Penyelundupan Menurut Hukum Pidana Indonesia
Kebijakan-kebijakan pemerintah baik berupa kelonggaran-kelonggaran serta larangan impor barang tertentu dalam rangka melindungi industri dalam negeri maupun kibijaksanaan perindstrian atau perdagangan tertentu memerlukan kecermatan dalam pengendalian dan pengawasan untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan atau penyelundupan.
Terhadap tindak pidana ekonomi atau penyelundupan “tampak belum memasyarakat sehingga pemanfaatan Undang-Undang Nomor 10/1995 yang memungkinkan peraturan tertentu dapat mempergunakan sanksi tindak pidana ekonomi yang cukup berat masih langkah.
Tindak pidana ekonomi diatur dengan undang-undang darurat Nomor 10 Tahun 1995 tentang pengusutan, dan penuntutan tindak pidana ekonomi yang mulai berlaku pada tanggal 13 Mei 1955, undang-undang darurat tersebut undang-undang Nomor: 10/1995.
Berdasarkan penjelasan resmi UU No. 10/1995. maka dapat diketahui sifat-sifat tindak pidana ekonomi antara lain;
1. Praktek jahat para perdagangan, penjelasan resmi undang undang No; 10/1995 antara lain memuat: "Dalam banyak kalangan, banyak anasir-anasir yang tidak menghentukan praktek yang jahat itu selama mereka masih mempunyai kesempatan untuk berbuat demikian.”
Hal ini lebih mudah dipahami dengan pengetahuan bahwa kalangan pedagang berupaya secara maksimal untuk memperoleh keuntungan atau laba sebesar-besarnya, kadang-kadang lupa akan etika bahkan berupaya melanggar peraturan-peraturan. Mereka tanpa kepeduliannya terhadap kepentingan umum. Hal yang demikian telah wajar jika dikatagorikan sebagai praktek jahat.
2. Mengancam atau merugikan aspek kepintingam umum.
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 10/1995 antara lain memuat: "Mengancam dan merugikan kepentingan-kepentingan yang sangat gecomp atau nceerd” dalam kamus gecompl ceerd adalah rumet, kalut, rumit.
3. Anggapan mencari untung sebasar-besarnya merupakn kalkulasi perhitungan usaha bukan kejahatan.
Sementara itu, jika melihat kembali Rechten Ordonantie pada saat sekarang ini, maka itu bisa disebut dan dikenal dengan nama Ordinasi Bea yang telah ada semenjak tahun 1882, telah diundangkan di dalam staatblad 1882 : 240 yang kemudian denga staatblad 1931 : 471 telah di undangkan kembali. Ordinasi Bea selama ini telah mengalami beberapa kali perubahan dan penambahan sampai pada akhirnya telah dimasukan dalam Undang-undang Nomor 10/1995 tentang pengusutan, penuntutan dan peradilan tindak pidana ekonomi, sehingga dengan demikian tindak pidana yang terdapat didalam ordinasi bea telah dikualifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi.
Dengan merujuk pada tahun diundangkannya Recchten Ordinasi berarti tindak pidana penyelundupan dengan segala aspeknya telah lama dikenal yaitu kurang lebih 100 tahun yang lalu, berarti pada waktu itu penyelundupan telah dinilai sebagai suatu perbuatan yang amat menguntungkan bagi pelakunya tetapi di sini yang lain amat merugikan penghasilan negara yang akhirnya berakibat mengacaukan perekonomian, perdagangan dan keuangan negara bahkan tidak mustahil untuk dapat di nilai sebagi perbuatan yang merongrong negara di dalam arti Undang-undang Nomor 14 /PNPS/1963. Oleh karenanya, pemberlakuan hukum itu sangat diperlukan dalam rangkah mejaga kesejateraan masyarakat dalam segala aspek khususnya dalam aspek ekonomi.
Dengan demikian, maka fungsi dari hukum di sini adalah untuk mengetahui hubungan antara negara atau masyarakat dengan warganya dan hubungan antar manusia, agar supaya kehidupan didalam masyarakat berjalan dengan lancar dan tertib. Hal ini mengakibatkan bahwa tugas hukum adalah untuk mencapai kepastian hukum (demi adanya ketertiban) dan keadilan dalam masyarakat. Kepastian hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaidah-kaidah yang berlaku umum. Agar supaya terciptanya suasana yang aman dan tentram di dalam masyarakat.
Landasan dan sasaran berlakunya hukum agar dapat berfungsi dengan baik diperlukan keserasian dalam hubungan antara empat faktor, yakni :
1. Hukum atau peraturan itu sendiri, kemungkinannya adalah bahwa terjadinya ketidakcocokan dalam peraturan perundang-undangan mengenai bidang kehidupan tertentu. Kemungkinan lainnya adalah ketidakcocokan antara peraturan perundangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum kebiasaan. Kadangkala ada tidaknya keserasian antara hukum tercatat dengan hukum kebiasaan.
2. Mentalitas petugas yang menegakkan hukum, penegak hukum antara lain mencakup hakim, polisi, jaksa, pembela, petugas masyarakat
3. Fasilitas yang diharapkan untuk mendukung pelaksanaan hukum. Kalau hukum sudah baik dan juga mentalitas penegaknya baik akan tetapi fasilitas kurang memadai, maka penegak hukum kurang dan tidak berjalan dengan lancar.
4. Kesadaran hukum, kepatuhan hukum dan prilaku warga masyarakat.
Referensi:
Prapto Soepardi, 1991. Tindak Pidana Penyelundupan, Pengungkapan dan Penindakannya, Surabaya: Usaha Nasional.
Soerjono Soekamto, 1983. Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Jakarta : UI Press.
0 Response to "Penyelundupan Menurut Hukum Pidana Indonesia"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!