Hibah menurut Hukum Islam

    Hibah menurut Hukum Islam
  1. Pengertian Hibah
Secara etimologi kata hibah adalah bentuk masdar dari kata wahaba, yang berarti pemberian.
Sedangkan hibah menurut istilah adalah akad yang pokok persoalannya, pemberian harta milik orang lain di waktu ia masih hidup tanpa imbalan.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 171:g mendefinisikan hibah sebagai berikut :
“Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki”.
Kedua definisi di atas sedikit berbeda, akan tetapi pada intinya sama, yaitu hibah merupakan pemberian sesuatu kepada orang lain atas dasar sukarela tanpa imbalan.
Pemberian hibah seseorang atas harta milik biasanya terhadap penyerahan, maksudnya adalah usaha penyerahan sesuatu kepada orang lain dan usaha-usaha dibatasi oleh sifat yang menjelaskan hakekat hibah itu sendiri. Kemudian kata harta hak milik berarti bahwa yang diserahkan adalah materi dari harta tersebut.
Kata “di waktu masih hidup”, mengandung arti bahwa perbuatan pemindahan hak milik itu berlaku semasa hidup. Dan bila beralih sudah matinya yang berhak, maka disebut wasiat, tanpa imbalan, berarti itu semata-mata kehendak sepihak tanpa mengharapkan apa-apa.
Dari uraian di atas, dapat diketahui bahwa hibah merupakan suatu perbuatan yang terpuji karena memberikan harta dengan sukarela tanpa mengharapkan balasan, tidak tergantung dan tidak disertai dengan persyratan apapun juga.

  1. Dasar Hibah
Adapun dasar hibah menurut Islam adalah firman Allah yang menganjurkan kepada umat Islam agar berbuat baik kepada sesamanya, saling mengasihi dan sebagainya. Islam menganjurkan agar umatnya suka member karena memberi lebih baik dari pada menerima. Namun pemberian itu harus ikhlas, tidak ada pamrih apa-apa kecuali mencari ridha Allah dan mempererat tali persaudaraan, sebagaimana dalam firman Allah :
“Tolong menolonglah kamu sekalian atas kebaikan dan takwa dan janganlah kamu sekalian tolong menolong atas sesuatu dosa dan permusuhan”. (Q.S Al – Maidah : 2).
Firman Allah, artinya :
“Dan meberikan harta yang dicintai kepada kerabatnya, anak-anak orang miskin, musyafir ( yang memerlukan pertolongan), dan orangorang yang meminta”. (Q.S. Al – Baqarah : 17).
Rasulallah bersabda, artinya :
“Dari Abi Hurrairah dari Nabi Muhammad SAW bersabda : saling memberi hadialah kamu sekalian niscaya kamu akan mencintai”. (HR. Al – Bukhari)
Di dalam Al–Qur’an maupun Hadist, dapat ditemui ayat sabda Nabi yang secara langsung memerintahkan untuk berhibah. Namun dari ayat-ayat dari Hadist di atas dapat dipahami, bahwa Allah dan Rasul-Nya menganjurkan umat Islam untuk suka menolong sesama, melakukan infaq, sedekah dan pemberianpemberian lain termasuk hibah.
Semua barang yang tidak diperjualkan, maka tidak boleh dihibahkan, seperti barang-barang yang haram dan najis juga barang yang belum diketahui asal-usulnya.
Hibah dalam Hukum Islam dapat dilakukan secara tertulis maupun lisan, bahkan telah ditetapkan dengan tegas bahwa dalam Hukum Islam, pemberian harta berupa harta tidak bergerak dapat dilakukan dengan lisan tanpa mempergunakan suatu dokumen tertulis.
Akan tetapi jika selanjutnya, bukti-bukti yang cukup tentang terjadinya peralihan hak milik, maka pemberian itu dapatlah dinyatakan dalam tulisan.
Jika pemberian tersebut dilakukan dalam bentuk tertulis tersebut terdapat 2 (dua) macam, yaitu :
·         Bentuk tertulis yang tidak perlu didaftarkan, jika isinya hanya menyatakan telah terjadinya pemberian.
·         Bentuk tertulis yang perlu didaftarkan, jika surat itu merupakan alat dari penyerahan pemberian itu sendiri, artinya apabila pernyataan penyerahan benda yang bersangkutan kemudian disusul oleh dokumen resmi tentang pemberian, maka yang harus didaftarkan.

  1. Rukun Hibah
Sebagaimana amalan-amalan yang lain, maka tidaklah sah suatu amal perbuatan tanpa terpenuhinya rukun hihah. Adapun rukun Hibah menurut Al-Jaziri adalah sebagai berikut :
·         Aqid (pemberian)
·         Penerima hibah
·         Sesuatu yang diberikan
·         Sighat.

  1. Syarat Hibah
Adapun syarat-syarat hibah sebagai berikut :
  1. Syarat bagi Penghibah (pemberi hibah) :
1.      Penghibah adalah orang yang memiliki dengan sempurna sesuatu atas harta yang dihibahkan. Dalam hibah terjadi pemindahan milik karena itu mustahil orang yang tidak memiliki akan menghibahkan sesuatu barang kepada orang lain.
2.      Penghibah itu adalah orang yang mursyid, yang telah dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya jika terjadi persoalan atau perkara yang berkaitan dengan pengadilan mengenai harta tersebut.
3.      Penghibah tidak berada di bawah perwalian orang lain, jadi penghibah itu harus orang dewasa, sebab anak-anak kurang kemampuannya.
4.      Penghibah harus bebas tidak ada tekanan dari pihak lain dipaksa karena hibah disyratkan kerelaan dalam kebebasan.
5.      Seseorang melakukan hibah itu dalam mempunyai iradah dan ikhtiyar dalam melakukan tindakan atas dasar pilihannya bukan karena dia tidak sadar atau keadaan lainnya. Seseorang dikatakan ikhtiar dalam keadaan tindakan apabila ia melakukan perbuatan atas dasar pilihannya bukan karena pilihan orang lain, tentu saja setelah memikirkan dengan matang.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam Pasal 210 (1) mensyaratkan pemberi hibah telah berumur sekurang-kurangnya 21 (dua puluh satu) Tahun.
b.      Syarat bagi Penerima Hibah :
1.      Bahwa ia telah ada dalam arti yang sebenarnya karena itu tidak sah anak yang lahir menerima hibah.
2.      Jika penerima hibah itu orang yang belum mukalaf, maka yang bertindak sebagai penerima hibah adalah wakil atau walinya atau orang yang bertanggung jawab memelihara dan mendidiknya.
  1. Syarat bagi barang atau harta yang dihibahkan :
1.      Barang hibah itu telah ada dalam arti yang sebenarnya waktu hibah dilaksanakan.
2.      Barang yang dihibahkan itu adalah barang yang boleh dimiliki secara sah oleh ajaran Islam.
3.      Barang itu telah menjadi milik sah dari harta penghibah mempunyai sebidang tanah yang akan dihibahkan adalah seperempat tanah itu, di waktu menghibahkan tanah yang seperempat harus dipecah atau ditentukan bagian dan tempatnya.
4.      Harta yang dihibahkan itu dalam kekuasaan yang tidak terikat pada suatu perjanjian dengan pihak lain seperti harta itu dalam keadaan digadaikan. Kompilasi Hukum Islam (KHI) membatasi harta yang dihibahkan sebanyak-banyaknya sepertiga ( 1/3 ) dari harta milik penghibah, sebagaimana tersebut dalam Pasal 210 Ayat ( 1 ).
  1. Syarat bagi Sigat atau Ijab Qabul :
Setiap hibah harus ada Ijab Qabul, tentu saja Sigat itu hendaklah ada persesuaian antara Ijab dan Qabul, bagi orang yang tidak atau dapat berbicara, maka sigat hibah cukup dengan isyarat, asal isyarat itu benarbenar mengandung arti hibah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berhibah.
Kompilasi Hukum Isalam (KHI) mensyaratkan hibah harus dilaksanakan di hadapan dua orang saksi (Pasal 210 Ayat 1).

Referensi:
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademiko Pressindo,m1992.
Abdul al-Rahman al-Jazari, Kitab Al-Fiqih Mazahib Al-Arba’ah, Juz II, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Ilmiyah, 1990.
Amir Syarifudin, Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dalam Lingkungan
Minangkabau, Jakarta
Ahmad Warson Munawir Al-Munawir, Kamus Arab–Indonesia, Yogyakarta, Pondok Pesantren Al-Munawir.
Departemen Agama Republik Indonesia, Proyek Pengadaan Kitab Suci Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, Mahkota, 1989.
Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Islam, Bandung, Mandar Maju. 1995.
Mu Al-Adab Al-Muhfrud, Beirut: Dar Al-Kutub Al–Ilmiyah, 1990.
Sayyid Sabiq, Fiqih Al-Sunnah, Dar’al-Pikr, tt. 1992. Gunung Agung, 1984.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

1 Response to "Hibah menurut Hukum Islam"

  1. terima kasih untuk artikelnya. Izin untuk menyimpannya. Jazaka Allahu khairan.

    ReplyDelete

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!