Hak Ijbar Menurut Ulama Fiqh

Hak Ijbar Menurut Ulama Fiqh
Setelah menjelaskan definisi ijbar dan wali mujbir serta dasar hukum ijbar wali dalam pernikahan, selanjutnya penyusun memaparkan pendapat ulama fiqh mengenai ijbar. Tentang persoalan ini tidak bisa dilepaskan dengan wali mujbir sebagai obyeknya.
Dalam ajaran fiqh, seorang perempuan yang masih perawan yang akan dinikahkan cukup dimintai izinnya. Sebagai salah satu bentuk persetujuan izin tersebut adalah "diam". Tetapi, di samping itu orang tua, terutama bapak dan kakek memiliki hak istimewa untuk memaksa menentukan pilihan pasangan hidupnya. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh suatu pemahaman terhadap apa yang dikenal dengan hak ijbar. Hak ijbar oleh banyak orang dipahami sebagai hak bagi wali (bapak atau kakek) untuk menjodohkan anak atau cucu perempuan. Hal ini menimbulkan asumsi umum bahwa Islam membenarkan kawin paksa.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, para ulama berbeda pendapat mengenai 'illat hukum berupa sikap diamnya si gadis.
  1. Golongan pertama memandang bahwa yang menjadi sebab ('illat) hukum agama yang berupa pernyataan izin dari gadis cukuplah dengan sikap diamnya adalah sifat pemalunya. Tegasnya, sifat pemalu adalah kriteria yang menentukan seorang wanita dipandang sebagai (berstatus) gadis. Termasuk ke dalam golongan pertama ini antara lain adalah Imam abu Hanifah dan Imam Malik.
  2. Golongan kedua memandang bahwa yang menjadi 'illat hukum agama yang berupa pernyataan izin dari gadis cukuplah dengan sikap diamnya adalah karena keperawanannya yang masih utuh. Tegasnya, keperawanan yang masih utuh adalah kriteria yang menentukan seorang wanita dipandang sebagai gadis. Termasuk ke dalam golongan ini antara lain adalah Imam asy-Syafi'i dan Imam Ahmad.

Atas dasar pandangan tersebut, menurut golongan yang pertama, gadis yang hilang keperawanannya dengan persetubuhan haram (zina) tetap dihukumi gadis selama tidak diketahui umum, karena sifat pemalunya masih terpelihara. Sedang yang masih utuh keperawanannya karena dicerai oleh suaminya yang impoten disamakan dengan hukum janda. Dari sini dapat juga dikatakan bahwa golongan ini menggunakan istilah janda menurut pengertian urfi, yaitu yang pernah bersuami walaupun keperawanannya masih utuh.
Sedangkan menurut golongan kedua adalah sebaliknya. Wanita yang hilang keperawanannya dengan jalan zina (walaupun dengan benda lain), menurut sebagian kalangan Syafi'iyah hukumnya adalah janda. Sedangkan yang masih utuh keperawanannya karena dicerai oleh suaminya tetap dihukumi gadis. Jadi, golongan kedua ini memandang janda menurut pengertian bahasa, yaitu yang belum hilang keperawanannya.
Kaitannya dengan kebebasan dan persetujuan wanita (calon istri) dan perkawinan, Imam asy-Syafi'i mengklasifikasikan wanita kepada tiga kelompok, yakni: 1). gadis yang belum dewasa, 2). gadis dewasa, dan 3). janda. Untuk gadis yang belum dewasa, yang batasan umurnya adalah belum berusia lima belas tahun atau belum keluar darah haid, seorang bapak boleh menikahkan tanpa seizinnya lebih dahulu, dengan syarat menguntungkan dan tidak merugikan si anak. Sebetulnya, wali tidak boleh memaksa menikahkan kalau merugikan atau menyusahkan seorang anak. Dasar penetapan hak ijbar menurut Asy-Syafi'i adalah tindakan Nabi yang menikahi ‘Aisyah ketika masih berusia enam atau tujuh tahun dan mengadakan hubungan setelah berumur sembilan tahun. Tindakan Abu Bakar yang menikahkan anaknya yang masih belum dewasa ini, ditambah dengan alasan bahwa semua urusan anak kecil merupakan tanggungjawab orang tuanya, oleh Asy-Syafi'i dijadikan dasar untuk menetapkan adanya hak ijbar bapak pada anak yang belum dewasa. Dengan catatan, gadis berhak memilih (khiyar) kalau kelak sudah dewasa.    
Adapun perkawinan anak gadis dewasa, ada hak berimbang antara bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada paham sebaliknya (mafhum mukhalafah) hadis yang mengatakan, "janda lebih berhak pada dirinya". Menurut Asy-Syafi'i, mafhum mukhalafah hadits ini adalah bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak gadisnya. Meskipun dianjurkan musyawarah antara kedua belah pihak (anak gadis dewasa tersebut dengan wali atau bapak).
Dari penjelasan Asy-Syafi'i di atas terlihat bahwa dalam mengenai gadis dewasa pun hak wali (bapak) melebihi hak gadis. Menurut As-syafi'i izin gadis bukan lagi suatu keharusan (fard) tetapi hanya sekedar pilihan (ikhtiyar). Pandangan beliau bahwa bapak (wali) boleh mengurusi wanita dalam pernikahannya apabila pernikahan tersebut menguntungkan bagi wanita dan tidak mendatangkan madarat. Sebagaimana dibolehkan penjualan dan pembelian yang dilakukan oleh bapak atas nama wanita bikr situ dengan tidak mendatangkan madarat atasnya pada penjualan dan pembelian tersebut. Alasan rasio bahwa gadis belum mengetahui tentang hal-hal yang berhubungan dengan pernikahan karena belum punya pengalaman. Jadi walaupun gadis itu dewasa dalam hal ini disamakan dengan gadis yang belum dewasa di mana bapak mempunyai hak ijbar terhadapnya. Oleh karena itu, yang menjadi ‘illat diperbolehkannya ijbar adalah kegadisan. Perwalian ini bersifat langgeng hingga wanita itu dewasa atau balig selama masih dalam keadaan gadis.
Imam Hanafi berpendapat bahwa diperbolehkannya ijbar karena adanya ‘illat (alasan atau dasar) tidak adanya keahlian bagi anak yang masih kecil, orang gila, kurang akal, tidak mumayyiz. Lebih lanjut Imam Hanafi memaparkan bahwa wali nikah tidak berhak menikahkan anak perempuannya baik janda maupun gadis dewasa. Menurut beliau adalah mereka yang ssudah balig dan berakal sehat atau dalam bahasa Arab disebut al-baligah al-‘aqillah. Landasan analogi (qiyas) gadis dewasa yang disamakan dengan janda, kesamaannya terletak pada sisi kedewasaan, bukan pada status gadis tersebut. Kedewasaan seseorang memungkinkan dirinya untuk menyampaikan secara eksplisit tentang sesuatu yang ada di dalam hati atau pikirannya. Ia juga dapat mengerjakan sesuatu secara terbuka dan tidak malu-malu. Oleh karena hal ini, maka gadis dewasa dapat disamakan dengan perempuan janda.
Sedangkan janda, baik yang masih kecil maupun yang sudah dewasa, menurut asy-Syafi'i, wali mujbir tidak boleh menikahkan janda yang masih kecil atau sudah dewasa tanpa izin atau persetujuan darinya karena ia lebih berhak terhadap dirinya dalam masalah perkawinan.
Ada pemetaan yang menarik yang dibuat oleh Ibn Rusyd tentang ikhtilaf ulama berkaitan dengan hak bagi wanita yang dapat dirinci secara garis besar sebagai berikut:
1.      Ulama sepakat bahwa untuk para janda, maka harus ada kerelaan.
2.      Ulama berbeda pendapat tentang seorang gadis perawan yang sudah balig. Menurut Imam Malik, Imam asy-Syafi’i daan Ibnu Abi Laila, yang berhak memaksa perempuan yang masih perawan hanyalah bapak. Sedangkan menurut Imam Hanafi, Imam as-Sauri, Imam al-Auza’i, Abu Sur, dan sebagian lainnya wajib ada rida (persetujuannya).
3.      Janda yang belum balig, menurut Imam Malik dan Imam Hanafi dapat memaksanya untuk menikah. Sedangkan menurut Imam asy-Syafi’i tidak boleh dipaksa. Sedangkan ulama mutaakhirin mengklasifikasikannya menjadi tiga pendapat, yaitu: pertama, menurut Imam Asyhab bahwa seorang bapak dapat memaksa untuk menikahkan janda selama ia belum balig setelah dicerai. Kedua, pendapat Imam Sahnun bahwa bapak dapat memaksanya walaupun sudah balig. Ketiga, pendapat Imam Abi Tamam bahwa bapak tidak dapat memaksanya walaupun ia belum balig. 

Berkaitan dengan apakah wali menjadi syarat sahnya nikah atau bukan, para ulama mazhab fiqh berbeda pendapat. Imam Malik dan Imam asy-Syafi'i mengatakan bahwa wali merupakan syarat sahnya pernikahan. Sedangkan imam Abu Hanifah menyatakan bahwa jika seorang perempuan melakukan akad nikah dengan tanpa wali, sedang antara ia dan suaminya itu sekufu maka hukumnya boleh (sah nikahnya). Sementara Imam Dawud membedakan antara janda dan perawan. Menurutnya, wali menjadi syarat bagi perawan tetapi tidak menjadi syarat bagi janda.
Referensi:
Abu Zahrah, Muhammad, 1957.Al-Ahwa>l asy-Syakhsiyyah, Kairo: Da>r al- Fikr.
Hosen, Ibrahim, 2003. Fiqh Perbandingan Masalah Pernikahan, Jakarta: Pustaka Firdaus.
Mudhofar Badri, dkk, 2002. Panduan Pengajaran Fiqh di Pesantren, Yogyakarta:Yayasan Kesejahteraan Fatayat.
Muhammad, Husain, 2002. Fiqih Perempuan Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender Yogyakarta: LKiS. 

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Hak Ijbar Menurut Ulama Fiqh"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!