Presidensial Bergaya Parlementer

Presidensial Bergaya Parlementer
Banyak Orang menyayangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai kepala negara di dalam pemerintahan presidensial temyata memimpin dengan gaya parlementer. Itu menimbulkan kesan lemah. Tapi SBY tidak terlalu salah, sebab sistem pemerintahan kitalah yang kurang sinkron dengan sistem politiknya. Benar, presiden yang dipilih langsung oleh rakyat di dalam sistem presidensial seharusnya tampil kuat. Tapi itu sulit dilakukan oleh SBY.

Dalam menyusun kabinet, misalnya, SBY seperti tersandera oleh partai politik (parpol). Sebagian besar kursi kabinet dibagi berdasar kehendak parpol pendukung, sehingga proses fit and proper test dalam memilih calon menteri pada akhinya tak terealisasi. Itu terjadi karena dia tak bisa mengelak dari desakan parpol-parpol pendukung yang menyodorkan kadernya untuk masuk kabinet.

Pada saat-saat terakhir pembentukan kabinet, banyak menteri yang masuk tanpa fit and proper test. Pada saat reshuffle kabinet, tak ada lagi istilah  fitnd proper test. Sekarang, ketika desakan reshuffle muncul lagi, SBY tampak gamang karena banyak parpol yang menawarkan kadernya. Ada juga parpol yang mengancam menarik dukungan kalau kadernya dicopot dari kabinet. Situasinya menjadi dilematis.

Menghindari Impeachment
Dari optik politik, sebenarnya sikap SBY yang tampak gamang itu wajar karena konstitusi dan sistem politik kita tidak menjamin presiden yang dipilih langsung di dalam sistem presidensial model Indonesia dapat aman dari ancaman penjatuhan (impeachment).

Ketentuan konstitusi yang tampaknya mempersulit cara penjatuhan presiden sebenarnya agak ilutif, sebab jika bola politik menggelinding ke arah impeachment, tak terlalu sulit bagi parpol-parpol untuk melakukan penggalangan politik. Oleh sebab itu, Presiden Indonesia, siapa pun dia, tak dapat meremehkan parpol, meski parpol kecil sekalipun. Kalkulasinya sederhana.

Menurut Pasal 7A UUD 1945, presiden/wapres dapat diberhentikan dalam masa jabatannya kalau teriibat salah satu dari lima macam pelanggaran hukum, yaitu pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela. Presiden/wapres juga dapat diimpeachment kalau mengalami keadaan tertentu, yakni jika tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wapres seperti ketika akan dipilih dulu.

Sedangkan cara meimpeachment presiden/wapres, menurut pasal 7B, haruslah didahului adanya dakwaan atau pendapat oleh DPR bahwa presiden sudah melanggar salah satu dari lima perbuatan tersebut atau tidak memenuhi syarat lagi sebagai presiden/wapres, yang kemudian dimintakan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

Dakwaan atau pendapat DPR itu harus diputuskan dalam sidang DPR yang dihadiri dua pertiga dan seluruh I anggotanya dan disetujui minimal dua pertiga dari anggota 1 yang hadir. Setelah MK memutus bahwa benar presiden/wapres melakukan salah satu pelanggaran atau mengalami keadaan tertentu itu barulah, atas permintaaan DPR, MPR bersidang untuk menentukan kelanjutan jabatan presiden/wapres. Untuk memberhentikan presiden/wapres berdasar putusan MK itu, sidang MPR harus dihadiri sekurang-kurangnya tiga perempat dari seluruh anggotanya dan pemberhentian itu harus disetujui oleh sekurang-kurangnya dua pertiga dari yang hadir.

Saling sandera
Dengan mekanisme seperti itu, terjadilah saling sandera antara presiden dan parpol-parpol. Parpol menyandera presiden agar mau menerima sodoran kader untuk kabinet atau minta imbalan politik lainnya. Presiden juga berkepentingan menyandera sebagian besar parpol agar tak menjatuhkannya dengan memberi imbalan politik Sekurang-kurangnya presiden akan terus berusaha agar kalangan parpol yang melawannya tidak mencapai dua pertiga per dua pertiga di DPR dan dua pertiga per tiga perempat di MPR.

Jadi, meskipun menurut ketentuan Pasal 7 A dan 7B UUD 1945 untuk menjatuhkan presiden/wapres tampak sulit, sebenarnya bisa menjadi mudah. Dengan sistem politik yang multipartai seperti sekarang, kedudukan presiden/wapres tidak dapat sekuat seperti yang kita bayangkan di dalam sistem dwipartai.

Jika bola politik menggelinding untuk menjatuhkan presiden/wapres, maka tak terlalu sulit untuk dilakukan karena dua hal. Mencari-cari bukti bahwa presiden/wapres melanggar salah satu dari lima larangan itu tidaklah terlalu sulit Banyak yang dapat ditemukan dan masalahnya ting-gal kuorum dan kesepakatan parpol di DPR.

Itulah sebabnya, presiden dihadapkan pada paksaan untuk selalu memperhatikan parpol-parpol. Dia akan merangkul parpol agar tak ada guliran bola politik yang mengarah pada munculnya dua pertiga dari dua pertiga kekuatan di DPR dan dua pertiga dari tiga perempat di MPR yang melawannya. Sistem presidesial kita kemudian tak dapat mengelak dari keharusan untuk tampil dengan gaya parlementer. Sistem multipartai menyebabkan presiden tak dapat mengabaikan parpol-parpol.

Alhasil, pemikiran untuk menata sistem dengan sedikit partai menjadi alternatif yang tampaknya rasional,agar pengelompokannya menjadi lebih sederhana dan pemerintahan menjadi lebih stabil.

Sumber: http://www.mahfudmd.com/

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Presidensial Bergaya Parlementer"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!