Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat Hukum Adat


Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat Hukum Adat (Perlukah Reformasi Hukum Agraria ?)


Kajian oleh Komisi Hukum Nasional
Suatu kajian yang dilakukan KHN pada tahun 2008, tentang “Tinjauan Terhadap UU No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria”, antara lain menyimpulkan:
(a) Bahwa terdapat ketidaksinkronan antara berbagai peraturan yang mengatur tentang tanah di bumi Indonesia ini. Ketidaksinkronan ini dilihat baik secara horisontal maupun secara vertikal antara berbagai peraturan tersebut.Hal ini menyebabkan kebijakan agraria di Indonesia “berwajah sektoral”.
(b) Hak-hak masyarakat adat atas tanahnya, yang diakui oleh Hukum Agraria 1960, (UUPA) dalam kenyataannya tidak berjalan sebagai yang dicita-citakan.Pengaturan dalam bentuk hak tersendiri belum atau tidak dijabarkan secara jelas.
(c) Hak-hak dasar masyarakat atas sumber daya agraria yang sudah diatur dalam UUPA dalam usaha implementasinya kalah terhadapa berbagai kepentingan sektoral.Hal ini menjadi lebih parah dengan persaingan antar sektor dengan kepentingannya masing-masing.
Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat Hukum Adat(d) Diutamakannya investasi dalam pembangunan ekonomi, sering sekali menyebabkan hak-hak masyarakat atas tanah terabaikan.
(e) Hak Menguasai Negara (HMA) yang menurut UUPA dapat didelegasikan kepada masyarakat adat dan daerah swatantra, dalam prakteknya diberikan kepada badan-badan atau departemen-departemen pemerintah/negara dan kemudian dikenal sebagai Hak Pengelolaan (yang sebenarnya tidak dikenal dalam UUPA).



Sangat mengherankan bahwa UUPA yang diakui sebagai suatu produk jaman Orde Baru yang cukup baik dalam keberpihakannya pada masyarakat adat, dalam prakteknya tidaklah demikian. Kesimpulan diatas yang didasarkan atas kajian yang dilakukan Tim Peneliti KHN di berbagai daerah Jawa dan luar-Jawa menunjukkan bahwa dalam masa hampir 50 tahun adanya undang-undang ini, masyarakat adat dan hak-haknya atas tanah masih (atau malah?) terpinggirkan. Mengapa hal ini dapat terjadi?
Saya membaca cepat dua buku yang baru-baru ini saya peroleh.Kedua buku ini mungkin dapat membantu kita menelaah apa yang terjadi. Menarik adalah bahwa buku-buku ini merupakan penelitian yang didanai dan dipimpin oleh pihak asing.Meskipun penelitinya banyak tenaga-tenaga ahli dan akademisi bangsa Indonesia.



Kajian interdisiplin oleh akademisi dan aktivis LSM Indonesia.
Kedua buku tersebut diterbitkan bersama oleh HuMa-Jakarta, Van Vollenhoven Institute, Universitas Leiden dan KITLV-Jakarta (serta untuk buku kedua Epistema Institute). Keduanya termasuk Seri Sosio-Legal Indonesia.Yang pertama berjudul Hukum Agraria dan Masyarakat di Indonesia ( Penyuntung: Myrna A.Safitri dan Tristam Moeliono, April 2010) dan yang kedua Akses Terhadap Keadilan-Perjuangan masyarakat miskin dan kurang beruntung untuk menuntut hak di Indonesia (Editor: Ward Berenschot,Adriaan Bedner,Eddie Riyadi Laggut-Terre,Dewi Novirianti, Maret 2011). 



Keduanya merupakan kumpulan karangan-karangan hasil penelitian lapangan tentang tanah dan hak-hak masyarakat adat.Membaca laporan penelitian itu sungguh miris hati kita, mengapa ketidakadilan terhadap masyarakat adat dan kelompok miskin diperkotaan masih terjadi dan dibiarkan setelah setengah abad adanya UUPA dan 65 tahun kita menyatakan negara ini merdeka dari penjajahan kolonial Belanda?. Terpikir di sini apakah kalau begitu cara pengelolaan tanah di negara merdeka,oleh pemerintahan bangsa sendiri, tidak berbeda (ataukah mungkin lebih buruk?) dari pemerintah jajahan? 



Dari permasalahan yang dapat dilaporkan berdasarakan penelitian-penelitian tersebut terlihat misalnya kritik bagaimana kita yang menyatakan diri sebagai negara hukum namun belum dapat mengakomodasikan pembagian kewenangan atas tanah antara negara (pemerintah) dan warga masyarakat. Pemahaman tentang doktrin Domein dari pemerintah kolonial Hindia Belanda, sepertinya masih dipergunakan dan terbawa sampai sekarang. Hak-hak masyarakat adat seperti hak ulayat dan hak atas hutan adat belum memberikan kepastian hukum pada masyarakat di daerah pedesaan.Apalagi dalam penyelesaian konflik-konflik mengenai tanah, baik antara warga masyarakat adat sendiri, antara mereka dengan warga pendatang/migran, dan terlebih lagi bila terjadi sengketa antara masyarakat adat dengan perusahaan (swasta dan negara) yang mendapat hak dari pemeritah (pusat ataupun daerah). Alangkah malangnya nasib rakyat kita ini, limapuluh tahun dijanjikan perbaikan atas hak-hak tanah mereka melalui UUPA 1960, namun tidak satupun pemeritah yang dapat melaksanakannya.



Apakah pembaruan (reformasi) UUPA 1960 akan membantu dapat dipenuhinya kanji tersebut? Saya tidak yakin, karena masalahnya bukan sekedar mengubah kata-kata, kalimat-kalimat dalam perumusan pasal peraturan, namun terutama pada semangat dari pemerintah yang harus menjalankan suatu peraturan. Selama masih ditafsirkan bahwa tanah dikuasai negara, tanpa memperhatikan kepentingan masyarakat lokal dan lebih berpihak kepada investor demi kepentingan nasional, maka selama itu pula hak-hak msyarakat adat terpinggirkan (dikalahkan). Apakah kebijakan otonomi daerah dapat membantu? Mungkin, tetap banyak pula tergantung pada kemampuan masyarakat adat memilih pemimpin yang tepat, yang berpihak pada mereka.     



Hak Menguasai Negara atas Tanah
Domein verklaring merupakan ketentuan pemerintah Hindia Belanda untuk menyatakan bahwa tanah diatas mana tidak terdapat kepemilikan (hukum perdata), merupakan tanah yang dikuasai (hukum publik) oleh negara (Hindia Belanda). Seperti dikatakan dalam beberapa laporan penelitian (a.l KHN dan Penelitian Sosio-Legal) pendekatan pemerintah kolonial ini ternyata diambil-alih oleh pemerintah Republik Indonesia dalam bentuk Hak Menguasai Negara (HMN). Kewenangan yang diberikan UUPA 1960 ini harus dibaca bersamaan dengan Pasal 33 UUD 1945. Seperti ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) maka HMN tidaklah harus diartikan sebagai pemilikan atas tanah. HMN hanya memberi negara kewenangan untuk merumuskan ”kebijakan (beleid)”, melakukan ”pengaturan (regelen)”, ”pengurusan (besturen)”, ”pengelolaan (beheren”), dan ”pengawasan (toezicht houden)”.

Kewenangan inilah yang dikritik telah disalahgunakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. A.l dengan mementingkan dan mendahulukan perusahaan-perusahaan besar dan kebanyakan bermodalkan dana asing, untuk memanfaatkan tanah-tanah yang secara turun-temurun dikuasai masyarakat adat. UUPA juga mengatur bahwa atas dasar HMN itu, maka Negara juga dapat mengatur pengambilan kekayaan alam yang terkandung dalam bumi, air, dan ruang angkasa. Celakanya, HMN yang bila dikaitkan dengan pasal 33 UUD ditujukan untuk ”sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”, telah ditafsirkan sebagai hak pemerintah (pusat dan daerah) untuk pemberian berbagai jenis ijin kepada perusahaan besar pertambangan, kehutanan, perkebunan dan pertanian. Umumnya yang dapat memanfaatkan persyaratan yang diminta oleh ijin-ijin tersebut adalah perusahaan-perusahaan besar bermodalkan dana asing.



Bagaimanakah halnya didaerah perkotaan ? Masalahnya disini tentu lain. Khususnya di kota-kota yang sudah ada sejak jaman Hindia Belanda, banyak tanah sudah dimiliki dibawah hukum perdata Barat, misalnya hak eigendom dan hak opstal.Kedua hak tanah menurut hukum perdata Barat (Burgerlijk Wetboek- BW) padanannya dalam UUPA menjadi hak milik dan hak bangunan.Tanah-tanah tersebut sudah terukur, terdaftar dan dilegalisasi melalui dolumen yang dikenal sebagai Sertifikat Tanah.Dengan pemekaran kota yang bersangkutan, maka banyak tanah yang tadinya berada di desa-desa pinggiran menjadi bagian dari kota.Umumnya dihuni oleh penduduk asli (asal), tetapi dengan perlunya tanah untuk pembangaunan pabrik,perumahan real estate dan pusat perbelanjaan (mal), maka tanah- tanah tersebut akan jatuh pula kepada kalangn bisnis (perusahaan). Rakyat yang tidak cukup modalnya akan tersisihkan dan dengan hilangnya pula lahan pertanian akan menjadi buruh di pabrik-pabrik atau tempat- tempat kerja lainnya.

Di kota-kota besar pusat perdagangan, seperti Jakarta-Surabaya-Medan, akan terlihat lebih jelas bahwa banyak ”orang miskin” berasal dari pinggir kota (yang asalnya daerah pertanian) mencari nafkahnya di kota dengan menjadi ”penganggur” dan pengemis.Mengapa mereka tidak terlindungi ketika mereka melepaskan tanah pertanian mereka kepada para pengusaha? Apakah pemerintah tidak peduli kepada rakyat miskin?



Konflik Pertanahan
Konflik pertanahan tidak saja terjadi di daerah padat penduduk, tetapi juga di daerah hutan.Tidak saja antara penduduk dengan pemerintah, tetapi juga antara warga desa baik masyarakat adatnya maupun pendatang.Contohnya adalah yang tejadi  di Desa Tanjung Mandiri, Tanjung Lebar, Bahar Selatan, Muoro Jambi. Sengketa adalah tentang penjualan ratusan hektar tanah hutan kepada warga (umumnya pendatang) untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Pengelola hutan, PT Restorasi Ekosistem, yang menguasai kawasan ”Hutan Restorasi Harapan” menjadi kewalahan dengan ”perambahan hutan” yang terjadi.Usaha penghentian penjualan yang dilakukan melalui ”Aliansi Masyarakat Adat Nasional” (AMAN) memicu konflik.Menurut AMAN, kawasan ini merupakan habitat suatu kelompok suku terasing (suku Bathin IX).Perambahan hutan harus dihentikan, dan rupanya hanya dapat dilakukan dengan penegakan hukum. (Kompas, Jum’at 29 April 2011).



Penegakan hukum melalui UU Kehutanan (UU No.41/1999) ternyata juga menimbulkan sengketa dan perasaan ketidak-adilan. Masalahnya berkisar pada ketentuan dalam UU Kehutanan yang membedakan antara ”hutan-negara” dan ”hutan-hak”. Mengikuti HMN, maka ”hutan-negara” berada pada tanah yang tidak dibebani hak atas tanah, sedangkan ”hutan-hak” adalah hutan yang berada pada tanah yang dibebani hak atas tanah. Aturan yang berlaku menegaskan bahwa semua hasil-hutan kayu yang diambil dari hutan dan diangkut untuk dijual harus mempunyai ijin. Pasal 50(3)h melarang ”mengangkut, menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi surat keterangan sahnya hasil hutan” dengan diancam pidana paling lama 10 tahun dan denda paling banyak lima milyar rupiah.Seharusnya hal ini tidak berlaku untuk hasil hutan yang diambil dari hutan-hak, karena merupakan hak dari warga atau masyarakat adat bersangkutan. Kalaupun ada maksud menertibkan kawasan hutan-hak ini melalui surat ijin (bersifat administratif), maka pelanggaran cukup diberi sanksi denda administratif yang sesuai saja. Sedangkan sekarang warga masyarakat diajukan ke pengadilan pidana.



Kesimpulan
Apa yang diuraikan di atas merupakan hanya sekelumit permasalahan yang menyangkut soal tanah di Indonesia. Pertanyaan yang mendasar adalah apakah perlu ada pembaruan UU Pokok Agraria? Sebagai orang yang dalam masa mahasiswanya (1955-1961) mendapat pelajaran tentang UUPA ini, dan mengikuti melalui suratkabar  diskusi-diskusi dalam penyusunannya, saya merasa kekeliruannya bukan pada perumusan UUPA tetapi pada penafsiran dan pelaksanaannya oleh para pejabat pemerintah (Pusat dan Daerah). Mengikuti paham bahwa tanah harus berfungsi sosial dan merupakan hak dasar rakyat, maka pengelolaan ekonominya haruslah berdasarkan ”ekonomi berbasis kesejahteraan rakyat” dan bukan ”ekonomi neo-liberal yang mengandalkan mekanisme pasar dan sedikit sekali campur tangan pemerintah” (Suara Pembaruan, 25 Mei 2009). 


Oleh Mardjono Reksodiputro (Sekretaris KHN)

Sumber:
-www.komisihukum.go.id

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Hukum Agraria 1960 dan Masyarakat Hukum Adat"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!