Fiqih Sirah


Fiqih Sirah
Fiqih berarti pemahaman, pengetahuan, kepandaian, kecerdasan. Sedangkan sirah adalah jalan, cara, mazhab, kisah, cerita, tingkah laku, riwayat hidup, dan bentuk. 

Jadi, Fiqih Sirah adalah suatu pemahaman, interpretasi, dan penghayatan terhadap jalan, cara, tingkah laku atau riwayat hidup (biografi) Nabi Muhammad SAW sejak lahir sampai akhir hayatnya, menyangkut peristiwa yang dialaminya secara langsung atau yang terjadi di sekitarnya yang terkait dengan kehidupannya.

Ruang lingkup kajian fikih shah mencakup segenap peristiwa yang dialami oleh Nabi Muhammad SAW, baik secara langsung atau tidak langsung, dalam berbagai aspek kehidupan, seperti dalam lapangan akhlak, dakwah, sosial, ekonomi, hukum, pendidikan, kebudayaan, dan sebagainya.

Segenap peristiwa itu dipelajari, dipahami, diinterpretasi, dan dihayati sehingga diperoleh suatu makna dan hikmah yang dapat dijadikan pegangan oleh kaum muslimin dalam kehidupannya.


Kaitan Fiqih Sirah dengan Ilmu Hadis dan Sejarah.
Kajian fikih shah mempunyai objek yang sama dengan kajian ilmu hadis (ulumul hadis), yang menjadikan fakta berupa perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi SAW sebagai objek kajian. Namun fikih sirah berbeda dengan ilmu hadis.

Fikih sirah merupakan pemahaman dan interpretasi terhadap perikehidupan Nabi Muhammad SAW yang mencakup segenap peristiwa yang diperankannya melalui perkataan, perbuatan, dan ketetapannya.

Dari sana dapat diambil suatu gambaran tentang perkataan, perbuatan, dan ketetapan itu untuk kemudian dapat diambil suatu pengertian dan hikmah yang akan dijadikan pegangan hidup oleh para pengikutnya.
Sedangkan ilmu hadis mempelajari perkataan, perbuatan, dan ketetapan itu dari sudut nilai kebenarannya, ditinjau dari sudut periwayat dan kandungannya. 

Perkataan, perbuatan, dan ketetapan yang dipandang paling benar disebut sahih dan yang diragukan kebenarannya disebut daif (lemah). 

Tujuan penilaian itu ialah untuk mengetahui sejauh mana hadis tersebut dapat diaplikasikan sebagai landasan ajaran Islam.

Dari perbedaan demikian jelas bahwa kajian fikih sirah lain dengan kajian ilmu hadis. Kendati demikian, antara keduanya terdapat kaitan yang erat, karena fikih sirah juga menggunakan hadis yang dinilai kebenarannya oleh para ahli hadis sebagai objek kajiannya. 

Kajian itu kemudian akan menghasilkan suatu pengertian yang dapat dijadikan pegangan oleh umat Islam.

Demikian pula dengan sejarah, yang menjadikan peristiwa yang dialami Nabi SAW sebagai salah satu objek kajiannya. Objek tersebut tidak berbeda dengan objek kajian fikih sirah. Akan tetapi, terdapat perbedaan antara fikih sfrah dan sejarah dari segi titik berat kajian masing-masing terhadap objek tersebut.

Sejarah lebih menitikberatkan kajiannya pada pemahaman dan interpretasi terhadap sebab suatu peristiwa dalam hidup Nabi Muhammad SAW serta kaitan antara berbagai peristiwa sehingga diperoleh suatu fenomena sejarah yang menggambarkan tokoh Nabi Muhammad SAW dan masyarakat yang melingkunginya.

Hal demikian berbeda dengan fikih sirah yang menitikberatkan kajiannya pada upaya untuk memahami, menginterpretasi, dan menghayati peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW untuk dijadikan pegangan hidup.

Dalam metode kajiannya, para penulis fikih sfrah berupaya mengkombinasikannya dengan metode ilmu hadis dan sejarah. Dari ilmu hadis, para penulis fikih sirah berupaya untuk mengambil metode penilaian terhadap suatu fakta yang dipandang berasal dari Nabi SAW.
Tidak jarang suatu peristiwa dipandang tidak layak untuk dijadikan pegangan karena dinilai tidak sahih dan tidak autentik. 

Ini dapat dilihat antara lain pada peristiwa yang mendahului perkawinan Nabi SAW dengan Zainab binti Jahsy. 

Disebutkan bahwa sebelum Nabi SAW menikah dengan Zainab. Nabi SAW telah memendam cinta kepadanya. Namun perasaan itu tidak diungkapkannya, karena Zainab masih terikat perkawinan dengan Zaid bin Harisah. 

Cinta itu makin berkembang ketika Nabi SAW tanpa sengaja melihat Zainab dalam pakaian tipis saat ia berkunjung ke rumah Zaid.

Kisah seperti ini dipandang oleh segenap penulis fikih sirah sebagai kisah palsu yang tidak memiliki sanad (silsilah periwayat yang jelas). 

Muhammad Al-Ghazali (ulama Mesir kontemporer penulis fikih sirah) membantah dengan tegas kisah-kisah palsu yang sengaja dimasukkan oleh nonmuslim dalam peristiwa perkawinan Nabi SAW dengan Zainab. Ia mengatakan upaya memasukkan kisah seperti itu dalam peristiwa perkawinan itu sebagai usaha memutarbalikkan kebenaran dengan kebatilan.

Disamping menerima metode ilmu hadis, para penulis fikih sirah juga memakai metode sejarah dalam memahami dan menginterpretasi suatu peristiwa. Hal demikian dilakukan karena berbagai peristiwa yang dialami Nabi SAW tidak terlepas dari proses sebab akibat yang satu sama lain mempunyai kaitan erat.

Ini dapat dilihat pada peristiwa Perang Uhud (3 H), yang terkait erat dengan peristiwa Perang Badar (2 H) sebelumnya. Terjadinya Perang Uhud tidak terlepas dari adanya dendam mendalam yang dirasakan para pemuka suku Quraisy ketika mereka kalah dari pasukan muslim di Lembah Badar. Keterkaitan dua peristiwa tersebut disepakati oleh para penulis fikih sirah sesuai dengan konteks kejadian yang dikemukakan dalam sejarah.

Sumber: www.repulika.co.id

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Fiqih Sirah"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!