Hukum Shalat di Atas Kasur

Hukum Shalat di Atas Kasur

Hukum Shalat di Atas Kasur
Pertanyaan:
Kami membuat sebuah kasur tipis yang panjangnya empat meter dan lebarnya satu meter seperempat. Ukuran ini kami sesuaikan dengan luas ruangan tempat kami melakukan shalat. Kasur itu kami buat sebagai alas dalam shalat. Kasur tersebut terbuat dari dua potong kain bersih yang diisi dengan busa tipis yang ukurannya tidak lebih dari satu setengah centimeter, bahkan mungkin lebih tipis dari itu. Kasur ini dapat menampung delapan orang yang melakukan shalat di tempat itu. Jika orang yang hendak shalat lebih banyak dari itu, maka sisanya akan shalat di atas permadani biasa yang sudah usang. Kasur itu tentu saja membuat kami lebih nyaman, terutama bagi orang lanjut usia seperti saya yang biasanya mempunyai masalah pada lutut. Banyak orang telah melihat kasur itu dan senang melaksanakan shalat di atasnya. Tiba-tiba, kami dikejutkan dengan seseorang yang mengingkari itu. Karena itulah, kami memohon penjelasan yang benar mengenai hal ini.

Jawaban:
Mufti Agung Prof. Dr. Ali Jum'ah Muhammad

Para ahli fikih dari kalangan Ahlus Sunnah sepakat atas ketidakharusan melakukan shalat di atas benda yang berasal dari unsur bumi, seperti debu, krikil dan lain sebagainya. Salah seorang ulama Syafi'iyah, Syekh al-Khatib asy-Syarbini, dalam kitab Mughnî al-Muhtâj, menyatakan: "Kaum muslimin, selain kelompok Syiah, berijmak atas kebolehan melakukan shalat di atas kulit binatang (wol) atau benda yang terbuat darinya. Tidak ada kemakruhan sama sekali untuk melakukan shalat di atasnya, kecuali Malik yang berpendapat bahwa itu adalah makruh tanzihi. Sedangkan Syiah berpandangan bahwa tidak boleh melakukan shalat di atasnya karena wol bukan berasal dari unsur tumbuhan bumi."

Keabsahan shalat pun tidak terpengaruh dengan tebal tipisnya alas yang digunakan untuk shalat, selama dahi dapat menempel sempurna dan tidak bergerak-gerak di atas alas tersebut ketika bersujud.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwa Rasulullah saw. pernah melaksanakan shalat di atas kasur istrinya sedangkan Aisyah berbaring di antara beliau dan kiblat seperti terbaringnya jenazah." Bukhari membuat judul untuk bab yang berisi hadis tersebut dengan nama Bab "Shalat di Atas Kasur". Al-Hafizh Ibnu Hajar, dalam Fath al-Bârî, berkata, "Dengan nama judul ini, Bukhari hendak mengisyaratkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad shahih dari Ibrahim an-Nakha'i dari al-Aswad dan sahabat-sahabatnya, bahwa mereka tidak suka (menganggap makruh) melakukan shalat di atas permadani, karpet yang terbuat dari kulit binatang dan pakaian yang tebuat dari bahan kasar. Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari beberapa orang sahabat dan tabi'in mengenai kebolehan hal itu."

Diriwayatkan dari Mughirah bin Syu'bah r.a., dia berkata, "Rasulullah saw. melakukan shalat –atau menyukai untuk melakukan shalat– di atas karpet yang terbuat dari kulit binatang yang telah disamak." (HR. Ahmad, Abu Dawud dan Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabîr. Ini adalah redaksi Ahmad. Ibnu Khuzaimah dan Hakim menshahihkan hadis ini. Hakim berkata, "Ini adalah hadis shahih sesuai dengan syarat Syaikhain (Bukhari dan Muslim), tapi keduanya tidak meriwayatkannya. Hanya saja, Muslim meriwayatkan hadis serupa dari Abu Said mengenai shalat di atas tikar." Imam Dzahabi berkata, "Hadis ini sesuai dengan syarat Muslim.").

Hadis di atas, meskipun terdapat beberapa ulama yang mendhaifkan sanadnya, hanya saja ia telah terangkat kepada derajat hasan karena terdapat beberapa riwayat lain yang mempunyai makna serupa. Diantaranya adalah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad bin Hambal dari Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, apakah saya boleh shalat di atas karpet kulit?" Maka beliau pun menjawab, "Kalau tidak boleh, bagaimana nasib penyamak kulit itu?"

Syekh as-Sindi dalam Hasyiyah 'alâ al-Musnad menyatakatan, "Maksudnya adalah jika kamu tidak boleh shalat di atas karpet kulit, maka kegiatan menyamak kulit akan hilang, padahal tujuannya adalah untuk membersihkan kulit sehingga dapat digunakan untuk shalat di atasnya. Jika tidak boleh melakukan shalat di atas karpet kulit maka tidak ada gunanya lagi menyamak kulit."

Al-Hafizh ath-Thuyuri (salah seorang ulama Hambali), dalam kitab ath-Thuyûriyyât, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. bahwa Rasulullah saw. melakukan shalat di atas permadani.

Kebolehan ini pun diriwayatkan dari sejumlah orang sahabat dan para ulama salaf. Mereka juga pernah melakukan shalat di atas alas yang tebal, seperti kasur, bantal untuk bersandar, bantal biasa, bantal tempat duduk penunggang binatang, permadani, bantal untuk pelana unta, permadani tebal, karpet kulit, pakaian kasar terbuat dari bulu, kain yang diletakkan di atas punggung hewan di bawah pelana, kain tebal dari bahan wol dan lain sebagainya.

Imam Abu Bakar Ibnu Abi Syaibah, dalam al-Mushannaf, dalam bab mengenai orang sakit yang melakukan sujud di atas bantal untuk tidur atau untuk menyandar, meriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a., dia berkata, "Orang sakit boleh melakukan sujud di atas bantal dan pakaian yang bersih."

Diriwayatkan dari Ummu Salamah bahwa ketika dia sakit radang mata, dia melakukan shalat di atas bantal kulit. Anas bin Malik r.a. juga pernah bersujud di atas bantal yang digunakan untuk menyandar. Sedangkan Abu Aliyah, ketika sakit dia bersujud di atas bantal yang disiapkan untuknya. Begitu juga Hasan al-Bashri, dia membolehkan seseorang bersujud di atas bantal ketika berada di atas kapal laut.

Adapun mengenai shalat di atas kasur, maka diriwayatkan bahwa Anas r.a. pernah shalat di atas kasurnya. Begitu juga Thawus yang melakukan itu ketika sakit.

Ibnu Abi Syaibah juga menyebutkan riwayat mengenai shalat di atas pakaian kasar dari bulu. Hal ini diriwayatkan dari Ali, Jabir, Abu Darda`, Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhum. Sedangkan dari kalangan tabi'in diriwayatkan dari Umar bin Abdul Aziz bahwa dia membolehkan shalat di atas pakaian yang terbuat dari bahan kasar. Namun, sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Aswad dan para sahabatnya tidak menyukai shalat di atas permadani, karpet kulit dan kain dari bahan kasar.

Mengenai masalah shalat di atas permadani, diriwayatkan dari Abu Darda` bahwa dia berkata, "Saya tidak peduli jika saya shalat di atas tumpukan enam permadani." Said bin Jubair berkata, "Ibnu Abbas melakukan shalat Magrib bersama kami di atas permadani yang menutupi seluruh lantai rumah."

Abdullah bin 'Ammar berkata, "Saya melihat Umar melakukan shalat di atas permadani tebal." Hasan Bashri berkata, "Tidak apa-apa shalat di atas permadani." Diriwayatkan pula dari Hasan Bashri bahwa dia pernah melakukan shalat di atas permadani. Kedua kaki dan lututnya di atas permadani tersebut sedangkan wajahnya berada di tanah atau di tikar bambu. Diriwayatkan juga dari Qais bin Abbad al-Qaisi bahwa dia pernah melakukan shalat di atas kain yang terbuat dari wol. Hal itu juga diriwayatkan dari Murrah al-Himdani.

Adapun tentang shalat di atas alas kulit, maka diriwayatkan dari Masruq bahwa dia menyembelih hewan kurban lalu menyamaknya dan memakainya sebagai alas untuk shalat. Hal ini juga diriwayatkan dari Alqamah. Abdurrahman bin Aswad juga melakukan shalat di rumahnya di atas alas yang terbuat dari kulit domba, sehingga bulu-bulunya muncul di sela-sela kedua kakinnya. Sedangkan diriwayatkan dari Aswad dan para sahabatnya bahwa mereka tidak menyukai shalat di atas alas kulit.

Dalam al-Muhallâ, Ibnu Hazm berkata, "Permasalahan: melakukan shalat di atas kulit adalah boleh. Begitu juga boleh shalat di atas wol dan semua benda yang boleh diduduki jika dia suci. Seorang perempuan boleh melakukan shalat di atas kain sutra. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Syafi'i, Abu Sulaiman dan lainnya. Atha` berkata, "Tidak boleh shalat kecuali di atas tanah dan pasir." Malik berkata, "Hukumnya makruh melakukan shalat di atas alas yang terbuat dari selain unsur bumi atau tanaman yang ditumbuhkannya." Ali (Ibnu Hazm) berkata, "Pendapat ini tidak mempunyai dalil yang membenarkannya. Diwajibkan sujud dengan tujuh anggota tubuh, yaitu kedua kaki, kedua lutut, kedua tangan, dahi dan hidung. Malik membolehkan meletakkan semua anggota ini –selain dahi— di atas semua hal yang saya sebutkan di muka. Apa yang membedakan antara dahi dengan anggota tubuh yang lain? Tidak ada dalil yang membedakan semua itu, baik dari Alquran, Sunnah yang shahih ataupun yang tidak, ijmak, kiyas, perkataan sahabat maupun ulama. Kami telah meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud bahwa dia melakukan shalat di atas pakaian kasar yang terbuat dari bulu, Umar pernah melakukan sujud di atas alas yang terbuat dari wol, Ibnu Abbas bersujud di atas permadani dari wol, begitu juga Abu Darda`. Pendapat Malik ini juga disetujui oleh Syuraih, Zuhri dan Hasan. Sedangkan pendapat yang kami pilih maka tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat radhiyallahu 'anhum yang menentangnya."

Para fuqaha dari mazhab-mazhab yang diikuti memberikan syarat mengenai tempat sujud yaitu berupa tempat keras yang dapat membuat dahi orang yang shalat menempel dengan baik di bumi.

Pada mazhab Hanafi, Imam Sarkahsi dalam al-Mabsûth menyatakan, "Tidak apa-apa shalat di atas salju jika dahinya dapat menempel dengan baik ketika melakukan sujud." Maksudnya adalah hendaknya tempat sujudnya tersebut keras, karena dengan demikian dahinya tersebut terasa menempel di tanah. Tapi, jika permukaannya tidak keras sehingga tidak menempel di tanah, maka tidak sah, karena itu seperti melakukan sujud di udara. Dengan demikian, jika seseorang sujud di atas rumput atau kapas jika dahinya terasa menempel di tanah, maka sujud tersebut sah, jika tidak maka tidak sah. Begitu juga, jika shalat di atas permadani yang diisi sesuatu, maka shalat itu akan sah jika tempat sujudnya kempal, kecuali menurut Malik. Diriwayatkan dari beberapa orang sahabat bahwa mereka berkata, "Saya tidak peduli jika shalat di atas sepuluh permadani atau lebih."

Dalam kitab Badâi' ash-Shanâi', al-Kasani berkata, "Jika seseorang melakukan sujud di atas rumput atau kapuk lalu dahinya masuk ke dalam sehingga merasakan permukaan tanah maka shalatnya sah. Jika tidak maka tidak sah. Begitu juga, jika dia shalat di atas permadani tebal, maka shalatnya sah jika permukaannya keras. Begitu juga, shalat di atas salju jika permukaannya keras, jika tidak maka tidak sah."

Imam Kamal bin Humam, dalam Fath al-Qadîr, menyatakan: "Seseorang boleh melakukan sujud di atas rumput, jerami, kapas dan permadani jika dia merasakan permukaan bumi. Begitu juga, boleh shalat di atas salju yang keras. Jika dia telah membenamkan kepalanya ke dalam benda-benda tadi tapi tidak merasakan permukaan tanah, maka tidak sah. Begitu juga, bersujud di atas gerobak yang menempel di tanah, sebagaimana halnya ranjang. Dan tidak sah jika gerobak itu berada di atas sapi, seperti kain yang diikat di antara beberapa pohon. Boleh juga bersujud di atas 'irzal dan gandum, tapi tidak boleh di atas jewawut dan beras karena tidak tetap."

Dalam al-Fatâwâ al-Hindiyyah disebutkan: "Jika seseorang bersujud di atas rumput, jerami, permadani atau salju, lalu dahi dan hidungnya stabil serta merasakan permukaan bumi, maka dibolehkan. Jika tidak maka tidak boleh."

Ibnu 'Abidin, dalam al-Hasyiyah, ketika menjelaskan perkataan asy-Syaranbalali, "Syarat sujud adalah menetapnya dahi," menyatakan, "Kata "syarat sujud" adalah subyek (al-mubtada`). Sedangkan kata "adalah menetapnya" merupakan prediket (al-khabar). Kata "dahi", maksudnya seseorang diharuskan bersujud di atas sesuatu yang dapat dia rasakan permukaannya. Sehingga, jika orang yang bersujud itu ingin terus membenamkan kepalanya, dia tidak dapat membenamkannya lebih dalam lagi dari yang dia lakukan saat itu. Dengan demikian, tidak boleh bersujud di atas benda seperti beras dan jagung, kecuali jika berada di dalam karung. Tidak boleh juga bersujud di atas kapas, salju dan kasur kecuali jika dia merasakan permukaan lantai."

Dia juga mengatakan, "Maksud merasakan permukaan lantai adalah bahwa orang yang bersujud jika terus membenamkan kepalanya, dia tidak akan dapat menambah lebih dalam dari keadaannya itu. Dengan demikian, boleh shalat dengan bersujud di atas permadani, tikar, gandum, ranjang dan gerobak jika menempel di tanah. Tetapi, tidak sah shalat dengan bersujud di atas tandu yang ada di atas punggung hewan, kain yang terbentang antara beberapa pohon serta beras dan jagung kecuali jika ada dalam karung. Begitu juga, tidak boleh bersujud di atas salju jika tidak keras, sehingga jika seseorang membenamkan kepalanya dia tidak dapat merasakan permukaan tanah. Begitu juga, tidak boleh pada rumput kecuali jika merasakan permukaan tanah. Dari sini dipahami kebolehan memakai pakaian yang terbuat dari kapas jika dia merasakan permukaan bumi."

Pengarang Marâqî al-Falâh mengatakan, "Salah satu syarat sujud adalah melakukannya di atas sesuatu yang dapat dirasakan permukaannya, dimana dia tidak dapat terus membenamkan kepalanya lebih dalam dari posisinya itu. Dengan demikian, tidak boleh melakukan sujud di atas kapas, salju, jerami, beras, jagung dan biji rami. Sedangkan gandum maka dahi seseorang dapat stabil di atasnya sehingga boleh sujud di atasnya, karena bijinya saling menguatkan disebabkan sifatnya yang kasar dan saling menguatkan."

Menjelaskan pernyataan pengarang Marâqî al-Falâh di atas, ath-Thahawi dalam al-Hâsyiyah 'alâ Marâqî al-Falâh, mengatakan, "Maksud permukaan alas adalah permukaannya yang keras, sebagaimana disebutkan dalam al-Fath. Begitu juga yang serupa dengan itu seperti ranjang, gerobak yang diletakkan di atas di tanah. Sedangkan maksud larangan bersujud di atas kapas adalah jika tidak merasakan permukaan yang keras. Begitu juga setiap benda yang diisi kapuk, seperti kasur dan bantal. Sedangkan larangan besujud di atas beras dan jagung adalah karena permukaan benda tersebut halus dan bentuknya keras sehingga tidak dapat diam (selalu bergerak) yang mengakibatkan dahi seseorang terus bergerak masuk ke dalam tanpa terhenti pada permukaan yang diam. Kecuali jika benda tersebut diletakkan disebuah wadah tertentu."

Shalat dengan bersujud di atas permadani dan sejenisnya, menurut mazhab Maliki, adalah makruh jika tidak digunakan oleh masjid atau tidak ada keperluan untuk melakukan hal tersebut. Jika terdapat alasan tersebut, maka tidak ada kemakruhan sama sekali.

Syekh ad-Dardir dalam asy-Syarh al-Kabîr mengatakan, "Hukumnya makruh bersujud di atas pakaian atau karpet yang tidak digunakan untuk menutupi lantai masjid. Sedangkan bersujud di atas tikar yang tidak mewah maka tidak makruh, tapi jika tidak melakukannya maka lebih baik. Sedangkan jika tikar itu lembut, maka hukumnya makruh."

Dalam Hâsyiyah atas kitab ini, Syekh Dasuqi menjelaskan, "Maksud bahwa alas shalat tersebut tidak digunakan untuk masjid adalah tidak adanya keperluan untuk menggunakan karpet tersebut karena suhu panas atau dingin atau kasarnya lantai tempat bersujud. Jika tidak ada alasan-alasan tersebut, maka tidak makruh bersujud di atasnya. Sebagaimana tidak makruh bersujud di atas karpet masjid, baik karpet tersebut merupakan wakaf, hasil dari barang wakaf atau dari orang lain yang menjadikan karpet tersebut seperti wakaf untuk masjid."

Adapun dalam mazhab Syafi'i, maka Imam Syafi'i radhiyallahu 'anhu dalam kitab al-Umm pada Bab "Pakaian dan Karpet untuk Shalat," berkata, "Rasulullah saw. melakukan shalat di atas namirah. Namirah adalah tikar yang terbuat dari wol. Sehingga, tidak apa-apa shalat dengan memakai wol, bulu dan bulu unta atau menjadikannya sebagai alas shalat. Rasulullah saw. bersabda,

"Kulit apa saja yang telah disamak maka ia suci."

Dan tidak apa-apa pula melakukan shalat dengan memakai kulit yang telah disamak baik berasal dari bangkai, binatang buas ataupun setiap sesuatu yang mempunyai ruh kecuali anjing dan babi. Dan boleh melakukan shalat dengan memakai kulit binatang yang disembelih dan boleh dimakan dagingnya meskipun kulit itu tidak disamak." Demikian penjelasan Imam Syafi'i.

Imam Nawawi dalam al-Majmû' menyatakan, "Jika seseorang bersujud di atas kapas, rumput atau sesuatu yang diisi dengan kedua benda tersebut, maka dia harus menekan kepalanya sehingga terbenam di dalamnya dan merasakan tangannya jika tangan orang itu diletakkan di bawah benda tersebut. Jika orang tersebut tidak melakukannya maka shalatnya tidak sah. Imam Haramain berkata, "Menurut saya orang tersebut cukup meletakkan kepalanya saja tanpa perlu menekannya, sebagaimana yang diharuskan dalam gerakan sujud." Pendapat yang diambil oleh mazhab adalah yang pertama. Dan ini pulalah yang ditegaskan oleh Syekh Abu Muhammad al-Juwaini dan pengarang kitab at-Tatimmah serta at-Tahdzîb."

Dalam Mughnî al-Muhtâj, al-Khatib asy-Syarbini mengatakan, "Hendaknya berat kepala orang yang bersujud mengenai tempat sujudnya. Hal ini sesuai dengan hadis yang telah disebutkan,

"Jika kamu bersujud, maka mantapkan dahimu."

Maksud berat kepala orang yang bersujud adalah hendaknya dia menekan kepalanya sehingga jika terdapat kapas atau rumput maka kepalanya akan terbenam dan dia dapat merasakan tangannya jika dia letakkan di bawah kapas atau rumput tersebut. Imam Haramain berpendapat bahwa meletakkan kepala saja sudah cukup. Dia menyatakan bahwa itu lebih dekat dengan sikap tawadhu daripada memaksakan menekan kepala."

Dalam mazhab Hambali, Ibnu Taimiyah berkata dalam al-Fatâwâ al-Kubrâ, "Tidak ada perbedaan antara para ulama mengenai kebolehan melakukan shalat dan sujud di atas kasur jika terbuat dari unsur bumi, seperti tikar dan sejenisnya. Namun, mereka berselisih mengenai kemakruhan melakukannya di atas sesuatu yang tidak berasal dari unsur bumi, seperti karpet dari kulit ternak dan karpet yang dibuat dari wol. Sebagian besar ulama memberi keringanan dalam hal ini. Ini adalah pendapat ulama hadis seperti Imam Syafi'i dan Imam Ahmad, serta pendapat para ulama Kufah seperti Imam Abu Hanifah dan lainnya. Mereka juga mendasarkan pendapat tersebut pada hadis Aisyah. Karena, kasur (al-firâsy) yang disebutkan dalam hadis tersebut tidak berasal dari unsur bumi, tapi dari kulit atau wol."

Al-Mardawi dalam al-Inshâf mengatakan, "Para sahabat (ulama Hambali) mengatakan, "Jika seseorang bersujud di atas rumput, kapas, salju atau pakaian dan sejenisnya, tapi orang itu tidak merasakan permukaannya maka tidak sah sujudnya tersebut. Karena tidak terdapat tempat yang tetap (tidak bergerak)."

Dalam Kasysyâf al-Qinâ', al-Buhuti menyatakan, "Hukumnya sah melakukan shalat di atas salju, baik dengan alas atau tidak, jika dia merasakan permukaan. Karena anggota sujudnya telah mendapatkan tempat dengan sempurna. Begitu juga sah melakukannya di atas rumput dan kapas jika dia merasakan permukaan. Jika dia tidak merasakan permukaan itu, maka tidak sah shalatnya karena dahinya tidak diam di tempat."

Dengan demikian, berdasarkan pertanyaan di atas, kasur tipis yang kalian buat itu boleh digunakan sebagai alas untuk shalat. Tidak ada keharaman sama sekali menurut para ulama Ahlus Sunnah termasuk ulama Mazhab Empat. Karena kasur itu tidak terlalu tebal sehingga tidak mengakibatkan dahi seseorang bergerak dan dia dapat merasakan permukaan tanah ketika sujud. Hal itupun tidak dianggap makruh dalam mazhab Maliki, karena hukum makruh tersebut, menurut mereka, jika karpet tersebut digunakan karena tidak ada keperluan atau tidak digunakan oleh masjid. Kedua hal itu ada dalam masalah ini.

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Hukum Shalat di Atas Kasur"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!