Klasifikasi Menjadi Wali Dalam Pernikahan


Klasifikasi Menjadi Wali Dalam Pernikahan
Dalam beberapa refrensi hukum Islam, baik yang berbahasa Arab atau berbahasa Indonesia, ulama berbeda-beda dalam menyebutkan macam-macam wali dalam pernikahan, semisal Imam Taqiyuddin Abi Bakrin bin Muhammad Al-Husainy Al-Hishny al-Damasyqy as-Syafi’i, menyebutkan empat wali yang dapat menikahkan mempelai perempuan, yaitu wali nasab, wali maula, wali tahkim, dan wali hakim. Adapun rinciannya sebagai berikut:
  1. Wali nasab, Wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan darah nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan. Adapun urutan wali menurut pendapat tokoh akan dijelaskan selanjutnya.
  2. Wali Maula, Sedangkan yang dimaksud dengan wali Maula adalah perwalian yang digunakan dalam menikahkan budak yang telah dimerdekakan, dengan kata lain wali yang menikahkan budaknya, artinya majikannya sendiri. Laki-laki boleh menikahkan perempuan yang berada dalam perwalian, bilamana perempuan yang berada dalam perwaliannya rela menerimanya. Perempuan yang dimaksud di sini adalah hamba sahaya yang berada di bawah kekuasaannya. Sedangkan wanita yang wali nasabnya tidak diketahui siapa dan dimana (hamba sahaya yang telah dimerdekakan), maka walinya adalah orang yang memerdekakan, selanjutnya adalah famili-famili atau ashabah dari orang yang telah memerdekakannya.
  3. Wali Tahkim, yaitu wali yang diangkat oleh calon mempelai suami dan atau calon istri. Hal itu diperbolehkan, karena akad tersebut dianggap tahkim. Sedang muhakkamnya bertindak sebagaimana layaknya hakim. Seperti yang telah diriwayatkan oleh Yunus bin Abdil A‘la, bahwa Syafi’i pernah berkata “seandainya ada seorang perempuan dalam suatu perkumpulan, ia memasrahkan wali kepada seorang laki-laki, sedang perempuan tersebut tidak mempunyai wali, maka hal tersebut dianggap boleh dilakukan, ada pula yang mengemukakan, bahwa wali nikah dapat diangkat dari orang yang terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat, berpandangan luas, adil, Islam dan laki-laki; demikian pendapat Hanafi, yang dikutip oleh Moh. Idris Ramulyo.  Sejalan dengan pendapat tersebut di atas, apa yang dikemukakan oleh al-Bikri, pengarang kitab I’anatuh at-Thalibin “seorang perempuan yang tidak ada walinya, baik wali nasab, wali hakim atau Qadhi, maka perempuan tersebut diperbolehkan mengangkat seorang laki-laki untuk menikahkan dirinya dengan laki-laki yang dicintainya dan sekufu. Bahkan, sekalipun ada wali hakim atau Qadhi yang diangkat oleh penguasa, ketika mereka berbelit-belit dan memungut uang untuk menikahkannya. Bahkan ada pendapat yang mengatakan jika tidak ada orang yang siap menjadi muhakkam, sedang dirinya dikhawatirkan akan berbuat zina, maka perempuan tersebut diperbolehkan menikahkan dirinya sendiri. Sebagaimana juga dikemukakan oleh syaikh Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, bahwa perempuan yang ada di suatu tempat yang tidak ada hakim dan wali, maka ada dua macam hukumnya. Pertama, dia boleh menikahkan dirinya. Kedua, perempuan tersebut menyerahkan pernikahan kepada orang lain yang beragama Islam. Bahkan, beliau mengutip sebuah pendapat Abu Ishak Asy-Syirazi yang mengemukakan bahwa masalah seperti di atas boleh memilih hukum yang telah ditetapkan oleh seorang faqih di antara ahli ijtihad, berdasarkan suatu prinsip bahwa diperbolehkan mentahkim dalam nikah. 
Adapun cara pengangkatannya (cara melakukan tahkim) adalah calon suami mengucapkan tahkim, kepada calon istri dengan kalimat “saya angkat saudara untuk menikahkan saya pada si….. (calon istri) dengan mahar dan putusan bapak/saudara, saya terima dengan senang ” setelah itu, calon istri juga mengucapkan hal sama. Kemudian calon hakim menjawab “saya terima tahkim ini”.
  1. Wali Hakim, adapun yang dimaksud dengan wali hakim adalah penguasa atau orang yang ditunjuk oleh penguasa (pemerintah) untuk menangani hal-hal yang berkaitan dengan pernikahan, baik dia itu orang yang curang atau orang yang adil. Ada juga yang berpendapat bahwa dia termasuk penguasa yang adil, bertanggung jawab mengurusi kemaslahatan umat Allah, bukan para sultan atau penguasa yang curang, karena mereka tidak termasuk orang yang berhak mengurusi hal itu.
Oleh karena itu, apabila tidak ditemukan orang-orang tersebut di atas, maka wali hakim dalam pernikahan bawah tangan (muhakkam) dapat diangkat (dilakukan) oleh orang-orang yang terkemuka di daerah tersebut atau diambil dari orang yang alim ilmu agamanya.
Selanjutnya, Slamet Abidin dan Aminuddin mengemukakan syarat yang harus dipenuhi dalam pernikahan wali tahkim sebagai berikut:
1.      Wali nasab tidak ada;
2.      Wali Nasab gaib, atau bepergian sejauh dua hari perjalanan, serta tidak ada wakilnya di situ.
3.      Tidak ada qadi atau pegawai pencatat nikah, talak, dan rujuk (NTR).
Adapun mengenai urutan wali nikah yang disepakati jumhur ulama termasuk Imam Syafi’i adalah sebagai berikut:
1.      Bapak
2.      Kakek (ayah dari ayahnya calon mempelai)
3.      Saudara laki-laki yang seayah dan seibu.
4.      Saudara laki-laki sebapak saja (dengan calon mempelai wanita)
5.      Anak saudara laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah seibu (dengan calon mempelai wanita)
6.      Anak saudara laki-laki dari saudara laki-laki yang seayah saja (dengan calon mempelai wanita)
7.      Saudara bapak yang laki-laki (paman dari pihak ayah)
8.      Anak laki-laki paman dari pihak bapak calon mempelai wanita.
Imam Hanafi mengatakan, bahwa urutan wali dalam pernikahan terbagi dalam dua sisi.  Pertama, nasab, urutannya dimulai dari anak lakil-laki wanita yang akan menikah, jika dia mempunyai anak, sekalipun anak tersebut hasil zina, Selanjutnya cucu laki-laki dari anak laki-laki dan seterusnya; ayah, kakek dari ayah dan seterusnya; Saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, anak laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki seayah, paman dari pihak ayah, anak paman dan seterusnya, sehingga tidak memberikan peluang bagi penerima wasiat perwalian dari ayahnya, sebagaimana pendapat yang dikemukakan Syafi’i, Maliki dan Hambali. Kedua, karena sebab; misalnya orang yang memerdekakan, sekalipun dia seorang perempuan, dan diikuti para ashabahnya.
Imam Malik mengatakan, bahwa urutan wali dalam pernikahan adalah ayah, penerima wasiat dari ayah (tentang perwalian), anak laki-laki sekalipun anak hasil zina, apabila wanita yang akan melangsungkan perkawinan itu mempunyai anak dan seterusnya, saudara laki-laki, anak laki-laki dari saudara laki-laki, kakek, paman dari pihak ayah, dan seterusnya, terakhir perwalian diserahkan kepada hakim.
Hambali berpendapat, bahwa urutan wali nikah dimulai dari ayah, penerima wasiat perwalian dari ayah, kemudian wali yang terdekat dan seterusnya, mengikuti urutan yang ada dalam urutan waris, dan kalau tidak bisa atau tidak ada, maka perwaliannya pindah pada hakim.
Sebagaimama telah dijelaskan sebelumnya, bahwa penggunaan wali hakim bisa terjadi apabila:
1.      Tidak adanya wali nasab, baik wali aqrab atau wali ab’ad.
2.      Wali aqrab atau wali ab’adnya tidak cukup syarat-syarat untuk menjadi wali nikah.
3.      Wali aqrabnya ghaib atau bepergian dalam perjalanan sejauh dua mil, sekitar kurang lebih 92,5 km atau dua hari perjalanan.
4.       Wali aqrabnya dipenjara dan tidak bisa ditemui
5.      Wali aqrabnya tidak mau menikahkan (adlal) dengan alasan yang tidak syar’i.
6.      Wali aqrabnya berbelit-belit (mempersulit).
7.      Wali aqrabnya sedang melaksakan ihram di Makkah al-Mukarramah.
8.      Wali aqrabnya sendiri yang akan menikah.
9.      Wanita yang akan dinikahkan gila, tetapi sudah dewasa sedang wali mujbirnya tidak ada.
Sebaliknya wali hakim tidak dapat menikahkan kedua mempelai apabila:
1.      Wanita yang akan menikah belum baligh
2.      Kedua calon mempelai tidak sepadan (kufu’)
3.      Tanpa seijin calon mempelai wanita.
4.      Hakim tidak boleh menikahkan wanita yang berada di luar wilayah kekuasaannya.

Referensi:
-Muhammad bin Abdurrahman ad-Damasyqi, “Rohmatul Ummah Fikhtilafil Aimmah”, diterjemahkan Abdullah Zaki Alkaf, Fiqih Empat Madzhab, (Bandung: Al-Hasyimi Press, 2001
-Mohd. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undangmen 1 Tahun 1974, dari Segi Hukum Perkawinan Islam (Jakarta: Ind-Hillco, 1985).
-Sayyid Abi Bakar al-Masyhur bil sayyid al-Bikri, I’Anatu al-Thalibin, Juz 3 (Surabaya: al-Hidayah, t.th).
-Syaikh Muhammad As-Syarbini al-Khathib, Al-Aqna'  Juz 1, (Semarang: Toha Putra, Tth).

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Klasifikasi Menjadi Wali Dalam Pernikahan"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!