Hukum Menikah dengan Perempuan dengan Anak Hasil Zina


Hukum Menikah dengan Perempuan dengan Anak Hasil Zina
Pertanyaan:
Assalamualikum, ada seorang perempuan sudah menikah menjadi TKI di luar negeri selama 4 tahun. selama itu juga dia meninggalkan suaminya dengan maksud memang sudah tidak mau berhubungan dengan suaminya karena berbagai masalah. Setelah pulang ke Indonesia ternyata perempuan tersebut telah hamil 3 bulan dengan pacarnya sewaktu di luar negeri. Karena tidak berani pulang ke rumah, dia menuju rumah keluarga di Kalimantan sampai melahirkan. Setelah melahirkan hal tersebut terungkap dan keluarga perempuan tersebut mengetahuinya. Pada akhirnya dia pulang ke keluarganya membawa anak berumur 4 bulan, bersama itu pula suaminya menceraikanya. Dan sekarang perempuan tersebut menjadi janda dan mempunyai anak hasil zina. Yang ingin saya tanyakan, saya seorang lajang 27 tahun jika saya ingin menikahi janda tersebut apa saja yang hendaknya saya lakukan? Bagaimana status anak zinanya? Apakah anak tersebut bisa menjadi anak saya secara hukum? Bagaimana AKTA nya? Mohon pencerahanya. Wassalamualaikum.

Jawaban:
Waalaikum salam,

1. Sebelumnya perlu kami jelaskan bahwa dari penjelasan Anda dapat kami simpulkan bahwa hubungan hubungan antara perempuan tersebut dengan pacarnya diluar negeri adalah merupakan suatu tindak pidana perzinaan sebagaimana diatur dalam Pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), karena hubungan tersebut dilakukan ketika perempuan tersebut terikat status pernikahan dengan pria lain.

Zina adalah termasuk delik aduan absolut, artinya perempuan itu dapat dituntut apabila ada pengaduan dari pihak suami yang dirugikan. Namun, karena dalam kasus ini suami dari perempuan tersebut tidak mengadukan perzinaan tersebut, maka perempuan tersebut tidak dapat dikenai pemidanaan atas dasar perzinaan.

Lebih lanjut, dari penjelasan Anda dapat diketahui bahwa telah terjadi perceraian antara perempuan tersebut dengan suaminya. Sehingga saat ini perempuan tersebut berstatus sebagai janda karena perceraian. Namun, sayangnya Anda tidak menjelaskan kapan tepatnya perceraian tersebut terjadi. karena terhadap seorang wanita yang putus perkawinannya (cerai) berlaku waktu tunggu sebelum wanita tersebut dapat menikah lagi sebagaimana diatur dalam Pasal 11 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”) jo. Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”).

Pasal 39 ayat (1) huruf b dan Pasal 39 ayat (3) PP 9/1975 mengatur waktu tunggu bagi perempuan yang putus perkawinannya karena perceraian untuk perempuan yang masih berdatang bulan adalah tiga kali suci dengan sekurang-kurangnya sembilan puluh hari, dan bagi yang tidak berdatang bulan selama sembilan puluh hari. Tenggang waktu tunggu tersebut dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Artinya berdasarkan pengaturan tersebut, maka apabila Anda hendak menikahi janda tersebut, Anda harus menunggu sampai waktu tunggu sebagaimana pengaturan Pasal 11 UUP jo. Pasal 39 PP UUP wanita tersebut berakhir. Apabila waktu tunggu tersebut telah dilalui, maka tidak ada lagi larangan bagi Anda untuk menikahi jAnda tersebut.

2. Jika Anda menikah dengan si perempuan, maka anak dari perempuan yang bersangkutan statusnya adalah anak tiri Anda.

3. Karena anak tersebut dilahirkan ketika ibunya masih terikat dalam suatu perkawinan, maka anak tersebut secara hukum dianggap sebagai anak yang sah dari ibunya dan mantan suaminya, hal ini berdasar pada pengaturan Pasal 42 UUP yang menyatakan bahwa anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah.

Walaupun begitu, mantan suami dari perempuan tersebut dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan perempuan tersebut apabila ia dapat membuktikan (dalam pengadilan) bahwa istrinya telah berzina dan anak tersebut adalah akibat daripada perzinaan, hal ini dimungkinkan oleh pengaturan Pasal 44 UUP. Namun karena dalam kasus ini penyangkalan oleh mantan suami perempuan tersebut tidak dilakukan, maka secara hukum, mantan suami perempuan tersebut adalah dianggap sebagai ayah yang sah dari anak tersebut.

Dengan demikian, secara hukum Anda tidak dimungkinkan untuk mengakui anak tersebut sebagai anak Anda, karena anak tersebut terlahir ketika ibunya terikat dalam status perkawinan. Selain itu juga Anda bukanlah bapak/ayah kandung/biologis dari anak tersebut.

Kasus ini akan berbeda apabila Anda memang ayah kandung/biologis dari anak tersebut, apabila demikian Anda dapat menggunakan sarana pengakuan atau pengesahan anak untuk mengakui anak tersebut sebagai anak Anda melalui pengaturan Pasal 49 dan Pasal 50 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU 23/2006”) itu pun hanya dapat dilakukan jika anak tersebut dilahirkan ketika ibunya tidak sedang terikat suatu perkawinan yang sah.

Namun karena Anda bukanlah ayah kandung dari sang anak, dan ketika anak tersebut dilahirkan ibunya terikat status perkawinan yang sah, maka upaya pengakuan atau pengesahan anak tidak dapat Anda lakukan, karena syarat untuk melakukan pengakuan maupun pengesahan anak adalah Anda harus sebagai ayah kandung/biologis dari anak tersebut.

Selain itu, apabila Anda tetap mengakui anak tersebut sebagai anak kandung, maka Anda dapat diancam pidana berdasarkan ketentuan Pasal 277 ayat (1) KUHP yang menyatakan:

“Barangsiapa dengan salah satu perbuatan sengaja membikin gelap asal-usul orang, diancam karena menggelapkan asal-usul, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.”

4. Sayangnya Anda tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai akta apa yang anda maksud. Namun, apabila yang dimaksud adalah akta kelahiran anak dari janda tersebut, maka sesuai dengan pengaturan Pasal 55 ayat (1) UUP bahwa “asal-usul seorang anak hanya dapat dibuktikan dengan akta kelahiran yang autentik, yang dikeluarkan oleh Pejabat yang berwenang.” Maka, berdasarkan pasal tersebut akta kelahiran anak tersebut menjadi alat bukti untuk membuktikan siapa orang tuanya yang sah secara hukum.

Anda juga tidak menjelaskan apakah untuk kepentingan si anak tersebut telah dibuatkan suat akta kelahiran atau belum. Namun, sesuai dengan pengaturan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil, pencatatan kelahiran penduduk dilakukan dengan syarat-syarat berupa:
a. Surat kelahiran dari dokter/bidan/penolong kelahiran;
b. Nama dan identitas saksi kelahiran;
c. KK orang tua;
d. KTP orang tua; dan
e.  Kutipan Akta Nikah/Akta Perkawinan orang tua.

Karena persyaratan-persyaratan demikian, maka hanya orang tua yang sah menurut hukum yang dapat dicatatkan dalam akta kelahiran sebagai orang tua dari anak tersebut, yaitu perempuan tersebut dengan mantan suaminya (kecuali ada penyangkalan dari mantan suaminya seperti dijelaskan dalam jawaban poin 3).

Demikian yang kami ketahui, semoga bemanfaat.

Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Wetboek van Strafrecht, Staatsblad 1915 No 73).
2. Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan
4. Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
5. Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Pencatatan Sipil

Sumber:
-www.hukumonline.com

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Hukum Menikah dengan Perempuan dengan Anak Hasil Zina"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!