Imam Bukhari, Perawi Hadits yang Utama
Imam Bukhari, Perawi Hadits yang Utama
Nama sebenarnya adalah Muhammad bin
Ismail bin Ibrahim dijuluki Al-Mughirah bin Bardizbah. Namun ia dikenal dengan
sebutan Imam Bukhari. Ia lahir di Bukhara pada tahun 194 H.
Semua ulama, baik dari gurunya maupun dari sahabatnya memuji dan mengakui
ketinggian ilmunya. Ia seorang Imam yang tidak tercela hapalan haditsnya dan
kecermatannya. Bukhari mulai menghapal hadits ketika umurnya belum mencapai 10
tahun. Ia mencatat lebih dari seribu guru, hapal 100.000 hadits shahih dan
200.000 hadits tidak shahih.
Karyanya yang amat masyhur di dunia Islam adalah "Al-Jami’us Shahih
Al-Musnad min Haditsi Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi" yang kemudian
terkenal dengan nama kitab "Shahih Al-Bukhari". Kata “Bukhari”
sendiri maknanya adalah orang dari negeri Bukhara. Jadi kalau dikatakan
"Imam Bukhari", maknanya ialah seorang tokoh dari negeri Bukhara.
Bukhari lahir pada hari Jum’at, 13 Syawal 194 H di tengah-tengah keluarga yang
mencintai ilmu sunnah Nabi Muhammad SAW. Ayahnya, Ismail bin Ibrahim bin
Al-Mughirah, adalah seorang ulama ahli hadits yang meriwayatkan hadits-hadits
Nabi dari Imam Malik bin Anas, Hammad bin Zaid, dan sempat pula berpegang
tangan dengan Abdullah bin Mubarak. Riwayat-riwayat Ismail bin Ibrahim tentang
hadits Nabi tersebar di kalangan orang-orang Irak.
Ayah Bukhari meninggal dunia ketika ia masih kecil. Di saat menjelang wafatnya,
Ismail bin Ibrahim sempat membesarkan hati anaknya yang masih kecil sembari
berpesan, "Aku tidak mendapati pada hartaku satu dirham pun dari harta
yang haram atau satu dirham pun dari harta yang syubhat."
Tentu anak yang ditumbuhkan dari harta yang bersih dari perkara haram atau
syubhat akan lebih baik dan mudah dididik kepada yang baik. Sehingga sejak
wafatnya sang ayah, Bukhari hidup sebagai anak yatim dalam dekapan kasih sayang
ibunya.
Muhammad bin Ismail atau Bukhari kecil mendapat perhatian penuh dari ibunya.
Sejak usia belia ia telah hapal Alquran dan tentunya belajar membaca dan
menulis. Kemudian pada usia sepuluh tahun, Bukhari mulai bersemangat mendatangi
majelis-majelis ilmu hadits yang tersebar di berbagai tempat di negeri
Bukhara.
Pada usia sebelas tahun, dia sudah mampu menegur seorang guru ilmu hadits yang
salah dalam menyampaikan urut-urutan periwayatan hadits (yang disebut sanad).
Masa kanak-kanaknya dihabiskan dalam kegiatan menghapal ilmu dan memahaminya
sehingga ketika menginjak usia remaja (enam belas tahun), ia telah hapal
kitab-kitab karya imam-imam ahli hadits dari kalangan tabi’it tabi’in (generasi
ketiga umat Islam), seperti karya Abdullah bin Mubarak, Waqi’ bin Jarrah, dan
memahami betul kitab-kitab tersebut.
Di awal usianya yang ke-18, Bukhari diajak ibunya bersama kakaknya yang bernama
Ahmad bin Ismail berangkat ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji. Sesampainya
di Makkah, Bukhari mendapati Kota Suci itu penuh dengan ulama ahli hadits yang
membuka halaqah-halaqah ilmu. Tentu saja kondisi ini semakin menggembirakan
hatinya. Oleh karena itu, setelah selesai pelaksanaan ibadah haji, ia tetap
tinggal di Makkah sementara kakak kandungnya kembali ke Bukhara bersama
ibunya.
Ia pergi bolak-balik antara Makkah dan Madinah, kemudian akhirnya mulai menulis
biografi para tokoh. Sehingga lahirlah untuk pertama kalinya karya tulis dalam
bidang ilmu hadits yang berjudul "Kitabut Tarikh". Ketika kitab
karyanya ini mulai tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam, khalayak ramai
mulai memperbincangkan tokoh ilmu hadits tersebut dan semua orang amat
mengaguminya.
Imam Bukhari pun akhirnya terkenal di berbagai negeri Islam. Ketika ia
berkeliling ke berbagai penjuru negeri, para ulama ahli hadits menghormatinya.
Bukhari berkeliling ke berbagai negeri pusat-pusat ilmu hadits seperti Mesir,
Syam, Baghdad (Irak), Bashrah, Kufah dan lain-lainnya.
Di saat berkeliling ke berbagai negeri itu, pada suatu hari, ia duduk di
majelisnya Ishaq bin Rahuyah. Di sana ada satu saran dari hadirin untuk kiranya
ada upaya mengumpulkan hadits-hadits Nabi dalam satu kitab. Dengan usul ini
mulailah Bukhari menulis kitab shahihnya dan kitab tersebut baru selesai dalam
tempo enam belas tahun sesudah itu.
Ia menuliskan dalam kitab ini hadits-hadits yang diyakininya shahih setelah
menyaring dan meneliti enam ratus ribu hadits. Dan seluruhnya dikumpulkan dalam
Kitab Shahih-nya yang kemudian terkenal dengan nama kitab Shahih Al-Bukhari.
Kitab ini pun mendapat pujian dan sanjungan dari berbagai pihak di seantero
negeri-negeri Islam. Sehingga ketokohannya dalam ilmu hadits semakin diakui
kalangan luas di dunia Islam. Para imam-imam ahli hadits sangat memuliakannya,
seperti Imam Ahmad bin Hanbal, Ali bin Al-Madini, Yahya bin Ma`in dan lain-lainnya.
Karya-karya Bukhari dalam bidang hadits terus mengalir dan beredar di dunia
Islam. Kepiawaiannya dalam menyampaikan keterangan tentang berbagai kerumitan
di seputar ilmu hadits di berbagai majelis ilmu bersinar cemerlang. Tak heran
jika majelis-majelis ilmu Imam Bukhari selalu dijejali ribuan para penuntut
ilmu.
Dan bila ia memasuki suatu negeri, puluhan ribu bahkan ratusan ribu kaum
Muslimin menyambutnya di perbatasan kota karena beberapa hari sebelum
kedatangannya, telah tersebar berita akan datangnya imam ahli hadits. Kaum
Muslimin pun berjejalan di pinggir jalan yang akan dilewatinya, hanya untuk
sekedar melihat wajahnya atau kalau bernasib baik, kiranya dapat bersalaman
dengannya.
Ketika akan kembali ke tanah kelahirannya di Bukhara, penduduk setempat
melakukan berbagai persiapan untuk menyambutnya di pintu kota. Bahkan warga
membangun gapura penyambutan di tempat yang berjarak satu farsakh (kurang lebih
5 kilometer) sebelum masuk kota Bukhara.
Dan ketika Imam Bukhari sampai di gapura “selamat datang” tersebut, ia
mendapati hampir seluruh penduduk negeri Bukhara menyambutnya dengan penuh suka
cita. Sampai-sampai disebutkan bahwa penduduk melemparkan kepingan emas dan
perak di jalan yang akan diinjak oleh telapak kaki Bukhari. Mereka berdiri di
kedua sisi jalan masuk kota Bukhara sambil berebut memberikan buah anggur yang
istimewa kepada sang Imam Ahlul Hadits yang amat mereka cintai itu.
Tetapi suka cita penduduk negeri Bukhara ini tidak berlangsung lama. Beberapa
hari setelah itu, para ahli fikih mulai resah dengan beberapa perubahan pada
cara beribadah orang-orang Bukhara. Yang berlaku di negeri tersebut adalah
madzhab Hanafi, sedangkan Bukhari mengajarkan hadits sesuai dengan pengertian
ahli hadits yang tidak terikat dengan madzhab tertentu. Sehingga yang nampak
pada masyarakat ialah sikap-sikap yang diajarkan oleh Ahli Hadits, dan bukan
pengamalan madzhab Hanafi.
Dengan berbagai perubahan ini keresahan para ulama fiqih tambah menjadi-jadi
sehingga tokoh ulama fiqih di negeri tersebut yang bernama Huraits bin Abi
Wuraiqa’ menganggap Imam Bukhari sebagai seorang pengacau yang akan merusak
kehidupan keagamaan di kota itu. Maka Huraits dan kawan-kawannya mulai
memengaruhi Gubernur Bukhara, Khalid bin Ahmad As-Sadusi Adz-Dzuhli, agar
mengusir Imam Bukhari ini.
Gubernur Khalid pernah meminta Bukhari datang ke istananya untuk mengajarkan
kitab At-Tarikh dan Shahih Al-Bukhari bagi anak-anaknya. Namun Imam Bukhari
menolak permintaan gubernur tersebut. "Aku tidak akan menghinakan ilmu ini
dan aku tidak akan membawa ilmu ini dari pintu ke pintu. Oleh karena itu bila
anda memerlukan ilmu ini, maka hendaknya anda datang saja ke masjidku atau ke
rumahku. Bila sikapku yang demikian ini tidak menyenangkanmu, engkau adalah
penguasa. Silakan engkau melarang aku untuk membuka majelis ilmu ini agar aku
punya alasan di sisi Allah di hari kiamat, bahwa aku tidaklah menyembunyikan
ilmu (tetapi dilarang oleh penguasa untuk menyampaikannya)," ujarnya.
Tentu saja gubernur Khalid sangat kecewa dengan jawaban ini. Maka berkumpullah
padanya hasutan Huraits bin Abil Wuraiqa’ dan kawan-kawan serta kekecewaan
pribadinya. Gubernur Khalid akhirnya mengusir Imam Bukhari dengan paksa.
Bukhari meninggalkan Bukhara dengan penuh kekecewaan dan dilepas penduduk
dengan penuh kepiluan. Ia berjalan menuju Desa Bikanda kemudian berjalan lagi
ke desa Khartanka, yang keduanya adalah desa-desa negeri Samarkand. Di desa
terakhir inilah ia jatuh sakit dan dirawat di rumah salah seorang kerabatnya di
desa itu.
Dalam suasana hati yang terluka, tubuhnya yang kurus kering di usia ke-62
tahun, Bukhari berdoa mengadukan segala kepedihannya kepada Allah. "Ya
Allah, bumi serasa sempit bagiku. Tolonglah ya Allah, Engkau panggil aku
keharibaan-Mu."
Dan sesaat setelah itu, ia pun menghembuskan nafas terakhir. Ia wafat pada
malam Sabtu di malam hari Raya Idul Fitri 1 Syawwal 256 H. Sebelum
menghembuskan nafas terakhir, ia sempat berwasiat agar mayatnya nanti dikafani
dengan tiga lapis kain kafan tanpa imamah (ikat kepala). Ia juga berwasiat agar
kain kafannya berwarna putih.
Semua wasiat itu dilaksanakan dengan baik oleh kerabat yang merawat jenasahnya.
Imam Bukhari dikuburkan di desa itu di hari Idul Fitri 1 Syawal 256 H, setelah
shalat Dzuhur.
Sumber: republika.co.id
0 Response to "Imam Bukhari, Perawi Hadits yang Utama"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!