Pemikiran Quraish Shihab Tentang Zakat Dalam Tafsir al-Mishbah


Pemikiran Quraish Shihab Tentang Zakat Dalam Tafsir al-MishbahPemikiran Quraish Shihab Tentang Zakat Dalam Tafsir al-Mishbah - Ada tiga landasan filosofis menurut pendapat Quraish Shihab terkait dengan di wajibkannya zakat bagi ummat Islam. Kewajiban tersebut tentunya bagi seseorang yang memiliki harta yang sudah memenuhi syarat-syarat untuk mengeluarkan zakatnya. Misalnya seperti kepemilikan seseorang terhadap hartanya ketika mencapai satu (Nishab) orang tersebut diwajibkan mengeluarkan zakat. Tiga landasan filosofis tersebut ialah:

a. Istikhlaf (Penugasan sebagai khalifah di bumi)
Allah swt adalah pemilik seluruh alam raya dan segala isinya, temasuk pemilik harta benda. Seseorang yang beruntung memperolehnya pada hakikatnya hanya menerima titipan sebagai amanah untuk disalurkan dan dibelanjakan sesuai kehendak pemiliknya (Allah swt).

b. Solidaritas Sosial.
Manusia sebagai makhluk sosial, kebersamaan antara beberapa individu dalam suatu wilayah membentuk masyarakat yang walaupun berbeda sifatnya dengan individu-individu tersebut, namun ia tidak dapat dipisahkan darinya. Demikian juga dalam bidang material. Betapapun seseorang memiliki kepandaian, namun hasil-hasil material yang diperolehnya adalah berkat bantuan pihak-pihak lain, baik secara langsung disadari, maupun tidak.

c. Persaudaraan.
Manusia berasal dari satu keturunan, antara seorang dengan yang lainnya terdapat pertalian darah, dekat atau jauh. Kita semua bersaudara. Pertalian darah tersebut akan lebih kokoh dengan adanya persamaan-persamaan lain, yaitu agama, kebangsaan, lokasi domosili, dan sebagainya. Karena persamaan dan persaudaraan inilah maka sangat wajar bagi kita yang memiliki kelebihan harta membaginya kepada saudara-saudara yang kekurangan dan membutuhkan dalam bentuk zakat, infaq ataupun sedekah.

Quraish Shihab juga menjelaskan betapa sangat pentingnya zakat yang merupakan rukun Islam yang ketiga, seperti yang dijelaskan pada surat al-Baqarah ayat 43. seperti diketahui zakat disandingkan dengan shalat. Quraish Shihab menafsirkan bahwa makna tersebut melambangkan shalat hubungan dengan Sang Pencipta sedangkan zakat hubungan baik antara sesama.
    
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.” (al-Baqarah: 43).

Pada ayat tersebut Quraish Shihab menjelaskan bahwa (أقيموا الصلاة) aqimu as-shalah, yakni laksanakan shalat dengan sempurna memenuhi rukun dan syaratnya serta secara bersinambung dan (ءاتُوا الَزّكاة) atu az-zakah, yakni tunaikan zakat dengan sempurna tanpa mengurangi dan menangguhkan serta sampaikan dengan baik kepada yang berhak menerimanya.

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan tentang makna (أقيموا) aqimu dan (ءاتوا) atu di atas, dipahami dari makna akar masing-masing kata itu. Aqimu bukan terambil dari kata (قام) qama yang berarti berdiri, tetapi melakukan sesuatu dengan sempurna. (الرّجال قوّامون على النساء) ar-rijalu qawwamuna ala an-nisa’ bukan berarti para laki-laki di atas wanita, tetapi berarti mereka melaksanakan secara sempurna fungsi-fungsi mereka sebagai suami terhadap isteri-isteri mereka.

Dua kewajiban pokok itu merupakan pertanda hubungan harmonis, shalat untuk hubungan baik dengan Allah swt dan zakat pertanda hubungan harmonis dengan sesama manusia. Keduanya ditekankan, sedangkan kewajiban lainnya dicakup  oleh penutup ayat ini, yaitu rukuklah bersama orang-orang yang ruku’; dalam arti tunduk dan taatlah pada ketentuan-ketentuan Allah sebagaimana dan bersama orang-orang yang taat dan tunduk.

Demikian tuntunan itu ditampilkan dalam susunan yang serasi. Awalnya mengingatkan nikmat-nikmat Ilahi, akhirnya perintah tunduk dan patuh kepada-Nya, sedang di pertengahan – antara awal dan akhirnya – dikemukakan tugas-tugas, baik yang bersifat imamiyah maupun badaniyah dan maliyah (harta benda). Perintah ini pada hakekatnya ditujukan kepada seluruh manusia, walaupun pada mulanya ditujukan kepada Bani Isra’il. Pada surat at-Taubah ayat 34-35, juga menegaskan:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, Maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu."

Setelah menjelaskan sekelumit dari keburukan dan kesesatan kaum musyrikin dan ahl al-Kitab, yang berkaitan dengan sikap mereka terhadap Allah swt, kini diuraikan keburukan mereka menyangkut kehidupan duniawi, yakni loba dan tamak serta menumpuk harta benda. Kaum muslimin di ajak oleh ayat ini untuk menghindari keburukan itu dengan bepesan: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya banyak sekali dari al-ahbar, yakni orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib yakni ulama-ulama Nasrani yang benar-benar memakan, yakni mengambil dan menggunakan harta orang lain dengan jalan yang bathil antara lain dengan menerima sogok, manipulasi ajaran untuk memperoleh keuntungan materi. Mereka menampakkan diri sebagai agamawan yang dekat kepada Tuhan dan mementingkan kehidupan akhirat tetapi hakekat mereka tidak demikian, dan di samping itu mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah dengan berbagai uraian dan penafsiran yang mereka ajarkan.

Harta benda yang mereka peroleh dari yang batil itu dan yang mereka simpan dan timbun itu, kelak akan menyiksa mereka. Dan orang-orang yang menghimpun dan menyimpan emas dan perak lagi tidak menafkahkan pada jalan Allah, yakni sesuai ketentuan dan tuntunan-Nya maka gembiraknlah mereka, bahwa mereka akan disiksa dengan siksaan yang pedih.

Shihab menjelaskan bahwa, siksa yang menimpa para penghimpun harta lagi tidak menafkahkannya di jalan Allah dilukiskan oleh ayat di atas akan menimpa tiga bagian dari tubuh penghimpunnya yaitu, dahi yang terletak di wajah mereka, lambung dan punggung mereka, di atas telah disinggung mengapa ketiga bagian itu disebut secara kusus. Asy-Sya’rawi mempunyai pendapat lain. Menurutnya masing-masing bagian dari tubuh manusia yang disebut oleh ayat ini mempunyai peranan dalam kekikiran mereka. Dahi yang merupakan bagian dari wajah manusia adalah yang pertama berperan ketika seseorang dating meminta bantuan. Ketika itu yang enggan bernafkah memalingkan wajahnya dan mengerutkan dahinya saat mengetahui kedatangan si peminta. Saat itu juga si peminta merasa terhina, tetapi boleh jadi ia belum mengurungkan niatnya dan berlanjut dalam usahanya maka ketika itu si kikir memalingkan badannya, menghadap kearah lain, tetapi kalau si peminta masih berkeras meminta maka si kikir mangambil sikap yang lebih tegas, kali ini dengan meninggalkan si peminta dan membelakanginya. Demikian terlihat ketiga anggota tubuh manusia yang kikir berperanan agar harta yang dihimpunnya tidak ia nafkahkan di jalan Allah. Jika demikian, sangat wajar ayat ini menyebut secara khusus ketiga anggota badan manusia dengan penyebutan berurut seperti itu.

Dijelaskan juga dalam surat al-Baqarah ayat 110:

“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha melihat apa-apa yang kamu kerjakan.”

Dijelaskan pula oleh Quraish Shihab pada penafsiran ayat ini ialah untuk meredam keinginan balas dendam, kerena pada penjelasan sebelumnya ayat ini mengenai para pemuka agama yahudi yang berkhianat dan durhaka ketika masuk Islam. Oleh karena itulah untuk menenangkan kembali hati kaum muslimin, Allah memerintahkan mereka: Laksanakan zakat secara baik dan kesinambungan dan tunaikanlah zakat dengan sempurna kadar dan pemberiannya, serta tanpa menunda-nunda. Demikian maka kata “aqimu” dan “atu” yang menandai perintah shalat dan zakat sambil mengingatkan bahwa, dan kebaikan apa saja yang kamu ussahakan untuk diri kamu, pasti kamu akan mendapatkannya, yakni ganjarannya di sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan, apakah pekerjaan itu berupa kebaikan atau keburukan, sebagaimana dipahami dari penyebutan nama Allah pada penutup ayat ini, bukan dengan menyatakan sesungguhnya “Dia”, karena pada umumnya jika kata ganti nama yang disebut maka biasanya ia hanya mengisyaratkan makna yang disebut sebelumnya, sehingga kalau kata “Dia” yang digunakan pada penutup ayat ini – bukan kata Allah – maka maknanya adalah Dia mengetahhui kebaikan yang kamu usahakan.

Senada dengan penjelasan di atas, pada surat al-Mu’minun juga dijelaskan pada ayat 4 sebagaimana berikut:

“Dan orang-orang yang menunaikan zakat.”

Dalam tafsir al-Mishbah, menurut pendapatnya al-Biqa’i, penyebutan pengeluaran zakat setelah sebelumnya dinyatakan bahwa mereka menjauhkan diri dari al-laghw, disebabkan karena menghindari al-laghw bukanlah hal yang mudah. Manusia hampir tidak dapat luput darinya. Di sisi lai, pengeluaran harta dalam hal ini membayar fidyah merupakan cara membebaskan diri dari ucapan sumpah yang dibatalkan. Jika demikian, ucapan dan perbuatan yang mestinya  dibatalkan/ ditiadakan tetapi telah dikerjakan, tentulah – melalui zakat, infak dan sedekah – dapat pula membebaskan manusia dari dosa atau kekliruan karena melakukan al-laghw.

Ayat di atas menyatakan: dan di samping mereka yang telah disebut pada ayat yang lalu yang akan memperoleh kebahagiaan, termasuk juga yang akan memperolehnya adalah mereka yang menyangkut zakat yakni sedekah atau penyucian jiwa adalah pelaksana-pelaksana yakni melakukannya dengan sempurna lagi tulus.

Kata (زكا ة )  zakah dari segi bahasa berarti suci dan berkembang. Ini karena menafkahkan harta mengantar kepada kesuciannya dan kesucian jiwa penafkah. Di samping itu, ia jadi penyebab bagi pengembangan harta itu. Al-Qur’an sering kali menggunakan kata ini dalam arti sedekah, walaupun ulama fiqh memahami kata tersebut dalam istilah mereka sebagai  bagian tertentu dari harta benda yang wajib dikeluarkan, setelah memenuhi syarat-syaratnya. Di sini lain, al-Quran menggunakan kata shadaqah sedekah dalam arti zakat, yaitu pada firman-Nya dalam QS.at-Taubah: 60.

Al-Qur’an sering kali menggunakan kata kerja ( اتوا) atu untuk menunjukkan pengeluaran zakat/ harta benda. Tetapi di sini kata yang digunakan untuk menunjuk pelaku pengeluaran itu dalah kata (فاعلون ) fa’ilun yang terambil dari kata kerja (فعل ) fa’ala. Pemilihan kata ini menurut Thabathaba’I, mengisaratkan betapa besar perhatian mereka terhadap ibadah itu, seseorang yang diperintahkan minum lalu berkata: “ya, saya akan minum.” Jawaban ini tidaklah sekuat bila dia berkata: “Ya, saya akan melaksanakannya, “ atau “ Saya pelaksana hal itu. “Di sisi lain – menurut Ibn Asyur – bahasa yang menggunakan materi kata fa’ala, mengandung makna pemberian kebajikan.

Selanjutnya Quraish Shihab menjelaskan, Iman yang mantap akan mendorong penyandangnya untuk manafkahkan sebagian hartanya dan ini dapat mengantar masyarakat menikmati kecukupan bahkan kebahagiaan yang juga akan ikut berperan dalam kebahagiaan pemberi, karena kesempurnaan kebahagiaan seseorang, adalah keberadaannya di tengah masyarakat bahagia. Zakat, sedekah, dan berbagai infak mempererat hubungan sosial, sehingga masing-masing anggota masyarakat merasakan dan bertanggung jawab atas derita yang dialami oleh anggota lainnya. Dampak positifnya terlihat pada terkikisnya dengki atau iri hati (baca QS. Muuhammad [47]: 36-37).

Nilai-nilai sosial kemsyarakatan yang terkandung dalam substansi zakat sejalan dengan surat  at-Taubah ayat 10-12:

 “Mereka tidak memelihara (hubungan) Kerabat terhadap orang-orang mukmin dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. dan mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang mengetahui. Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, Maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena Sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang (yang tidak dapat dipegang) janjinya, agar supaya mereka berhenti.

Shihab menjelaskan pada ayat ini mengisyaratkan bahwa sikap buruk itu tidak hanya berlaku terhadap kaum mukmin yang ketika itu hidup bersama mereka, tetapi mencakup siapapun yang mukmin kapan dan di manapun, karena itu ayat ini menegaskan bahwa mereka tidak memelihara hubungan kerabat yang mengundang hubungan baik terhadap mukmin tidak juga khawatir dinilai tidak jujur dengan mengingkari sumpah mereka dan tidak pula mengindahkan perjanjian yang mereka jalin dengan siapapun apalagi dengan kaum mukminin. Mereka adalah orang-orang yang menyimpan dengki kepada kamu dan itulah, yakni hanya mereka –bukan kamu  adalah para pelampau batas, yakni yang benar-benar telah mencapai puncak pelampauan batas, karena tidak ada lagi sesuatu dalam diri mereka yang dapat menghalangi mereka melakukan kejahatan. Kendati demikian, Allah belum menutup pintu taubat bagi mereka, maka jika mereka bertaubat menyadari kesalahan mereka dan memeluk Islam, melaksanakan shalat secara benar dan bersinambung, dan menunaikan zakat dengan sempurna sebagaimana ditetapkan oleh Rasulullah saw. Maka mereka itu adalah saudara-saudara kamu seagama mereka memperoleh hak sebagaimana hak kamu dan atas pundak mereka ada kewajiban sebagaimana kewajiban kamu.

Kemudian Shihab menjelaskan bahwa persaudaraan seagama Islam, ditandai dengan tiga sifat utama yaitu pengucapan dua kalimat syahadat yang oleh ayat di atas disebut dengan bertaubat sedang yang kedua dan yang ketiga adalah pelaksanaan shalat dengan baik dan penunaian zakat dengan sempurna.

Selanjutnya seprti yang di Firmankan Allah dalam surat at-Attaubah ayat 103:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.”

Dalam tafsir al-Misbah, Shihab menjelaskan bahwa mereka yang mengakui dosanya sewajarnya dibersihkan dari noda, darena sebab utama ketidak ikutan mereka ke medan juan adalah ingin bersenang-senang dengan harta yang mereka miliki, atau disebabkan karena hartalah yang menghalangi mereka berangkat, maka ayat ini memberi tuntunan tentang cara membersihkan diri dan untuk itu Allah swt memerintahkan Nabi saw. Mengambil harta benda mereka untuk disedekahkan kepada yang berhak.

Sebagaimana juga dijelaskan oleh Hamka tentang kreteria harta yang akan dizakatkan, tentunya harta yang baik dari kondisinya. Shihab juga menjelaskan ayat yang terdapat pada surat al-Imran, ayat 92 sebagai berikut:

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”

Shihab menambahkan bagaimana sehingga nafkah seseorang akan dapat bermanfaat. Yakni bahwa yang dinafkahkan hendaknya harta yang disukai, karena kamu sekali-kali tidak meraih kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan dengan cara yang baik dan tujuan serta motivasi yang benar sebagian dari apa, yakni harta benda yang kamu sukai. Jangan kawatir merugi atau menyesal dengan pemberianmu yang tulus, karena, apa saja yang kamu nafkahkan, baik itu dari yang kamu sukai maupun yang tidak kamu sukai, maka sesungguhnya tentang segala sesuatu menyangkut hal itu Allah Maha Mengetahui, dan dia yang akan memberi ganjaran untuk kamu baik di dunia maupun di akhirat kelak.

Selain uraian tersebut, perlu juga dijelaskan tentang orang-orang yang berhak menerima zakat menurut criteria yang sudah ada dalam al-Qur’an. Seperti yang terdapat pada surat at-Taubah ayat 60:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”

Pendapat Shihab megenai orang yang berhak menerima zakat terkait dengan ayat ini adalah orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya, yakni yang mengumpulkan zakat, mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membaginya, dan diberikan juga kepada, para muallaf, yakni orang-orang yang dibujuk hatinya serta untuk memerdekakan para hamba sahaya dan orang-orang yang berhutang bukan dalam kedurhakaan kepada Allah dan disalurkan juga pada sabilillah dan orang-orang yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan. Semua itu sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui siapa yang wajar menerima dan Dia Maha Bijakasana dalam menetapkan ketentua-ketentuan-Nya. Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu selama mereka ada. Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapat zakat.   

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Pemikiran Quraish Shihab Tentang Zakat Dalam Tafsir al-Mishbah"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!