Memahami Alquran Secara Mendalam
Dengan berbagai perbedaan dan latar belakang seseorang,
dibutuhkan sebuah tafsir untuk memahami Alquran. Islam mungkin tidak akan bisa
diterima dan berkembang luas di berbagai wilayah di luar Kota Makkah jika tidak
didukung oleh perkembangan ilmu tafsir. Pasalnya, tidak semua ayat yang
terdapat dalam Alquran yang menjadi sumber utama ajaran Islam merupakan ayat-ayat
jelas (muhkam). Tetapi, Alquran juga memuat ayat-ayat tidak jelas (mutasyabih),
sebagaimana ditegaskan dalam surah Ali Imran ayat 7. Alquran, di samping
mengandung lafal-lafal yang mudah dan terperinci, juga memuat ayat-ayat yang
perlu pemahaman secara lebih mendalam, termasuk ayat yang mengandung prinsip
umum.
Dengan
keadaan seperti ini, tentu sulit bagi kaum Muslim untuk dapat memahami
kandungan Alquran dan mengamalkannya. Terlebih lagi bagi kelompok masyarakat
yang tidak mengenal bahasa Arab. Untuk itulah, diperlukan ilmu tafsir yang
bertujuan agar ayat-ayat Alquran tersebut dapat dijelaskan dengan
sebaik-baiknya dan sesuai dengan kehendak Allah SWT, tetapi tetap sebatas yang
dapat ditangkap oleh seorang mufasir (ahli tafsir). Usaha-usaha untuk menafsirkan
Alquran sudah dimulai sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Bahkan, Nabi SAW merupakan
mufasir pertama Alquran. Pada saat Allah SWT menurunkan wahyu-Nya, Rasulullah
SAW mempunyai kewajiban untuk menyampaikan serta menjelaskan
wahyu tersebut kepada para sahabat dan penduduk Makkah saat itu. Meski kegiatan
tafsir di kalangan para sahabat telah dilakukan sejak awal Islam diturunkan,
tidak semua dari mereka memahami seluruh mufradat (kosakata) Alquran. Suatu
ayat mungkin jelas bagi seorang sahabat, tetapi tidak jelas bagi sahabat lain.
Hal itu karena mereka mempunyai tingkat pengetahuan dan pengalaman berbeda.
Umar bin Khattab, misalnya, saat berada di mimbar menyebut surah Abbasa ayat
31, yakni wa fakihatan wa abban. Saat itu, dengan mudah Umar menemukan makna
fakihatan (buah-buahan). Namun, tidak dengan abban (rumput-rumputan). Hal
serupa juga terjadi pada Ibnu Abbas yang tidak tahu arti ma fatir as-samawat
(yang telah menciptakan langit) sampai datang dua orang yang sedang bertengkar
soal sumur. Yang satu mengatakan, ana fatartuha (aku yang membuat sumur itu).
Yang lainnya berkata, ana ibtada'tuha (aku yang memulai sumur itu). Dari
pertengkaran tersebut, diketahui makna fatartu adalah ibtada'tu (menciptakan).
Pada masa ini, terdapat sepuluh orang dari sahabat Rasulullah SAW yang
dipandang terkemuka dalam bidang Alquran. Mereka adalah Abu Bakar as-Siddiq,
Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ibnu Masud, Ibnu Abbas,
Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy'ari, dan Abdullah bin Zubair.
Dari jajaran Khulafa ar-Rasyidin, yang paling banyak memberikan penjelasan
makna Alquran adalah Ali bin Abi Thalib. Mengenai ini, Ibnu Abbas pernah
berkata, ''Tafsir Alquran yang aku miliki adalah dari Ali bin Abi Thalib.''
Namun, yang paling tepat untuk dijuluki 'penafsir Alquran' adalah Ibnu Abbas.
Rasulullah SAW secara khusus pernah mendoakannya. ''Ya Tuhan, jadikanlah ia
seorang fakih dalam bidang agama dan ajarkanlah takwil.'' Nabi SAW juga
menyebut Ibnu Abbas sebagai turjuman Alquran (penerjemah Alquran).Selain
sepuluh orang ini, terdapat pula beberapa nama sahabat lainnya yang dikenal
sebagai mufasir, yaitu Abu Hurairah, Anas bin Malik, Abdullah bin Umar, Jabir
bin Abdullah, dan Aisyah binti Abu Bakar as-Siddiq.
Muncul
perbedaan
Faktor tingkat pengetahuan dan pengalaman yang
dimiliki para sahabat menyebabkan adanya perbedaan dalam menafsirkan ayat-ayat
Alquran. Mereka umumnya memahami ayat pada tingkat pemahaman global dengan
penggunaan lafal singkat. Mereka juga jarang menghubungkan ayat dengan
persoalan-persoalan hukum dan belum ada bias-bias kefanatikan kelompok.
Perbedaan tersebut makin kentara manakala wilayah penyebaran Islam mulai
meluas. Pada masa sahabat, kaum Muslim sudah terpencar ke berbagai wilayah,
seperti Makkah, Madinah, dan Kufah (Irak). Di antara mereka ada yang menjadi penguasa, menteri, panglima, atau pengajar. Para
sahabat di berbagai wilayah itu mengajarkan apa yang diketahui dan diajarkan
oleh Nabi SAW, termasuk Alquran. Faktor geografis yang terpencar-pencar inilah
yang pada akhirnya mendorong terbentuknya mazhab-mazhab tafsir yang berpusat di
Makkah, Madinah, dan Kufah. Sehingga, para tabiin mendapat keterangan mengenai
Alquran secara berbeda-beda dari para sahabat yang terpencar-pencar. Ibnu
Taimiyah, pemikir Islam Abad Pertengahan, dalam menghubungkan tingkat
pengetahuan para sahabat dan tabiin mengenai tafsir pernah menyatakan,
''Kelompok yang paling mengetahui tafsir adalah penduduk Makkah karena mereka
menyertai Ibnu Abbas. Selanjutnya, adalah orang Kufah karena mereka menyertai
Ibnu Masud. Kemudian, adalah para ahli dari Madinah, seperti Zaid bin Aslam,
Abdurrahman bin Zaid, dan Malik bin Anas.''
Periodisasi
Penafsiran Alquran
Tafsir pada awal perkembangan Islam
ditransmisikan melalui riwayat secara lisan. Pada masa itu, memang belum
dikenal adanya penulisan kitab tersendiri tentang tafsir Alquran yang
menerangkan surah demi surah atau ayat demi ayat. Nabi SAW dan para sahabat
tidak menjelaskan semua ayat yang terdapat dalam Alquran. Mereka hanya
menjelaskan sesuatu yang tidak jelas pada masanya. Kemudian, penjelasan dari
Rasulullah SAW itu diriwayatkan oleh para sahabat ke sebagian sahabat lainnya
atau mereka meriwayatkannya ke sebagian tabiin. Sebagian tabiin pun
meriwayatkannya ke sebagian lainnya atau meriwayatkannya ke sebagian tabiit
tabiin (pengikut tabiin). Karena itu, pada masanya, para tabiin sering
mempunyai masalah baru sebab pertanyaan-pertanyaan yang sebelumnya tidak sering
muncul pada masa mereka. Yang dilakukan para tabiin selanjutnya adalah
menyempurnakan kekurangan tersebut atau memberi penjelasan sesuai dengan
tingkat kebutuhan yang mereka rasakan. Meski upaya untuk menuangkan penjelasan
mengenai tafsir Alquran dalam bentuk tulisan belum dirintis, pada masa itu
sudah ada segolongan ahli dari berbagai kota yang mengumpulkan riwayat dari
Nabi SAW, sahabat, atau tabiin. Mereka termasuk periode tabiit tabiin, seperti
Sufyan bin Uyainah, Waki bin al-Jarrah, Su'bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun
as-Salma, dan Abd bin Hamid. Kendati demikian, mereka bukanlah mufasir,
melainkan imam-imam di bidang hadis. Oleh karena itu, tafsir bukan tujuan utama
mereka. Tafsir pada periode ini hanya dijadikan sebagai salah satu bab dalam
kitab hadis mereka. Para imam hadis inilah yang kemudian membuka jalan bagi
penulisan karya tafsir yang menggunakan riwayat. Kelahiran tafsir dalam bentuk
tertulis baru dirintis pada paruh terakhir abad ke-2 H atau ke-8 M. Periode ini
diwakili oleh Muqatil bin Sulaiman dalam karyanya Tafsir Alquran, Tafsir Khams
Mi'ah Ayah min Alquran (Tafsir 500 ayat Alquran) dan Kitab al-Wujuh wa
an-Naza'ir (kitab tentang arti dan persamaan-persamaan). Penulisan tafsir pada
periode itu juga bisa dilihat dari karya Ibnu Ishaq yang berjudul Sirah Rasul
Allah (kehidupan Rasulullah SAW). Kemudian, melalui tulisan al-Farra, seorang
filolog, dengan judul Ma'ani Alquran (makna Alquran) yang menjelaskan segi-segi
tata bahasa dan bacaan yang dipandang sulit. Menyangkut segi-segi keindahan
Alquran, Abu Ubaidah menulis Majaz Alquran (keistimewaan Alquran). Sementara
itu, Ibnu Qutaibah menulis Ta'wil Musykil Alquran (menginterpretasikan sesuatu
yang sulit dalam Alquran) yang mengulas kualitas dan nilai bahasa Alquran. Pada
abad ke-4 H atau ke-10 M, literatur tafsir benar-benar lahir secara lengkap
dengan adanya Jami' al-Bayan 'an Ta'wil Ayi Alquran (kumpulan keterangan
ayat-ayat Alquran) yang ditulis oleh Ibnu Jarir at-Tabari. Karya ini populer
dengan nama Tafsir at-Tabari. Dalam karyanya, ayat demi ayat ditafsirkan dengan
dasar riwayat-riwayat dari para pendahulu yang memiliki otoritas di bidang itu,
lengkap dengan nama perawi dan sanadnya. Dengan kitab tafsir ini, pada periode
selanjutnya, literatur tafsir berkembang semakin pesat. Al-Maturidi, Abu
al-Lait as-Samarkandi, at-Ta'labi, dan al-Wahidi adalah pemuka-pemuka yang pada
abad ke-4 H atau ke-10 M dan ke-5 H atau ke-11 M mempersembahkan berjilid-jilid
karya tafsir. Namun, penulisan kitab tafsir bisa dikatakan mencapai puncaknya
pada abad ke-7 hingga ke-9 H. Masa ini disebut Asr at-tadwin (masa penulisan
dan penyusunan kitab tafsir). Kitab tafsir yang ditulis pada masa ini adalah
Jami' al-Bayan fi Tafsir Alquran, Bahr al-'Ulum, al-Kasyf wa al-Bayan 'an
Tafsir Alquran, Ma'alim at-Tanzil, al-Muharrar al-Wajiz fi Tafsir al-Kitab
al-Aziz, Tafsir Alquran al-'Azim, al-Jawahir al-Hisan fi Tafsir Alquran, dan
ad-Durr al-Mansur fi at-Tafsir al-Ma'tsur.
Karya Tafsir di Indonesia
Keseluruhan kitab tafsir yang dibuat pada masa
sahabat, tabiin, dan tabiit tabiin (pengikut tabiin) ditulis dalam bahasa Arab.
Kitab tafsir seperti ini hanya mampu dibaca oleh orang yang mempunyai kemampuan
dan pengetahuan bahasa Arab yang cukup. Padahal, tujuan tafsir adalah untuk
memperjelas makna kata-kata dan pemahaman teks Alquran yang juga menggunakan
bahasa Arab. Untuk memudahkan umat Islam Indonesia dalam memahami isi dan
kandungan Alquran, usaha penerjemahan dan penafsiran Alquran dengan bahasa
Indonesia juga dilakukan, baik oleh perorangan maupun kelompok. Penerjemahan
dan penafsiran Alquran oleh ulama di Tanah Air tidak hanya dilakukan ke dalam
bahasa Indonesia, tetapi juga dalam bahasa daerah dan bahasa Melayu. Di antara
ulama Indonesia yang secara perorangan telah menyusun tafsir Alquran adalah H
Oemar Bakry (ahli tafsir, ulama, dan mubaligh dari Sumatra Barat) melalui buku
berjudul Tafsir Rahmat. Selain itu, umat Islam di Indonesia juga mengenal nama
Buya Hamka dengan kitab Tafsir al-Azhar dan Quraish Shihab dengan Tafsir
al-Misbah. Sementara itu, Departemen Agama secara institusional telah
mengadakan upaya penerjemahan dan penafsiran Alquran. Buku terjemahan Alquran
dan tafsir yang dikeluarkan oleh Departemen Agama masing-masing berjudul
Alquran dan Terjemahannya serta Alquran dan Tafsirnya. Penulisan kitab
terjemahan dan tafsir Alquran dalam bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa
Melayu sebenarnya sudah dimulai pada abad ke-17 M. Pada masa itu, Syekh Abdur
Rauf Singkel--seorang ulama asal Singkel, Aceh menyusun sebuah kitab tafsir
pertama berbahasa Melayu yang diberi judul Turjuman al-Mustafid.
Upaya
penerjemahan dan penafsiran Alquran dalam bahasa Melayu diteruskan pada periode
selanjutnya oleh Muhammad bin Umar yang terkenal dengan nama Syekh Nawawi
al-Bantani al-Jawi. Kitab Tafsir al-Munir li Ma'alim at-Tanzil al-Musfir 'an
Wujuh Mahasin at-Ta'wil yang disusun Syekh Nawawi ini diterbitkan di Makkah pada
permulaan tahun 1880-an. Hingga kini, sudah beberapa kali dicetak ulang dan
banyak beredar di kawasan Timur Tengah. Sementara itu, pada abad ke-19 M hingga
memasuki abad ke-20 M, mulai bermunculan berbagai macam kitab terjemahan dan
tafsir Alquran karya para ulama di dalam negeri. Di antaranya, Al-Quran Karim
dan Terjemahan Maknanya karya Prof H Mahmud Yunus yang dirilis pada 1967.
Tafsir ini hanya terdiri atas satu jilid, namun penafsirannya mencakup 30 juz.
Pada 1974, umat Islam di Indonesia mulai mengenal kitab tafsir dalam bahasa
daerah melalui Al-Kitab al-Mubin Tafsir Alquran berbahasa Sunda yang disusun
oleh KH MHD Ramli. Kemudian, di tahun 1977, muncul kitab tafsir dalam bahasa
Jawa karya Prof KH R Muhammad Adnan yang berjudul Tafsir Alquran Suci.
Penulisan tafsir Alquran dalam bahasa Indonesia secara lebih lengkap dalam satu
jilid baru dilakukan oleh H Oemar Bakry melalui kitab Tafsir Rahmat yang terbit
pada tahun 1981. Penafsiran dalam kitab ini dilakukan berdasarkan urutan surah
dan ayat dalam Alquran tanpa mengelompokkan ayat sesuai dengan masalah yang
dikandungnya. Yang membedakan kitab Tafsir Rahmat dengan kitab-kitab tafsir
karya ulama Indonesia sebelumnya adalah setiap surah yang akan ditafsirkan
didahului oleh suatu pendahuluan yang berisi uraian tentang nama atau nama-nama
lain surah tersebut, jumlah ayat, hubungan antarsurah, dan pokok isi surah.
Penafsiran surah diakhiri dengan penutup yang berisi kesimpulan mengenai
kandungannya. Pada perkembangan berikutnya, masyarakat Muslim Indonesia juga
mengenal Tafsir al-Azhar yang disusun oleh Hamka yang terbit pada tahun 1983.
Kitab ini terdiri atas 15 jilid dan setiap jilid berisi penafsiran dua juz
Alquran. Di setiap awal surah yang ditafsirkan, diuraikan lebih dahulu beberapa
hal yang berkaitan dengan surah dan pokok isinya. Selain itu, setiap ayat juga
disertai dengan terjemahannya. Masalah pokok yang terkandung dalam ayat-ayat
tertentu diuraikan dan ditafsirkan secara panjang lebar. Selain kitab tafsir
yang disusun secara perorangan, Muslim di Tanah Air juga mengenal karya tafsir
yang dibuat secara kelompok atau oleh lembaga. Di antaranya Alquran dan
Terjemahannya yang disusun oleh Yayasan Penyelenggara Penerjemah Alquran atas
penunjukan oleh Departemen Agama RI. Alquran dan Terjemahannya terbit pertama
kali tahun 1971 dan sejak tahun 1990 terjemahannya telah mengalami revisi.
Saya sangat suka dengan situs anda yang simple dan kaya tentang ilmu,dan anda suka berbagi ilmu semoga semakin maju,coffe mocca untuk anda :-)
ReplyDeleteTerimakasih atas kunjungan dan komentar saudara, semoga dari hari kehari menjadi lebih baik... Aminn.
ReplyDelete