan keputusan Lembaga Fiqih Islami al-Alami
(Internasional), sebuah lembaga milik Organisasi Konferensi
Islam, yang telah mengkaji masalah ini
dengan cermat dan serius dalam dua kali
muktamar setelah terlebih dahulu diadakan
presentasi dari para pembicara dari kalangan ahli fiqih dan
dokter-dokter ahli. Melalui berbagai pembahasan dan diskusi
termasuk menyelidiki semua segi yang berkaitan
dengan peralatan medis tersebut dan menerima pendapat
dari para dokter ahli Lembaga Fiqih Islam akhirnya menghasilkan
keputusannya yang bersejarah
dalam muktamar yang diselenggarakan
di kota Amman, Yordania, pada tanggal 8-13 Shafar 1407
H/11-16 Oktober 1986 M. Diktum itu berbunyi
demikian:
"Menurut
syara', seseorang dianggap
telah mati dan diberlakukan atasnya semua hukum syara'
yang berkenaan dengan kematian, apabila telah
nyata padanya salah satu dari dua indikasi berikut ini:
1. Apabila denyut jantung
dan pernapasannya sudah berhenti secara
total, dan para dokter telah
menetapkan bahwa keberhentian ini tidak akan pulih kembali.
2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak berfungsi.
2. Apabila seluruh aktivitas otaknya sudah berhenti sama sekali, dan para dokter ahli sudah menetapkan tidak akan pulih kembali, otaknya sudah tidak berfungsi.
Dalam
kondisi seperti ini
diperbolehkan melepas instrumen-instrumen yang
dipasang pada seseorang (si sakit), meskipun sebagian organnya seperti
jantungnya masih berdenyut karena kerja instrumen tersebut. Wallahu
a'lam."
Dari diktum ini
dapat dihasilkan sejumlah hukum syar'iyah, antara lain:
Pertama: boleh melepas alat-alat
pengaktif (perangsang) organ dan pernapasan dari si sakit, karena tidak
berguna lagi.
Bahkan saya katakan wajib melepas
atau menghentikan penggunaan alat-alat ini, karena tetap mempergunakan
alat-alat tersebut bertentangan dengan ajaran syariah dalam
beberapa hal, antara lain:
Menunda pengurusan
mayit dan penguburannya tanpa alasan
darurat, menunda pembagian harta peninggalannya, mengundurkan masa iddah
istrinya, dan lain-lain hukum yang berkaitan dengan kematian.
Diantaranya
lagi adalah
menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya
untuk sesuatu yang tidak ada gunanya,
sedangkan tindakan seperti ini terlarang.
Selain itu,
diantara akibat yang ditimbulkannya lagi ialah memberi mudarat
kepada orang lain dengan menghalangi mereka
memanfaatkan alat-alat yang sedang dipergunakan orang
yang telah mati otak dan sarafnya itu. Hadits Nabawi
menetapkan sebuah kaidah qath'iyah yang berbunyi: "Tidak boleh memberi mudarat
kepada diri sendiri dan tidak boleh memberi mudarat kepada orang lain."
Kedua: boleh mendermakan
(mendonorkan) sebagian organ tubuhnya pada kondisi seperti
ini, yang akan menjadi sedekah baginya dan kelak ia akan memperoleh pahala,
meskipun ia (si sakit) tidak mewasiatkannya Disebutkan
dalam hadits sahih bahwa seseorang itu akan mendapatkan
pahala karena buah tanamannya yang dimakan oleh orang lain,
burung, atau binatang lain, dan yang demikian itu merupakan sedekah baginya,
meskipun ia tidak bermaksud bersedekah: "Tiada seorang muslimpun yang
menanam suatu tanaman atau menabur benih, lantas buahva dimakan burung,
manusia,atau binatang melainkan yang demikian itu menjadi sedekah
baginya."
Bahkan disebutkan juga dalam hadits
sahih bahwa orang mukmin mendapatkan pahala karena ditimpa
kepayahan, sakit, kesusahan, duka cita, gangguan, atau bala bencana,
hingga tertusuk duri sekalipun, semuanya dapat menghapuskan
dosa-dosanya.
Maka tidaklah
mengherankan bila seorang muslim mendapatkan pahala jika ia
mendermakan sebagian organ tubuh keluarganya ketika
telah mati otaknya kepada pasien lain yang memerlukan organ tubuh
tersebut untuk menyelamatkan kehidupannya, atau untuk
mengembalikan kesehatannya. Maka seorang muslim tidak
perlu meragukan betapa utamanya amal ini dan betapa besarnya nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta'ala.
perlu meragukan betapa utamanya amal ini dan betapa besarnya nilai dan pahalanya di sisi Allah Ta'ala.
Apabila pemberian
derma (donor) ini sudah dipastikan, maka bolehlah mengambil organ
yang dibutuhkan itu sebelum peralatan yang dipasang pada
tubuhnya dilepaskan, karena jika tidak dernikian berarti mengambil
organ dari orang yang sudah mati bila ditinjau
dari segi aktivitasnya menurut keputusan di atas. Sebab
pengambilan organ setelah dilepas peralatannya
tidaklah berguna untuk dicangkokkan
kepada orang lain, dikarenakan organ itu telah kehilangan daya
hidup, dan telah menjadi organ mati.
Oleh: Dr. Yusuf Al-Qardhawi
0 Response to "Orang Sakit Yang Mati Otaknya Dianggap Mati Menurut Syara"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!