Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah

Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah
Seorang wali berdasarkan kewaliannya dibagi menjadi dua, yaitu wali mujbir dan wali gairu mujbir. Wali mujbir adalah seorang wali yang memiliki hak penuh untuk memaksa. Sedangkan wali ghairu mujbir adalah wali yang tidak memiliki hak penuh untuk memaksa. Kekuasaan wali mujbir menurut Ibn Taimiyyah tidak terbatas pada ayah dan kakek saja.
Ibn Taimiyyah membedakan status wanita dalam perkawinan baik gadis maupun janda antara yang masih kecil dan sudah dewasa dalam hal ijbar wali nikah.
Mengenai hak ijbar bapak terhadap anak gadisnya yang sudah dewasa untuk menikah menurut Ibn Taimiyyah ada dua pendapat. Pertama, bahwa wali boleh memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa untuk nikah dengan laki-laki pilihan walinya. Demikian pendapat mazhab Maliki dan mazhab asy-Syafi’i. Kedua, wali tidak boleh memaksa anak gadisnya yang sudah dewasa untuk menikah dengan laki-laki pilihan walinya. Demikian menurut pendapat mazhab Abu Hanifah dan lain-lainya. Pendapat yang kedua inilah menurut Ibn Taimiyyah yang dianggap benar.
Menurutnya, tidak seyogyanyalah seseorang memaksa perempuan untuk menikah kecuali dengan izinnya. Sebagaimana yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad SAW., bahwa apabila perempuan itu menolak, maka tidak boleh ada pemaksaan dalam suatu pernikahan. Baik ayah maupun kakek tidak ada hak apapun terhadap perempuan, baik perempuan dewasa yang masih gadis maupun janda yang sudah dewasa. Untuk itulah bagi ayah dan kakek dianjurkan untuk meminta izinnya terlebih dahulu apabila hendak menikahkan.
Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan manat al-Ijbar, apakah terletak pada kegadisan ataukah masih anak kecil, atau bahkan terletak pada kedua-duanya.
Menurut Ibn Taimiyyah, manat al-Ijbar itu terletak pada anak yang masih kecil atau belum dewasa, karena gadis yang sudah dewasa tidak seorangpun boleh memaksanya untuk menikah. Pendapatnya ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW. yang mana hadis tersebut mengandung larangan Nabi Muhammad SAW. bahwa anak gadis tidak boleh dinikahkan hingga diminta izinnya, dan hal ini berlaku untuk bapak dan selain bapak.
Mengenai izinnya si gadis, Ibn Taimiyyah berpendapat bahwa izinnya seorang gadis dapat dilihat dari bahasa tubuhnya. Seperti persetujuannya itu bisa dibuktikan dengan sikap diamnya. Sebab sebagian besar perempuan gadis memiliki sifat pemalu.
Adapun pemahaman bahwa Nabi Muhammad SAW. membedakan antara gadis dengan janda sebagaimana sabda beliau dalam hadisnya yang mempunyai arti “Anak gadis (perawan) tidak boleh dinikahkan hingga dimintai izin, dan wanita janda tidak boleh dinikahkan hingga diajak musyawarah”. Karena di sini disebutkan lafal “izin” dan disebutkan pula lafaz} “musyawarah serta menetapkan bahwa izin disini adalah diam, jadi seolah-olah izin itu adalah ucapan. Maka keduanya ini adalah dua hal yang oleh Nabi Muhammad SAW. dijadikan pembeda antara gadis dan janda. Dalam hal ini Ibn Taimiyyah tidak membedakan antara keduanya dalam hal adanya paksaan dan tidak adanya paksaan (ijbar). Yang demikian itu karena gadis banyak malunya jika berbicara tentang pernikahannya, maka pinangan itu tidak ditujukan langsung kepada dirinya, tetapi ditujukan kepada walinya. Kemudian walinya meminta izin kepada si gadis, dan gadis itu mengizinkannya. Bukan dimulai dengan musyawarah, tetapi gadis itu mengizinkan kepada walinya apabila walinya meminta izin kepadanya (si gadis).sedang bukti atas izinnya adalah sikap diamnya.
Adapun janda karena telah hilang rasa malunya, bisa diajak berbicara tentang pernikahan dan bisa diajak bermusyawarah, maka pinangan langsung ditujukan kepada dirinya.
Adapun menikahkan gadis tanpa persetujuannya adalah termasuk menyalahi pokok-pokok syari’at dan akal yang sehat. Mengenai hal ini Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa seorang ayah tidak memiliki hak tasarruf atas harta milik perempuan rasyidah kecil terhadap budlu’nya (kemaluan), maka bagaimana mungkin ayah mentasarufkan budlu’nya itu sementara anak perempuannya tidak menyukainya.
Ada dua sudut pandang mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali mengenai siapakah yang berhak dalam menentukan pasangan hidup (sebagai calon suami). Apakah merupakan hak wali ataukah hak perempuan dewasa. Kedua mazhab tersebut berpendapat bahwa yang berhak menentukan pasangan (sebagai calon suami) adalah perempuan dewasa. Hak ijbar dalam konsepsi ini berarti tidak dimiliki siapapun. Akan tetapi sebaliknya, jika dalam menentukan pasangan itu berdasarkan atas kemauan orang tua atau walinya, maka anggapan semacam itu merupakan tindakan yang salah dan dikategorikan bentuk kejahatan yang tidak dapat disembunyikan. Karena Nabi Muhammad SAW. telah bersabda dalam hadisnya yang artinya:
“bahwa seorang janda lebih berhak atas dirinya sendiri dari pada walinya”
Hal ini menunjukkan bahwa seorang perempuan yang masih perawan atau gadis dewasa tidak lebih berhak atas dirinya daripada walinya, akan tetapi walinyalah yang berhak atasnya. Alasan inilah bagi orang-orang yang menghendaki adanya hak ijbar terhadap perempuan dewasa. Mereka meninggalkan penetapan nas dan dhahir dari hadis di atas. Mereka hanya berpegang pada dalil khithabnya saja dengan tidak mengetahui maksud esensial hadis Nabi Muhammad SAW. tersebut.
Berasarkan hadis di atas, Ibn Taimiyyah mengatakan bahwa manat al-ijbar tidak terletak pada kegadisan atau kejandaan, meskipun teks hadis menyebutkan al-ayyim atau janda. Akan tetapi faktor kedewasaan seorang wanitalah baik gadis maupun janda yang melepaskan dirinya dari hak ijbar wali. Sebaliknya, sekalipun ia janda, jikalau belum dewasa maka wali tetap mempunyai hak ijbar terhadapnya. Status janda (al-ayyim) dalam hadis ini tidak dipahami apa adanya, tetapi dipahaminya sebagai kedewasaan berpikir yang menurut istilah Arabnya adalah rasyidah. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa perempuan yang belum dewasa pikirannya tetap berlaku atasnya hak ijbar wali dalam pernikahan. Pendapat Ibn Taimiyyah ini nampak sekali pertimbangannya pada kemaslahatan dalam arti universal, terutama dirasakan oleh perempuan yang bersangkutan. Sesungguhnya Allah SWT. Telah menghendaki kedua pasangan suami istri untuk saling cinta dan rasa kasih sayang dalam suatu rumah tangga. Maka apa yang akan terjadi apabila wali memaksa anak gadisnya untuk menikah dengan orang yang tidak disukainya.
Dari deskripsi di atas, dapat diketahui bahwa dalam persoalan fiqh pada umumnya ijbar khususnya, Ibn Taimiyyah menggunakan metode Qiyas dalam mengistinbat hukum. Dalam pencarian ‘illat hukum beliau menggunakan prinsip-prinsip bahwa sifat-sifat sebagai hikmah yang terkandung di dalam nas harus relevan dan dapat dijadikan ‘illat suatu hukum. Dalam masalah hukum ini, Ibn Taimiyyah sangat liberal dalam ta’lil al-ahkam, meskipun literal dalam konteks akidah (kalam).

Referensi:
-Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), II: 232. Dari Ahmad ibn Yunus dan Abdullah ibn Muslamah, dari Malik ibn ‘Abd Allah ibn al-Fadl, dari Nafi’ ibn Zubair, dari ibn Abbas
-Imam Muslim, Sahih Muslim, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1902),  II: 1036. Hadis diriwayatkan dari Abu Salamah dari Abu Hurairah
-Muhammad ‘Abd al-Qadir ‘Ata’ dan Musthafa ‘Abd al-Qadir ‘Ata’, Al-Fatawa al-Qubra, (Beirut: Dar al-‘Ilmiyah, 1902)

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Pandangan Ibn Taimiyyah Tentang Hak Ijbar Wali Nikah"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!