Isra' Mi'raj, Beranjak dari Kesedihan
Fasal tentang
isra' mi'raj (1)
Kehadiran
Rasulullah SAW mendakwahkan ajaran Islam rupanya membuat orang-orang musyrik
Makkah gerah. Rintangan dan teror ditujukan kepada beliau dan para pengikutnya
dari waktu ke waktu. Karena kedengkian dan kejahatan mereka, orang-orang
musyrik tak membiarkan Rasulullah dan para pengikutnya hidup tenang.
Namun pada tahun kedelapan dari kenabian, Rasulullah SAW justru mendapatkan
beberapa cobaan yang teramat berat. Ujian itu adalah embargo kaum kafir Quraisy
dan sekutunya terhadap umat Islam. Aksi embargo ini masih dijalankan meskipun
waktu telah memasuki bulan Haram. Artinya Nabi beserta para sahabatnya tetap
merasakan penganiayaan dan kedhaliman dari mereka yang biasanya menghentikan
segala aktivitas permusuhan terhadap lawan-lawannya.
Pada tahun ini pula dua orang kuat suku Qurays, yakni pamannya Abu Thalib dan
istrinya Khadijah dipanggil menghadap Sang Rabb. Mereka adalah dua orang yang
selama ini mendampingi dan melindungi dakwah Nabi. Dengan demikian, pada waktu
itu Nabi tiada lagi memiliki pembela yang cukup kuat di hadapan kaumnya sendiri
yang memusuhi kebenaran.
Lengkaplah sudah penderitaan Nabi dan para pengikutnya. Dalam sejarah Islam
tahun kedelapan dari kenabian ini disebut sebagai ’amul huzni, tahun
kesedihan.
Untuk menurunkan sedikit tensi kesedihan dan ketegangan, Rasulullah kemudian
mengijinkan para pengikutnya untuk berhijrah ke Thaif. Namun rupanya Bani
Tsaqif yang menguasai tanah Thaif tidaklah memberikan sambutan hangat kepada
para sahabatnya. Mereka yang datang meminta pertolongan justru diusir dan
dihinakan sedemikian rupa. Mereka dilempari batu hingga harus kembali dengan
kondisi berdarah-darah.
Keseluruhan cobaan berat ini dialami Rasulullah dan para sahabatnya pada tahun
yang sama, yakni tahun kedelapan kenabian.
Atas cobaan yang teramat berat dan bertubi-tubi ini, maka Allah SWT kemudian
memberikan “tiket perjalanan” isra’ mi’raj kepada Nabi untuk menyegarkan
kembali ghirroh (semangat) perjuangannya dalam menegakkan misi agama Islam.
Isra’ Mi’raj ini sejatinya adalah sebuah pesan kepada seluruh umat Muhammad
bahwa, segala macam cobaan yang seberat apa pun haruslah kita lihat sebagai
sebuah permulaan dari akan dianugerahkannya sebuah kemuliaan kepada kita.
Dalam peristiwa itu, tepatnya 27 Rajab, Nabi Muhammad SAW dapat saja langsung
menuju langit dari Makkah, namun Allah tetap membawanya dari Masjidil Haram
menuju Masjidil Aqsha terlebih dahulu, yang menjadi pusat peribadahan nabi-nabi
sebelumnya.
Ini dapat berarti bahwa umat Islam tidak memiliki larangan untuk berbuat baik
terhadap sesama manusia, sekalipun kepada golongan di luar Islam. Hal ini
dikarenakan, Islam menghargai peraturan-peraturan sebelum Islam, seperti halnya
khitan yang telah disyariatkan sejak zaman Nabi Ibrahim AS.
Allah SWT berfirman:
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ
الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِير
“Maha suci
Allah yang memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke
Majidil Aqsha yang Kami berkahi sekelilingnya agar Kami memperlihatkan
kepadanya sebahagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. (QS. 17.Al-Isra’ :1)
Sebagian ahli tafsir mengatakan, Allah SWT dalam ayat di atas menyebutkan
Muhammad SAW dengan kata “hamba” bukan “rasul” atau “nabi”. Bahwa yang dibawa
dalam perjalanan isra’ mi’raj itu adalah seorang hamba, yang berarti seorang
yang senantiasa menyembah dan mengabdi kepada Allah SWT.
Sumber: nu.or.id
0 Response to "Isra' Mi'raj, Beranjak dari Kesedihan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!