Al-Fatawa Al-Islamiyyah Min Dar Al-Ifta, Kodifikasi Fatwa Mesir
Seiring
dengan perkembangan zaman dan tuntutan kondisi, berbagai persoalan entah klise
ataupun baru, selalu muncul di tengah-tengah masyarakat.
Umat
Islam kerap dihadapkan pada kegamangan, setiap kali perubahan zaman terjadi.
Tak heran jika selalu muncul pertanyaan, apakah perubahan itu sesuai dengan
syariat Islam?
Guna
menjawab kegamangan itu, umat membutuhkan sebuah fatwa dari para ulama. Fatwa
ibarat setetes air di saat dahaga. Fatwa dari sosok alim dianggap menjadi
jawaban yang memberikan jaminan ketenangan dan keyakinan, terutama jika
ditinjau dari aspek syariatnya.
Sedangkan
tradisi saling bertanya dan memberikan fatwa dalam agama Islam menjadi praktik
budaya ilmiah yang tetap terpelihara. Tradisi fatwa tidak hanya dikenal di
kalangan salaf (ulama terdahulu). Para ulama masa kini juga menggunakan konsep
fatwa sebagai metode untuk mengeksplor perspektif syariah dalam menyikapi ragam
problematika yang ada.
Kedudukan
fatwa, sebagaimana ditegaskan oleh An-Nawawi dalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al
Muhaddzab, sangat krusial dan mempunyai keistimewaan. Faktor otoritas ulama
sebagai mufti dan pewaris para nabi lebih memengaruhi kedudukan tersebut.
Berangkat
dari fakta inilah, seorang mufti, oleh Hashkafi seperti tertulis dalam kitabnya
Ad-Durr Al-Mukhtarbukanlah figur yang dikenal kefasikannya. Independensi dan
kredibilitas mufti adalah syarat mutlak bagi akseptabilitas fatwa.
Mereka
yang dikenal fasik dengan sendirinya tak memiliki otoritas mengeluarkan fatwa.
Menurut sejumlah kalangan, bahkan mereka yang terkenal fasik haram mengeluarkan
fatwa. Kriteria seperti ini tampaknya menjadi bukti kuat akan bobot fatwa yang
dikeluarkan.
Di
Mesir, eksistensi lembaga fatwa Dar Al-Ifta memiliki posisi strategis.
Komposisi mereka yang tergabung dalam lembaga itu mempunyai kompetensi dan
kapasitas penguasaan ilmu syariah. Fatwa-fatwa yang dikeluarkan lembaga itu
kerap dijadikan referensi utama bagi umat Islam.
Kodifikasi
fatwa yang pernah dikeluarkan Dar Al-Ifta oleh pemerintah setempat diadopsi
dalam banyak kebijakan mereka. Walaupun jika ditinjau dari aspek syariahnya,
berbeda dengan legalitas keputusan seorang hakim, legalitas fatwa yang
disimpulkan oleh mufti itu sendiri pada dasarnya tidak mengikat.
Fungsi
fatwa pada prinsipnya bukanlah hukum ataupun putusan yang mengikat dan lazim
dilaksanakan. Sebab, fatwa merupakan reaksi dan jawaban atas pertanyaan terkait
hukum permasalahan tertentu. Fatwa tak ubahnya informasi dari seorang penjawab
kepada pihak yang bertanya.
Namun
demikian, fatwa bisa mengikat dalam kondisi tertentu antara lain berkaitan dengan
aplikasi hukum syariah. Misalnya, fatwa-fatwa menyangkut pernikahan dan
konsekuensi hukum sebagai dampak pernikahan tersebut.
Dokumentasi
fatwa
Kitab Al-Fatawa mendokumentasikan
secara apik berbagai fatwa para mufti resmi di lembaga itu. Tidak keseluruhan
fatwa mufti dikodifikasi dalam kitab Al-Fatawa.
Al-Fatawa
hanya mengumpulkan fatwa-fatwa yang dikeluarkan, antara lain, dari Syekh
Muhammad Abduh, Hasunah An-Nawawi, Abdul Majid Salim, Abdurrahman Qara’ah,
Muhammad Bakhits, Hasanin Makhluf, dan Hasan Ma’mun.
Kitab
ini berhasil dicetak dan diterbitkan ketika Presiden Mesir, Anwar Sadat,
tepatnya pada tahun 1980. Kendati pada awalnya, proses pencetakannya sempat menghadapi
kendala minimnya dana. Kondisi ini berimbas pada keterlambatan dan penundaan
penerbitannya.
Kitab
ini terdiri dari 20 jilid. Sistematika penyusunan fatwa dilakukan secara acak.
Tidak terdapat kategorisasi fatwa berdasarkan topik atau tema tertentu,
misalnya, fatwa-fatwa yang berkenaan dengan akidah, ibadah, ataupun muamalat.
Tagline
penyusunan fatwa berdasarkan intisari pertanyaan yang disuguhkan. Fatwa-fatwa
itu kemudian dikelompokkan berdasarkan kesamaan topik yang dipertanyakan.
Kaidah umum terkait persoalan tersebut disertakan untuk lebih memudahkan
pemahaman para pembaca.
Pertanyaan
disertakan secara utuh di dalam Al-Fatawa dan dilengkapi dengan inti
pertanyaan. Informasi tentang siapakah mufti yang mengeluarkan fatwa
disertakan. Termasuk pula data terkait kapankah mufti yang bersangkutan
merespons istifta yang ditujukan kepadanya.
Fatwa
Alquran
Istifta
tentang ragam persoalan terkait Alquran dan mushafnya tercatat pada jilid
pertama. Permintaan fatwa itu antara lain seputar hukum mencetak Alquran dengan
ukuran mini. Pertanyaan ini berkaitan pula dengan hukum menulis Alquran dengan
khat yang serba minimalis. Fatwa itu direspons oleh salah satu Mufti Dar
Al-Ifta, Mesir, Syekh Bakari Ash-Shadafi. Tepatnya pada bulan Zulqaidah, 1325
H.
Menurutnya,
para ulama menyatakan hukum mencetak mushaf atau menulis Alquran dengan ukuran
mini adalah makruh. Tetapi, tingkat kemakruhannya tidak sampai pada makruh
tahrim, mendekati keharaman. Mencetak atau menulis Alquran dengan model seperti
itu hukumnya hanya makruh tanzih. Apabila tidak dilakukan, akan lebih utama.
Sekalipun, kalau hal itu dilanggar, tidak berdampak kepada konsekuensi sanksi
apa pun.
Syekh
Bakari juga menjawab pertanyaan lainnya tentang hukum menyimpan Alquran di
rumah, tanpa membaca atau menelaahnya.
"Jika
tujuan menyimpan itu sebatas hendak mencari berkah. Apakah hal itu
diperbolehkan. Jika tidak, lantas apakah tindakan tersebut bisa menyebabkan si
pelaku berdosa?"
Dalam
pandangannya, mereka yang menyimpan Alquran tanpa bermaksud membaca, melainkan
untuk tujuan mencari keberkahan, maka tidak dikategorikan berdosa.
Bahkan,
diharapkan sebaliknya, niat baik tersebut akan diganjar pahala. Sebagaimana
halnya aktivitas lainnya seperti jual beli, sekalipun kondisi belum
memungkinkan untuk membaca Alquran, pengharapan atas kebaikan dan pahala tak
dapat dinafikan.
Namun
demikian, aktivitas apa pun yang ditujukan terhadap Alquran tak boleh mengubah
dan mengganti kesucian dan kemurnian Alquran.
Di
kesempatan lain, tepatnya pada bulan Zulhijjah, 1335 H, Syekh Bakar menjawab
pula pertanyaan seputar hukum menerjemahkan atau menyadur Alquran ke bahasa
lain. Menurutnya, menerjemahkan Alquran ke bahasa lain diperbolehkan.
Tetapi,
jika menulis ayat-ayat Alquran dengan bahasa lain secara keseluruhan, hukumnya
tidak boleh. Apabila penulisan hanya dilakukan satu atau dua ayat, tak jadi
soal. Pendapat ini dinukil dari kitab Ad-Dur Al-Muhktar karangan
Hashkafi.
Sumber:
-http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/04/30/m39kex-alfatawa-alislamiyyah-min-dar-alifta-kodifikasi-fatwa-mesir-1
-http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/04/30/m39lic-alfatawa-alislamiyyah-min-dar-alifta-kodifikasi-fatwa-mesir-2
-http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/04/30/m39m1u-alfatawa-alislamiyyah-min-dar-alifta-kodifikasi-fatwa-mesir-3habis
0 Response to "Al-Fatawa Al-Islamiyyah Min Dar Al-Ifta, Kodifikasi Fatwa Mesir"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!