Nikah Beda Agama Bukan Hak Asasi
Meski
telah difatwakan sebagai perkara yang haram, pernikahan beda agama memiliki
sejumlah pendukung yang terus mendengungkan suaranya. Tak jarang, hal itu
ditempatkan dalam koridor demokrasi dan HAM.
Menanggapi
fenomena tersebut, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Prof
Dr H Hasanuddin AF, mengaku tak ingin memberikan reaksi berlebihan. Fatwa MUI,
katanya, dibuat untuk menyejahterakan kehidupan bernegara. “Terlebih, kita
adalah negara yang berketuhanan. Tanpa menaati tuntunan agama, Indonesia akan
amburadul,” katanya.
Guru
besar Fakultas Syariah UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, itu menegaskan,
pendidikan agama adalah hal signifikan yang dapat menjawab persoalan tersebut
pada masa yang akan datang. Terkait pernikahan beda agama ini, ketua Komisi
Fatwa MUI periode 2010-2015 menjelaskannya secara lebih detail dalam
perbincangan dengan wartawan Republika, Devi Anggraini Oktavika.
Berikut petikannya.
Menurut
Anda, bagaimana menyikapi seruan segelintir orang untuk menyosialisasikan
pernikahan beda agama?
MUI
sudah secara jelas mengeluarkan fatwa haram bagi pernikahan beda agama. Fatwa
itu berlaku, baik bagi perempuan maupun laki-laki Muslim, tanpa membedakan
apakah yang ahli kitab (non-Muslim) itu pihak perempuan ataupun pihak
laki-laki, pernikahan beda agama haram hukumnya.
Penetapan
itu telah mempertimbangkan manfaat dan mudharatnya berdasarkan Alquran dan juga
sunah Rasul. MUI sepakat, mudharat pernikahan beda agama lebih banyak daripada
manfaatnya. Jika kemudian muncul pihak-pihak yang berpendapat lain dan
menyerukan dukungan bagi pernikahan beda agama, itu hak mereka.
Tidak
ada sikap khusus selain menanggapinya sebagai hak berpendapat?
Berbicara
tentang sikap atas isu ini maka kita berbicara tentang moral karena ini
berkaitan dengan ketentuan agama. Bagi saya, tidak terlalu mengherankan ketika
manusia melanggar fatwa ulama. Undang-undang pun dan bahkan tuntunan agama pun
banyak yang tidak ditaati.
Imbauan
bisa saja diberikan, tapi efeknya tentu kembali pada masing-masing individu.
Yang terpenting adalah memahami dengan baik esensi pernikahan. Harus dipahami
bahwa nikah itu pada dasarnya ibadah. Di dalamnya tercakup tugas menyiapkan
generasi masa depan Islam yang dihasilkan dari pernikahan tadi.
Jika
kemudian muncul konsep bahwa menikah adalah wujud cinta, itu adalah pemahaman
yang dangkal. Islam itu luas. Semua ketentuan dan tuntunan dalam Alquran dan
sunah Rasul adalah untuk kepentingan dan kebaikan manusia sendiri. Coba, apa
kepentingan Allah membuat banyak aturan dalam Alquran? Tidak ada.
Apa
imbauan bagi masyarakat, terutama menyikapi ‘penghalalan’ pernikahan beda agama
ini?
Menurut
saya, fatwa sudah cukup, yang lebih menyentuh pada filosofi dari Islam itu
sendiri. Ayat 221 dari surah al-Baqarah sudah menyebutkan secara tegas, “Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang-orang musyrik (dengan
wanita-wanita mukmin) sebelum me reka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke
neraka sedangkan Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”
Nah,
kembali pada persoalan pernikahan tersebut, fatwa MUI dikeluarkan dengan tujuan
menyejahterakan kehidupan bernegara. Dari pernikah an, akan lahir anak-anak
sebagai keturunan dari pasangan yang menikah, yakni suami dan istri. Jika ayah
dan ibu berbeda agama maka sesungguhnya keduanya mengorbankan pendidikan agama
bagi si anak.
Bayangkan
ketika kemudian sang anak melihat ibunya ke gereja dan melihat ayahnya ke
masjid atau sebaliknya. Anak-anak yang tumbuh d ngan keadaan seperti itu akan
memiliki landasan agama yang lemah. Dan itu akan memberikan dampak yang jauh
lebih besar pada masa yang akan datang ketika si anak tumbuh dewasa tanpa bekal
agama yang mantap.
Dalam
sebuah sunah Rasul yang diriwayatkan Imam Bukhari, Rasulullah SAW mengatakan
bahwa “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang
akan menjadikannya Yahudi, Majusi, atau Nasrani.” Dari sini, kita bisa melihat
betapa esensialnya pernikahan dalam menentukan masa depan generasi Islam.
Ketika
pernikahan beda agama diposisikan sebagai hak yang harus dihargai, apa yang
Anda lihat di balik fakta tersebut?
Ini
gejala perang budaya. Masyarakat semakin permisif terhadap hal-hal yang jauh
dari budaya timur. Pergaulan bebas adalah contoh dari sikap permisif tersebut,
juga pornografi dan pornoaksi. Akibatnya, negara bisa semakin amburadul.
Selain
itu, ketika berbicara tentang demokrasi atau hak asasi, kita perlu
mempertanyakan, “Demokrasi seperti apa yang kita bangun? Dan hak asasi siapakah
yang kita junjung dan perjuangkan?”
Dalam
memperoleh haknya, manusia diharuskan menghargai hak asasi manusia lainnya,
bukan?
Maka,
pemenuhan hak asasi tentu tidak diperkenankan jika ia merugikan orang lain. Itu
baru dari hubungan kemanusiaan. Bagaimana dengan hubungan ketuhanan?
Kita
berhak atas oksigen yang kita hirup setiap waktu. Dari siapa itu? Ini persoalan
krusial, manusia sering mengutamakan hak asasinya atau berusaha memperjuangkan
hak asasi sesamanya, namun melupakan hak asasi Tuhan. Dari semua hal yang
diserahkan Tuhan kepada ma nusia untuk menjadi hak mereka, Tuhan punya hak
berupa ketentuan yang harus ditaati.
Jadi,
konsep demokrasi dan hak asasi tidak berlawanan dengan Islam jika tidak
mengesampingkan konsep ketuhanan?
Saya
rasa demikian. Jika sekarang demokrasi dan hak asasi yang banyak diserukan jauh
dari nilai-nilai Islam, itu karena manusianya. Manusialah yang menjadikan demo
krasi tidak Islami. Maka, pesan bagi umat Islam hanya satu, taati ajaran Allah
dan Rasul-Nya.
Apakah
longgarnya pernikahan beda agama ini karena kurang maksimalnya peran kaum alim
ulama?
Saya
tidak bisa mengatakan demikian. Namun, menurut saya, itu adalah salah satu
faktor di antara sejumlah faktor penyebab lainnya. Pe rang budaya adalah
kondisi yang tidak dapat dihindari sehingga ia adalah tantangan. Tantangan
bukan untuk dihindari, melainkan untuk dihadapi dengan cara memperkuat diri.
Dan itu hanya mungkin dengan fondasi agama.
Dengan
fondasi yang kuat, bangunan budaya dan keyakinan umat Islam akan mampu bertahan
meski di tengah terjangan perang budaya yang parah sekalipun. Dan sebaliknya,
tanpa itu, kita ibarat orang yang tidak dapat berbuat apa-apa ketika rumah atau
kamar kita dimasuki oleh orang asing.
Kaum
alim ulama dituntut untuk tidak hanya berkutat pada hal-hal terkait
keulamaannya. Forum-forum komunikasi ulama sudah ada, tinggal dimaksimalkan.
Dakwah dan syiar Islam di Indonesia memerlukan ma najemen dan konsep yang
matang, yang tentunya disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Saya
menyayangkan bahwa saat ini masih banyak dai yang belum mampu menyentuh hati
jamaah atau umatnya. Padahal, dakwah bertujuan menghasilkan perubahan pada umat
yang menjadi sasarannya. Dan niat serta langkah menuju perubahan tersebut
dimulai dari hati.
Apa
harapan Anda?
Pertama,
saya ingin menegaskan bahwa hal penting dalam kehidupan adalah agama. Karena itu,
pendidikan yang paling penting sebagai bekal kehidupan adalah pendidikan agama.
Kini, semakin banyak orang tua yang menyekolahkan anakanaknya di
sekolah-sekolah mahal bertaraf internasional, namun melupakan pendidikan agama
bagi mereka.
Yang
lebih penting lagi adalah lingkungan keluarga di mana orang tua mula-mula
men-setting pendidikan agama. Orang tua diharapkan memberikan teladan keagamaan
yang baik bagi anak-anaknya. Di sini, pernikahan beda agama tentu menyumbang
mudharat bagi pendidikan agama yang dibutuhkan oleh anak.
Kedua,
saya ingin mengingatkan umat Islam untuk tidak mengesam pingkan aspek ketuhanan
saat ber bicara demokrasi ataupun hak asasi. Sebagai bangsa berketuhanan, kita
akan menghancurkan negara kita sendiri jika terus-menerus berteriak tentang hak
asasi manusia dan melupakan hak asasi Tuhan. Dan sebagai umat Islam, kita akan
hancur jika terus menjauhi Alquran dan sunah Rasul.
Terakhir,
tentu saya berharap, para dai terus memaksimalkan fungsi dakwah mereka serta
meningkatkan kualitas dari dakwah itu sendiri melalui berbagai media, termasuk
media kreatif. Dengan manajemen yang terarah, dakwah diharapkan dapat terus
memenuhi tuntutan masya rakat dan serta tuntutan zaman.
Sumber:
-http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/04/29/m38exg-nikah-beda-agama-bukan-hak-asasi
0 Response to "Nikah Beda Agama Bukan Hak Asasi"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!