Pengertian dan Syarat-syarat Menjadi Wali Dalam Nikah

Pengertian dan Syarat-syarat Menjadi Wali Dalam Nikah
Pengertian Wali
Secara Etimologi kata wali berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata ولي dimana dalam kamus besar al-Ashri, kata tersebut diartikan sama dengan قرب yang berarti dekat.  Sejalan dengan pemaknaan di atas, apa yang diungkapkan oleh Mahmud Yunus dalam kamus Arab-Indonesia bahwa kata wali berasal dari ولي يلي وليا) فلانا) yang diartikan melindungi, amat dekat kepada si pulan, mengikutinya, mengiringinya tanpa batas. Seperti yang telah dikatakan oleh Syaikh Ibrahim al-Baijury ketika mensyarahi kitab Fathul Qarib karangan Ibnu Qasyim Al-Izzy, ia mengatakan bahwa wali yang paling berhak menikahkan adalah wali yang paling dekat hubungannya dengan mempelai perempaun, sehingga muncul (tartibul wali) dimana runtutan para wali juga dimulai dari ayah, kakek dan seterusnya. Dengan demikian, ayah lebih berhak menikahkan dibanding dengan kakek.  
Dalam Operasionalnya, kata wali digunakan dalam dua tempat, ada yang umum, dan ada pula yang khusus. Perwalian yang khusus adalah perwalian yang berkenaan dengan manusia dan harta benda. Namun dalam tulisan ini, pembahasan akan difokuskan pada yang khusus saja, yaitu yang berkenaan dengan manusia, dan harta benda terutama yang membicarakan tentang wali terhadap manusia, lebih-lebih masalah perwalian dalam perkwinan.
Secara Terminologi, Wali nikah adalah orang yang mengakadkan nikah itu menjadi sah, dan tanpa dia nikah tidak sah. Ada juga yang mendefinisikan, bahwa wali nikah adalah suatu kekuasan atau wewenang syar’i atas segolongan manusia yang dilimpahkan kepada orang yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang dikuasai itu, demi kemaslahatannya sendiri. Sedangkan wali nikah menurut Sayyid Sabiq adalah suatu ketentuan hukum yang dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.
Wali nikah dalam perkawinan merupakan syarat yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak untuk menikahkannya. Demikianlah pendapat orang yang mensyaratkan adanya wali, seperti Syafi’i, Hambali, dan Maliki. Bahkan as-Syafi’i dalam kitabnya Al-Um, untuk memperkuat pendapatnya, dia mengemukakan sebuah riwayat, yang dikhabarkan oleh Muslim dan Said dari ibnu Juraij berkata: Ikrimah bin Khalid mengabarkan kepada saya, bahwa Umar bin Khathab pernah menjilid orang yang menikahkan seorang perempuan tanpa wali, dan nikahnya juga dibatalkan oleh Umar bin Khathab. Dengan demikian, wali dapat didefinisikan, bahwa wali adalah orang yang bertindak mengizinkan atau mengakadkan nikah itu sendiri sehingga akadnya menjadi sah.

Syarat-syarat Wali
Wali dan saksi bertanggung jawab atas sahnya suatu akad pernikahan, karena perwalian itu ditetapkan untuk membantu ketidakmampuan orang yang menjadi objek perwalian dalam mengekspresikan dirinya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat diterima menjadi wali atau saksi, tetapi hendaklah orang-orang yang memenuhi persyaratan. Adapun syarat-syarat menjadi wali sebagai berikut:
a.       Islam. Orang yang tidak beragama Islam tidak sah menjadi wali atau saksi berdasarkan firman Allah Swt.
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِين َ(المائدة 51)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dhzalim.

b.      Baligh. Orang tersebut sudah pernah bermimpi junub/ihtilam (keluar air mani), atau ia sudah berumur sekurang-kurangnya 15 tahun. 21 (KHI)
c.       Berakal. Orang gila dan anak-anak tidak sah menjadi wali, karena orang yang tidak berakal pasti tidak akan mampu melakukannya dan tidak dapat mewakili orang lain, sehingga orang lain lebih berhak menerima perwalian tersebut. Baik orang yang tidak berakal itu karena keberadaannya yang masih kanak-kanak atau karena hilang ingatan atau karena faktor lanjut usia.
d.      Merdeka. Ulama berbeda pendapat dalam menetapkan perwalian budak. Sebagian ulama mengatakan bahwa seorang budak tidak mempunyai hak perwalian, baik atas dirinya sendiri atau orang lain. Sedangkan ulama Hanafiah mengemukakan bahwa seorang wanita boleh dinikahkan oleh seorang budak atas izinnya, dengan alasan bahwa wanita itu dapat menikahkan dirinya sendiri.
e.       Laki-laki. Seorang perempuan tidak boleh menjadi wali dalam pernikahan berdasarkan hadist Nabi yang berbunyi:
 لاتزوج المرأة المرأة ولا تزوج المرأة نفسها (رواه ابن ماجة والدارقطني ورجاله ثقات)
Artinya: Janganlah perempuan menikahkan perempuan yang lain, dan jangan pula seorang perempuan menikahkan dirinya sendiri (H.R. Ibnu Majah dan Daruquthni dan para perawinya adalah orang-orang yang terpercaya)

Dalam hadis tersebut terkandung dalil bahwa wanita tidak mempunyai kekuasaan untuk menikahkan dirinya dan menikahkan orang lain. Namun menurut Imam Abu Hanifah, ia berpendapat bahwa wanita yang berakal dan baligh boleh mengawinkan dirinya sendiri dan mengawinkan anak perempuannya yang di bawah umur serta mewakili orang lain. Namun demikian, jika dia menyerahkan dirinya kepada laki-laki yang tidak sekufu dengannya, maka para wali berhak menentangnya. Berbeda halnya dengan pendapat Imam Malik yang tidak mengeneralkan semua perempuan, akan tetapi hanya terbatas pada golongan rendah saja (bukan bangsawan) karena menurutnya perempuan bangsawan tidak diperbolehkan. 
f.       Adil. Ulama berbeda pendapat tentang kedudukan adil sebagai persyaratan bagi wali antara lain:
1)      Bagi ulama mensyaratkan wali harus adil, mereka berdasarkan pada Hadist Nabi yang artinya “tidak ada pernikahan kecuali dengan wali yang memberikan bimbingan dan dua orang saksi yang adil” pendapat yang pertama ini disepakati oleh beberapa ulama fiqih terkemuka seperti Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Imam Malik dan orang-orang yang sependapat dengannya.
2)      Bagi ulama yang tidak mensyaratkan wali harus adil, mereka berdasarkan pada satu riwayat Mutsanna bin Jami’, dia menukil bahwa dia pernah bertanya kepada Ahmad, jika orang menikah dengan wali yang fasik dan beberapa saksi yang adil, maka Ahmad berpendapat bahwa hal tersebut tidak membatalkan pernikahan, itu pula yang menjadi pendapat Imam Malik dan Abu Hanifah serta salah satu pendapat Syafi’i.
Sejalan dengan pendapat kedua di atas, apa yang dikemukakan oleh Ibrahim Al-Baijury, bahwa yang disyaratkan adil adalah kedua saksi, bukan persyaratan bagi wali, karena menurutnya marji’u dhamirnya kembali pada lafat syahidain. Hal ini diperkuat oleh pendapat Sayyid Sabiq yang mengemukakan bahwa seorang wali tidak disyaratkan adil. Oleh karena itu seorang yang durhaka tetap tidak kehilangan haknya untuk menjadi wali dalam perkawinan kecuali kedurhakaannya melampaui batas-batas kesopanan yang berat. Bahkan dalam KHI diringkas hanya menjadi empat persyaratan bagi wali, sebagaimana tercantum dalam pasal 20 ayat 1 yang berbunyi “yang bertindak sebagai wali nikah ialah seorang laki-laki yang memenuhi syarat hukum Islam yakni Muslim, aqil dan baligh”.

Referensi:
-Abi Abdillah bin Idris as-Syafi’i, Al-Um, Juz 5 (Cet. 3; Bairut: Darul Fikr, 1983).
-Djamaan Nur, Fiqih Munakahat (Semarang: Dina Utama, 1993.
-Ibrahim al-Baijury, Al-Bajury, Juz 2 (Semarang: al-Alawiyah, t.th), 105. Senjutnya disebut al-Baijury.
-Muhammad Jawad Maghniyah, “Al-Fiqhu Ala Madzahib al-Khamsah” diterjemahkan Masykur A.B., Afif Muhammad, Idrus Al-Kaf, Fiqih Lima Madzhab (Cet. 6; Jakarta: Lentera Basritama, 2001).
-Syaikh Hasan Ayyub, “Fiqh al-Usrah al-Muslimah”, diterjamahkan M. Abdul Ghofur, Fikih Keluarga (Cet. 3; Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003).
-Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Cet. 37; Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2004).
-Sayyid Sabiq, “Fiqhussunnah” diterjemahkan Muhammad Thalib, Fikih Sunnah (Cet. 1; Bandung: Al-Maarif, 1981).

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Pengertian dan Syarat-syarat Menjadi Wali Dalam Nikah"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!