Mengenal Tafsir Sunni
Tak dapat dipungkiri posisi sentral
Al-Quran bagi seluruh aliran-aliran yang lahir dalam rahim Islam. Semua larut
menikmati hidangan Al-Quran. Ada dua sifat yang menjadikan Al-Quran selalu
menjadi rujukan. Pertama Al-Quran sebagai hudan, petunjuk bagi umat manusia,
dan kedua Al-Quran sebagai furqan, pembeda antara yang benar dan yang batil.
Selain itu, Al-Quran adalah satu-satunya teks Islam yang terjaga
otentisitasnya. Al-Quran di hadapan kita sekarang tak berbeda sedikitpun dari
al-Quran yang pernah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Maka bisa dimengerti,
bahwa aliran yang mampu mengidentifikasi diri sebagai aliran yang
sejalan-harmonis dengan teks-teks al-Quran dengan mudah memanen kepercayaan
dari umat, sementara yang tampak kontras-berlawanan dengannya akan terseret
arus peminggiran.
Ironisnya hampir semua (untuk tidak
mengatakan seluruhnya) aliran tak mampu menikmati hidangan al-Quran dengan
renyah. Dalam banyak kasus mereka justru tersedak saat berupaya menikmatinya.
Hal ini karena Al-Quran tak menghidangkan satu menu dan untuk sekelompok
tertentu. Al-Quran adalah mutiara yang bisa dinikmati oleh berbagai lapisan
umatnya, masing-masing dengan tingkat intelektualnya. Ditambah lagi satu
kenyataan bahwa al-Quran tidak turun sekali tempo dalam bentuk yang utuh, akan
tetapi turun dalam kurun waktu dua puluh tiga tahun, dan dalam berbagai
munasabah. Dengan demikian, tak pelak al-Quran menghidangkan makna-makna yang
beragam, dan bahkan seringkali ambigu yang tak semuanya bisa dinikmati oleh
aliran tertentu dengan renyah. Ada diantaranya yang renyah karena menunjuk pada
makna yang serasi-setujuan dengan setruktur pemikiran anggitannya, dan ada pula
diantaranya yang perlu "diolah" agar "terasa" renyah.
Atas dasar ini, tak ada aliran
dalam Islam yang mampu menghindarkan diri dari mekanisme ta'wil dalam arti yang
luas, termasuk aliran yang mengaku paling murni sekalipun. Maksud ta'wil dalam
arti yang luas adalah seperangkat mekanisme di lingkungan tafsir yang
dipergunakan untuk mengatasi teks-teks yang tampak tak sejalan-harmonis.
Mekanisme ini bisa berbentuk majâz, ta'wîl, sistematika tarjîh, isyârî, dan
lain sebagainya. Tafsîr bil ma`tsur, seperti tafsirnya ibnu Katsîr, yang acap
disangka tak membutuhkan mekanisme ta'wil tersebut pada hakikatnya penuh
dengannya. Untuk meletakkan hadîts dan atsar pada ayat-ayat tertentu misalnya,
dibutuhkan seperangkat metode yang dapat diukur, dan itu tak lain adalah
mekanisme ta'wil itu tadi. Juga kesadaran linguistik, alwa'yu allughawî, untuk
tidak menerima majâz sebagai bagian dari ta'wil sejatinya adalah bagian dari
ta'wil itu sendiri, mirip dengan ungkapan ‘adamul idrâki huwa idrâkun.
Perdebatan-perdebatan akademik
antar aliaran-aliran dalam Islam seputar seperangkat ta'wil di muka telah
melahirkan khazanah ilmu-ilmu al-Qur`an dan tafsir yang amat kaya. Dan pada
kesempata ini, akan kita bicarakan sekelumit dari bagian khazanah tersebut,
yakni tradisi tafsir-tafsir sunni. Untuk keperluan ini, kita ajukan dulu satu
pertanyaan: Apa itu Sunni? Atau: mencakup siapa saja aliran Sunni itu?
Ini adalah salah satu pertanyaan
amat sulit, yang untuk menjawabnya dibutuhkan kerja keras dan melelahkan. Demi
menghindari itu, kita menerima begitu adanya sebuah "rumah besar"
yang sering diasumsikan menaungi keluarga besar Sunni, tanpa melihat kamar-kamar
yang ada di dalamnya, yang boleh jadi tersekat antara satu dengan lainnya,
hingga pada posisi diametral. Rumah besar ini lazimnya dihadapkan pada rumah
lain yang berseberangan, yang ditinggali oleh Syî'ah, Mu'tazilah, Khawârij, dan
lain sebagainya. Dengan demikian, Sunni yang dimaksud di sini adalah kelompok
besar yang mencakup salafî, kalâmî asy'arî-mâturidî, dan shûfî-sunnî (untuk
membedakannya dari shûfî-falsafî seperti Ibn ‘Arabî). Perselisihan faham
teologis diantara shûfî-sunnî dan salafî, yang biasanya berujung pada klaim
paling berhak menyandang gelar sunni misalnya, tak perlu diangkat.
Dengan memasukkan unsur tafsir pada
pemetaan ini, bisa kita kemukakan, bahwa dalam tradisi Sunni terdapat tiga
aliran tafsir: ittijâh salafî, ittijâh kalâmî, dan ittijâh shûfî. Termasuk
aliran yang pertama adalah tafsir Ibn Katsîr, dan termasuk aliran yang kedua
adalah Attafsir al-Kabîr-nya Fakhrur Râzî, sementara diantara tafsir yang
ketiga adalah Lathâiful Isyârât-nya Imam Al-Qusyairî. Menilik posisi aliran-aliran
ini yang berada di rumah besar Sunni, sudah barang tentu mereka memiliki garis
besar metode yang sama, misalnya tafsîrul Qur`ân bil Qur`ân, bil hadîts, bi
aqwâlish shahâbah, bi aqwâlittâbi'îin, dan billughah yang mencakup misalnya:
makna lafadz yang ditafisiri harus sesuai dengan bahasa Arab; al-Qur'an harus
ditafsirkan dengan yang umum dalam bahasa; dalam menentukan makna harus sesuai
dengan konteks (assiyâq); dalam menafsirkan harus memperhatikan situasi sabab
nuzûl dan alur cerita (qishshah); mendahulukan ma'na syar'î ketimbang ma'na
‘urfî; dan lain sebagainya.
Ini berbeda misalnya dari
tafsir-tafsir di luar tradisi Sunni yang tak menerima semua konsep-konsep
tafsir di muka secara sempurna. Syiah misalnya, tak menerima hadits-hadits yang
ditransmisikan melalui sanad Sunni, walau konsep dasarnya mengenai tafsîr bil
ma`tsûr sama. Contoh lain adalah Mu'tazilah yang terlalu mudah membuang hadits,
apalagi atsar sahabat dan tabi'în, jika tampak bertentangan dengan arra`yu,
sehingga mengurangi keutuhan konsep tafsîr bil ma`tsûr. Begitu juga dengan
tafsîr falsafî yang berani "melampaui" makna nash ayat dengan konsep
dialektika khithâbî-burhânî-nya, atau tafsîr shûfî nadzarî yang merambah ke
wilayah bâthin teks dan meninggalkan dzâhir-nya. Ayat 17 QS Al-Hâqqah[1]
misalnya, tafsirnya dibiarkan apa adanya sesuai dengan pemahaman
"masyarakat awam", akan tetapi bagi para filsuf, ‘arsy diartikan
sebagai planet ke sembilan yang merupakan mahaplanet, sementara delapan
malaikat yang menyangganya adalah delapan planet yang bermarkas di bawahnya.
Dan ayat 6-7 QS Al-Baqarah[2], oleh Ibn ‘Arabî, melalui konsep
dzâhir-bâthin-nya ditafsirkan, bahwa orang-orang kafir itu menutupi kecintaan
mereka atas Allah, sehingga peringatan-peringatan Nabi Muhammad SAW. tak akan
mereka imani, karena telah sibuk hanya dengan Allah SWT.
Di luar kesamaan-kesamaan metode di
atas, aliran-aliran Sunni juga memiliki sejumlah perbedaan, terutama menyangkut
tafsîr birra'yi. Misalnya pendekatan aliran kalâmî terhadap ayat-ayat
shifâtiyah, yang ditolak keras oleh aliran salâfî. Imam Fakhrur Râzî yang
dianggap sebagai mufassir yang berhasil menyuguhkan teks-teks al-Quran sebagai
hidangan teologis Asy'ariyah menjadi sorotan tajam aliran Salafî. Ibn Taimiyah,
pentolan aliran ini, bahkan menyampaikan grundelannya terhadap attafsîr
al-kabîr anggitannya: "fîhi kullu syai'in illâ attafsîr", tafsir
tersebut memuat segala hal kecuali tafsir itu sendiri. Contoh lain adalah
pendekatan isyârî yang dikenalkan oleh aliran shûfî-sunnî, yang bukan saja ditolak
oleh aliran salafî, tapi juga oleh sejumlah kalangan dari aliran kalâmî.
Tafsir isyârî adalah tafsir yang
menta'wili ayat-ayat al-Quran tidak sesuai dengan apa yang dzahir, melalui
petunjuk dari isyarat-isyarat esotoris yang hanya diberikan kepada mereka yang
telah sempurna dalam meniti jalan menuju Allah SWT. Model penafsiran ini murni
mengandalkan ilham dari Allah SWT. tanpa terikat secara ketat dengan logika
bahasa, keselarasan konteks, dan dukungan premis-premis ilmiah. Dalam hal ini,
seorang mufassir diwajibkan untuk selalu mengisi hatinya hanya dengan dzikir
Allah SWT, sehingga saat ia membaca Al-Quran Allah membuka hatinya untuk
menerima pencerahan-pencerahan baru yang terkandung di dalam
isyarat-isyaratnya. "Wa'allamnâhu milladunnâ ‘ilmâ". QS. Al-Kahfi :
65. Sahl Attustarî (200-283 H.) , seorang sufi kenamaan, saat membaca ayat 22
QS Al-Baqarah[3], seperti mendapat ilham dari ‘âlamul malakût, bahwa andâd
terbesar adalah hawa nafsu yang selalu mengajak kepada kejelekan, menyimpang
dari tafsir dzharinya yang adalah berhala-berhala sesembahan orang-orang kafir.
Dengan menafsiri andâd dengan nafs ammârah, Attustarî tidak bermaksud menafikan
makna dzharinya tersebut, akan tetapi itu hanya sebagai "tafsir lain"
yang ditimpakan ke dalama hatinya melalui penghampiran total kepada Allah SWT.
Tafsir isyârî atau faidhî yang
lahir dalam tradisi tasawwuf sunnî demikian ini sangat problematis. Di satu
sisi ia terpancarkan dari hati bening para peniti jalan kesucian, akan tetapi
pada sisi lain ia seperti melahirkan logika bahasa baru yang mustahil tersentuh
oleh pengalaman normal. Imam An-Nasafî, penganut tradisi tafsîr kalâmî,
mengecam model penafsiran tersebut, karena telah menarik lafadz-lafadz al-Quran
dari habitat dzahirnya. Menurut dia, menggeser lafadz al-Quran dari konteks
dzahirnya adalah bentuk ilhâd.
Selain pemetaan
salafî-kalâmî-shûfî, tradisi tafsir sunni juga terkelompokkan dalam sejumlah
corak atau warna tafsir. Sebut saja misalnya, tafsîr fiqhî, tafsîr lughowî,
tafsîr adabî, tafsir ijtimâ'î-hudâ`î, dan tafsîr ‘ilmî. Tafsîr fiqhî adalah
salah satu tafsir yang paling mulus dan tak banyak dipersoalkan. Jika ta'wil
hanya berarti mencari tahu hukum Allah (ta'wîl fiqhî) pada semua kasus yang
terjadi di muka bumi, maka hampir pasti semua aliran sunni tak akan mempermasalahkan
legalitasnya. Dalam khazanah sunni, tak ada satu aliran pun yang berani menarik
diri dari keterkaitan dengan hukum syar'î, sehingga ta'wîl fiqhî dengan
demikian mutlak diperlukan. Dan untuk memenuhi kebutuhan ini, sejumlah tafsîr
fiqhî telah lahir, seperti Ahkâmul Qur`ân karya Ibn al-‘Arabî dan Ahkâmul
Qur`ân karya al-Jashshâs.
Tafsîr lughawî lahir dari satu
kenyataan bahwa al-Quran diturunkan melalui media bahasa Arab yang jelas.
"dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad)
agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan,
dengan bahasa Arab yang jelas." QS. Asy-Syu'arâ`:193-195. Sehingga untuk
memahaminya diperlukan penguasaan yang sangat baik terhadap tatabahas dan
kosakata Arab. Ini adalah syarat mutlak bagi mufassir. Di sinilah kemudian
lahir buku-buku tafsir yang banyak atau bahkan khusus membahas sintaksis dan
morfologi Arab. Sebut misalnya Ma'ânil Qur`ân, karya Imam Al-Farrâ', Ma'ânil
Qur`ân karya Az-Zajjâj, Addurrul Mashûn karya Assamîn al-Halabî, dan lain
sebagainya.
Tafsîr adabî adalah bentuk
pertanggungjawaban ulama-ulama Islam untuk menjelaskan nilai sastra al-Quran
yang diyakini mengandung i'jâz. Corak tafsir ini banyak dielaborasi oleh
kalangan Mu'tazilah seperti Al-Jahidz (163-255 H.), ar-Rummânî (296-384 H.) dan
al-Marzabânî (297-394 H.), yang pada generasi belakangan lahirlah
al-Kasysyâf-nya Imam az-Zamakhsyarî (467-538 H.). Belakangan, generasi Sunni
juga merambah wilayah ini, seperti Imam al-Bâqilânî (328-402 H.), Abdul Qâhir
al-Jurjânî (w. 471 H.), dan kemudian generasi Imam Baidlowî (w. 685 H.) yang
mengintisarikan kandungan sastra tafsîr al-Kasysyâf dengan membuang teologi
i'tizîli-nya. Dan di era modern, corak adabî ini dielaborasi lebih mendalam
oleh Amîn al-Khoulî (1895-1966 M.) dengan asumsinya bahwa al-Quran adalah karya
sastra, sebelum merupakan yang lainnya. Kata dia, "Al-Qur`ân huwa kitâbul
‘arabiyah al-akbar", al-Quran adalah karya sastra adi agung. Ia adalah
milik umum bangsa Arah, sebelum merupakan petunjuk bagi umat Islam. Dengan ini,
al-Quran mutlak harus didekati dengan teori-teori sastra dan linguistik.
Sebagai pengampu matakuliah sastra Arab di Cairo University, pengaruhnya sangat
besar di Mesir yang saat itu merupakan kiblat akademik di Arab. Bola ilmiah yang
ia gulirkan terus menggelinding, lalu ditangkap oleh dua arus: arus klasik, dan
arus modern-sekuler. Yang pertama diwakili oleh istrinya, Binti asy-Syâthi'
(1912-1998 M.) yang menelurkan terori tafsîr bayânî, dan yang kedua diwakili
oleh muridnya, Muhammad Ahmad Khalafullâh (1904-1983 M.) yang menelurkan
tinjauan sastra terhadap kisah-kisah al-Qur'an, al-Fann al-Qashashî fil-Qur`ân
al-Karîm. Yang keterakhir ini kemudian semakin berkembang hingga menarik
al-Quran pada wilayah linguistik modern seperti semiotika, semantika, dan
hermeneutika yang oleh banyak pakar Sunni dianggap telah keluar dari
"rumah besar Sunni".
Tafsîr ijtimâ'i-hudâ`î yang
dipelopori oleh Muhammad Abduh (1849-1905 M.) ini muncul dari keresahan melihat
tafsir-tafsir yang berkembang hingga saat itu, di mana pesan-pesan al-Quran
sebagai petunjuk (hudan) seperti tenggelam dalam lautan pembahasan tatabahasa,
balaghah, ilmu kalam, dan falsafat yang melingkupi teks-teks al-Quran. Setelah
mendalami al-Kasysyâf misalnya, pembaca keluar dari itu dengan membawa ilmu
balaghah. Atau menyeami at-Tafsîr al-Kabîr-nya Fakhr Râzî, pembaca akan semakin
mengetahui teologi-teologi Asy'ariyah. Begitu juga ketika membaca al-Jâmi' li
Ahkâm al-Qur`ân-nya al-Qurthubî, pembaca akan disuguhi hidangan fiqih. Di semua
itu, al-Quran sebagai petunjuk yang menerangi jalan hidup insan Muslim seperti
absen, dan hanya sesekali saja muncul dalam gemuruh pembahasan-pembahasan
pendamping. Dari keresahan ini, Abduh memperkenalkan model penafsiran yang
concern utamanya adalah menggali petunjuk-petunjuk al-Quran untuk membaca umat
Islam dari keterbelakangan. Corak tafsir yang dikenalkan oleh Abduh ini
kemudian menjadi populer, dan memiliki pengaruh yang luas, terutama setelah
dikenalkan oleh muridnya, Rasyîd Ridlâ (1865-1935 M), lalu oleh Syaikhul Azhar,
al-Marâghî (1881-1945 M.).
Tafsîr ‘ilmî, atau tafsir
saintifik, dibangun diatas keyakinan bahwa agama yang benar dan ilmu
pengetahuan adalah dua saudara yang saling membantu menuju yang haqq. Agama
yang benar termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat Qur'âniyah, sementara ilmu
pengetahuan termanifestasikan dalam bentuk âyat-âyat kawniyah. Keduanya tak
mungkin saling bertentangan, karena sama-sama diciptakan oleh Allah SWT. yang
Maha Mengetahui. Barangkali orang pertama yang mengenalkan corak tafsir seperti
ini adalah Imam al-Ghazâlî (w. 520 H.) dalam bukunya, Jawâhirul Qur`ân. Namun
tampaknya lemparan al-Ghazâlî ini kurang mendapatkan tempat di hati para pakar
saat itu. Bahkan Imam asy-Syâthibî (w. 790 M.) dalam bukunya, al-Muwâfaqât sangat
menentang upaya-upaya tersebut, dengan dalih al-Quran diturunkan kepada
masyarakat yang ummî, yang tak mengenal ilmu pengetahuan sejauh itu. Menurut
dia, al-Quran harus dipahami seperti saat pertama diturunkan. Di era modern,
saat hampir seluruh dunia Islam tunduk dalam kolonialisme Barat, umat Islam
terpuruk bukan saja peradabannya, akan tetapi juga mentalnya. Agar mereka
bangkit, kepala mereka harus ditegakkan terlebih dahulu. Di antaranya dengan
menumbuhkan percaya diri terhadap peradaban yang pernah mereka bangun. Dan itu
salah satunya ditemukan dalam kitab suci mereka, yaitu al-Quran. Bahwa
kemajuan-kemajuan Barat di bidang teknologi, ilmu alam, dan ilmu-ilmu
pengetahuan lainnya sejatinya telah disampaikan oleh al-Quran secara gamblang
atau dalam bentuk isyarat-isyarat. Di sinilah nama Thanthâwî Jauharî (1870-1940
M.) menjadi sangat terkenal. Ia dengan piawai menunjukkan dalam tafsirnya,
al-Jawâhir fî Tafsîr al-Qur`ân al-Karîm, bahwa sekian banyak teori-teori alam
yang ditemukan di era modern sebetulnya telah disampaikan oleh al-Quran.
0 Response to "Mengenal Tafsir Sunni"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!