Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf
Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf
(Tela'ah atas Undang Undang RI Tentang Wakaf)
Wacana tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan. Tidak lagi sekedar membincangkan tentang pandangan para ulama fiqh yang belum seragam tentang pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem sosial masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai salah satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam yang berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah ijtimaiyyah. Karenanya redefinisi terhadap wakaf ,- agar lebih memiliki makna yang relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat strategis.
(Tela'ah atas Undang Undang RI Tentang Wakaf)
Wacana tentang wakaf, belakangan muncul kembali ke permukaan. Tidak lagi sekedar membincangkan tentang pandangan para ulama fiqh yang belum seragam tentang pengertian dan hakikat wakaf itu sendiri, tetapi lebih pada bagaimana mereposisi institusi wakaf agar lebih berperan dalam kancah problem sosial masyarakat terkait dengan kesejahteraan ekonomi. Karena disamping sebagai salah satu bentuk ajaran yang berdimensi spiritual, wakaf merupakan ajaran Islam yang berdimensi sosial, atau dalam bahasa agama disebut sebagai ibadah ijtimaiyyah. Karenanya redefinisi terhadap wakaf ,- agar lebih memiliki makna yang relevan dengan kondisi riil persoalan kesejahteraan umat menjadi suatu yang sangat strategis.
Merujuk
pada praktek pelaksanaan wakaf yang dianjurkan oleh Nabi dan dicontohkan oleh
para Shahabat, dimana sangat menekankan pada pentingnya menahan eksistensi
benda wakaf, dan diperintahkan untuk menyedekahkan hasil dari pengelolaan benda
tersebut. Pemahaman yang mudah dicerna dari kondisi tersebut adalah bahwa substansi
wakaf itu tidak semata-mata terletak pada pemeliharaan bendanya (wakaf) tetapi
yang jauh lebih penting adalah nilai manfaat dari benda tersebut untuk
kepentingan umum. Institusi wakaf ini sesungguhnya telah dipraktikan dalam
masyarakat jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia, ia telah menjadi suatu bentuk
adat kebiasaan yang melembaga di beberapa komunitas masyarakat di Indonesia.
Sebut saja “Huma Serang”, praktik serupa wakaf dalam ajaran Islam ini telah
lama dikenal di Banten, di Lombok ada “Tanah Pareman”, atau “Tanah
Perdikan” di Jawa Timur, .bentuk-bentuk tersebut hampir menyerupai wakaf
keluarga apabila dilihat fungsi dan pemanfaatannya yang tidak boleh diperjual
belikan.
Kronologi Historis Wakaf
Sejak datangnya Islam, wakaf dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh
mayoritas masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat
kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum lahirnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur wakaf, masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan
keagamaan seperti mewakafkan tanah secara lisan dan atas dasar saling percaya
kepada seseorang atau lembaga tertentu tanpa melalui prosedur administratif
karena dianggap sebagai suatu amalan ibadah semata dan harta wakaf merupakan
milik Allah semata yang siapapun tidak akan berani menggugat.
Jika
selama ini masalah wakaf kurang intensif dibahas bisa jadi karena umat Islam
mulai hampir melupakan kegaiatan-kegiatan yang berasal dari lembaga
perwakafan, selain itu adanya mismanagemen dan korupsi dalam pengelolaan wakaf
menyebabkan pamor lembaga wakaf makin terlupakan. Padahal, potensi wakaf
sebagai salah satu instrumen dalam membangun sosial ekonomi kehidupan umat,
sesungguhnya tidak dapat dipandang sebelah mata. Wakaf telah memberikan
kontribusi yang tidak sedikit di beberapa negara Islam lain. Dengan pengelolaan
aset wakaf yang professional, Mesir telah berhasil membangun sektor
pendidikan dan medis dari dana hasil pengelolaan wakaf. Universitas al-Azhar
Cairo, rumah-rumah sakit, pendidikan dan pemberdayaan tenaga pendidik serta
beasiswa bagi para mahasiswa dibiayai dari hasil wakaf. Bahkan sebagai gambaran
di Amerika Serikat, sebuah negara sekuler terbesar telah mengelola wakaf dari
warga muslim minoritasnya secara professional oleh lembaga keuangan
Islam, Kuwait Awqaf Pubilc Foundation (KADF).
Potensi
wakaf di Indonesia sendiri sesungguhnya dapat menjadi tumpuan harapan
peningkatan kesejahteraan sosial masyarakat serta pengentasan kemiskinan
- di samping zakat, infak dan shadaqah,- apabila dapat dikelola secara baik dan
professional. Dalam praktiknya di Indonesia, perwakafan amat lekat dengan wakaf
tanah meskipun pada hakikatnya benda yang dapat diwakafkan tidak terbatas pada
tanah. Menurut data yang ada di Departemen Agama RI, sampai dengan bulan
September 2002, jumlah seluruh tanah wakaf di Indonesia sebanyak 362,471 lokasi
dengan luas 1.535.198.586,59 m2. Namun data tersebut belumlah akurat
mengingat data-data tentang asset wakaf tidak terkoordinir dengan baik dan
terpusat dalam satu institusi yang professional. Dan umumnya tanah-tanah
tersebut dikelola secara tradisional dan tidak produktif. Sehingga kurang
terasa kontribusi dan manfaatnya bagi peningkatan kualitas hidup umat.
Ironisnya disamping tidak terurus dan terbengkalai, banyak tanah wakaf
yang belum bersertifikat sehingga sering menjadi objek sengketa bahkan
diperjualbelikan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Mengantisipasi
kondisi tersebut, pemerintah telah mencanangkan beberapa tindakan antara lain :
pertama, melakukan sertifikasi tanah wakaf yang ada di seluruh tanah air.
Secara teknis hal ini tidaklah mudah dan membutuhkan biaya yang tidak
sedikit maka penting untuk melibatkan instansi terkait seperti Badan Pertanahan
Nasional (BPN) dalam proses pembuatan sertifikat dan Pemerintah Daerah setempat
guna menanggulangi pembiayaan sertifikasi, pengelolaan, pemberdayaan dan
pengembangan tanah-tanah wakaf yang ada. Kedua, memberikan advokasi penuh
terhadap tanah-tanah wakaf yang menjadi sengketa. Ketiga, menyusun suatu
peraturan perundang-undangan yang komprehensif tentang wakaf, dalam bentuk
Undang-undang. Keempat, pemanfaatan dan pemberdayaan tanah wakaf secara
produktif.
Tela'ah Yuridis Formil Undang –Undang Wakaf
Peraturan perundang-undangan yang selama ini mengatur masalah perwakafan masih
tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan antara lain: UU No.5 tahun
1960 tentang Undang-undang Pokok Agraria, PP No.28 tahun 1977 Tentang
Perwakafan Tanah Milik, Peraturan Menteri Agama RI No.1 Tahun 1978 Tentang
Pelaksanaan PP No.28 Tahun 1977, Peraturan Dirjen Bimas Islam DEPAG RI No.
Kep/D/75/1978 dan Inpres RI No. 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dianggap belum memadai dan masih menjadi persoalan yang belum
terselesaikan dengan baik, sehingga kemauan kuat dari umat Islam untuk
memaksimalkan peran kelembagaan dalam bidang perwakafan masih mengalami
kendala-kendala formil. Berkaca dari peraturan tentang zakat, kelembagaan
dan pengelolaan wakaf masih jauh dari professional dan hanya diatur
dengan beberapa peraturan yang belum integral.
Sejalan
dengan Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional
Propenas tahun 2000-2004 dan TAP MPR No.IV/MPR/1999 tentang GBHN Tahun
1999-2004 yang antara lain menetapkan arah kebijakan pembangunan hukum, maka
dipandang perlu dan inhenren untuk menyusun suatu Rancangan Undang-undang
tentang wakaf . Undang –undang wakaf yang telah dihasilkan oleh DPR dan
Pemerintah kita sesungguhnya menyiratkan satu harapan lahirnya suatu
Undang-undang yang komprehensif tentang wakaf sehingga kendala-kendala formil
yang menghambat pemberdayaan wakaf dapat segera teratasi.
Disadari
bahwa masih belum terintegrasinya peraturan teknis pengelolaan wakaf, kelemahan
pengaturan hukum persoalan wakaf terkait dengan kepastian perlindungan rasa
aman bagi pihak-pihak terkait seperti wakif (orang yang mewakafkan);
Nadzir (pengelola wakaf) dan maukuf alaihi (peruntukan wakaf) baik perseorangan
maupun badan hukum, dan keterbatasan aturan mengenai perwakafan merupakan
kelemahan dan kendala formil yang mengurangi optimalisasi pemberdayaan wakaf
secara keseluruhan. Wakaf merupakan perbuatan hukum yang hanya dimiliki
oleh Islam, maka potensial untuk dikembangakan sesuai dengan fungsinya dimana
sekalipun berbentuk kebendaan tetapi tetap pada posisi sebagai perbuatan
ibadah, karenanya penting untuk menyusun substansi yang komprehensif dan
mewakili ruh yang hakiki dari lembaga wakaf ini mengingat ia adalah
produk fiqh yang tidak lepas dari khilafiyah, sehingga penting untuk mencapai
satu kesepakatan hukum agar dapat diterapkan. Disanalah peran legalisasi dari
pihak yang berwenang dalam mengatasi perbedaan persepsi tentang wakaf. Hal ini
sejalan dengan kaidah fiqh “hukmu al-hakim yarfa’u al-khilaf” (keputusan
pemerintah akan menghilangkan perbedaan).
Poin
poin penting dalam Undang –Undang wakaf yang melingkupi materi yang mengatur
masalah wakaf mulai dari ketentuan umum mengenai definisi dari wakaf dan
hal-hal mendasar lainnya sampai pada ketentuan pidana dan sanksi administratif
bagi pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam pasal-pasal iru.
Sistematika Undang undang ini tampak lebih sempurna dibanding aturan tentang
wakaf yang ada dalam KHI. Munculnya beberapa substansi baru yang diatur
dalam undang-undang ini tampaknya merupakan jawaban dan solusi atas fenomena lembaga
perwakafan di Indonesia sebagaimana digambarkan sebelumnya.
Beberapa catatan penting Undang undang tentang wakaf ini diantaranya ketentuan
mengenai Wakif, jika dalam KHI disebutkan wakif sebagai orang atau orang-orang
ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya. Dalam dalam salah
salah satu pasalnya, undang-undang wakaf telah mengalami penyempurnaan terutama
yang mnyebutkan bahwa selain perseorangan, baik WNI maupun WNA, organisasi,
badan hukum Indonesia maupun asing dapat mewakafkan hartanya.
Tampaknya
undang-undang wakaf ini berusaha menjaring pihak-pihak yang lebih luas
guna mengoptimalkan potensi wakaf. Ketentuan mengenai nazhir sebagai pengelola
wakaf memang tidak banyak mengalami perubahan, tetapi tampak ada penekanan
persyaratan professional dan job description yang lebih jelas bagi nazhir,
tidak semata pada persyaratan normative. Hal ini mengarah pada pengelolaan
wakaf yang professional dan bertanggungjawab. Selanjutnya reinterpretasi
konsep wakaf yang dilatarbelakangi oleh perkembangan persoalan yang makin
kompleks, perubahan sosial, perkembangan teori ekonomi dan moneter serta teori
pembangunan memunculkan konsep wakaf tunai (cash waqaf) yang diprakarsai oleh
Prof M.A. Mannan ,- pakar ekonomi dari Bangladesh,-. Dalam upaya optimalissai
pengelolaan potensi wakaf dan perluasan cakupan harta wakaf.
Undang-undang ini mengakomodir fenomena diatas dengan memungkinkan adanya
waqaf dari benda bergerak berupa uang, logam mulia, surat berharga , kendaraan,
HAKI, hak sewa bahkan membuka kemungkinan adanya bentuk benda/objek wakaf yang
lain. Hal ini merupakan tuntutan dari stimulus riil dalam perkembangan ekonomi
dan tidak lagi sekedar menjadi wacana karena telah dipraktekkan di
negara-negara muslim lainnya seperti Bangladesh, Mesir, Qatar, Saudi Arabia,
Kuawait dan lain-lainnya. Komisi fatwa MUI sendiri telah mengeluarkan fatwa
mengenai wakaf tunai ini sejak Mei 2002.
Ketentuan
mengenai wakaf tunai ini dapat memungkinkan timbulnya pembaharuan tentang
keberlakuan wakaf yang permanen menuju wakaf dengan jangka waktu (berjangka)
seperti tanah HGB, uang deposito, saham dan lain sebagainya. Walaupun
udang-undang ini memang tidak menyebutkan jenis wakaf seperti ini secara
eksplisit tapi tidak menutup kemungkinan dalam peraturan pelaksanaannya diatur
mengenai hal tersebut. Konsep ini. pada hakikatnya bertujuan untuk
menjaring potensi wakaf sedemikian rupa agar dapat dimanfaatkan secara
maksimal. Wakaf tunai juga melibatkan lembaga keuangan syariah sebagai
mediator, namun yang mungkin belum diatur adalah adanya lembaga penjamin
untuk mengantisipasi kemungkinan habisnya harta wakaf apabila terjadi pailit.
Harus disadari pula bahwa pengelolaan dana wakaf tunai ini merupakan dana
publik yang harus dipertanggungjawabkan secara trasparan dan accountable.
Suatu
peraturan Undang-undang yang baik selain tergali dari nilai-nilai sosiologis
masyarakat juga harus dapat diimplementasikan dan memiliki daya tegak.
Karenanya undang-undang ini perlu mendelegasikan peran-peran teknis
tertentu kepada peraturan dibawahnya agar ketentuan dan norma-norma dalam
undang-undang dapat teraplikasi dan menghindari undang-undang ini kelak dari
kemandulan, sehingga perlu segera disiapkan peraturan pelaksana dan
perangkat-perangkat penunjangnya. Disusunnya undang-undang ini juga dalam
rangka menjamin kepastian hukum dan menjadi koridor kebijakan dalam advokasi
dan penyelesaian sengketa wakaf. Undang undang wakaf ini mengamanatkan
dibentuknya sebuah badan independen dan berskala nasional yang bertugas
melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap nazhir, memberikan persetujuan dan
perubahan peruntukkan status wakaf, mengelola dan mengembangkan wakaf serta
berwenang memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam hal
penyusunan kebijakan di bidang perwakafan. Badan Independen ini pula yang
bertugas mengembangkan wakaf secara produktif dan sesuai syari’at Islam melalui
penggalian konsep fiqh wakaf. Tampaknya tugas inilah yang paling penting untuk
segera direalisasikan. Pengawasan terhadap badan ini dilakukan melalui audit
oleh lembaga audit yang juga independent dan hasilnya diumumkan pada
khalayak. Sosialisasi pengembangan wakaf produktif kepada masyarakat juga
bukan masalah yang sederhana, pemahaman yang sudah melekat di masyarakat
tentang bentuk wakaf yang tidak produktif dan terbatas pada fungsi-fungsi
tertentu membutuhkan proses pembelajaran sekaligus pembuktian yang membutuhkan
energi yang tidak sedikit. Disanalah peran strategis BWI (Badan Wakaf
Indonesia) dalam mereposisi peran wakaf agar mampu menjawab probelmatika sosial
yang dialami umat.
Penutup
Dengan lahirnya undang-undang trentang wakaf, maka peran dan tugas pemerintah
sebagai pelaksana undang-undang ini tidaklah mudah. Kesungguhan dan
profesionalitas harus benar-benar dapat dipertanggungjawabkan agar tujuan wakaf
yang hakiki dapat terwujud. Dan bahwa undang-undang ini tidak sekedar menjawab
kendala-kendala formil terkait dengan wakaf tapi menunjukkan kesungguhan
kita untuk membangun kembali kesejahteraan umat melalui potensi umat.
Undang-undang wakaf ini merupakan salah satu
perangkat untuk mengembangkan wakaf produktif namun keberhasilan pengembangan
wakaf tersebut juga sangat bergantung pada political will dari pemerintah dan
komitmen seluruh umat Islam. Sungguh ini bukan proses yang ringan karena
menyangkut banyak aspek dan terkait dengan pola pemahaman keberagamaan yang
sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Selain kemaun dan kemampuan, dibutuhkan pula modal yang tidak sedikit. Wallahu a’lam bi alshawab
0 Response to "Kontektualisasi dan Reposisi Fungsi Wakaf"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!