Qardhawi: Hukum Berduaan dengan Tunangan
Qardhawi: Hukum Berduaan dengan Tunangan
Khitbah (meminang, melamar,
bertunangan) menurut bahasa, adat, dan syara',
bukanlah perkawinan. Ia hanya merupakan mukadimah (pendahuluan)
bagi perkawinan dan pengantar ke sana.
Seluruh kitab kamus membedakan antara kata-kata
"khitbah" (melamar) dan "zawaj" (kawin); adat
kebiasaan juga membedakan antara lelaki yang sudah meminang (bertunangan)
dengan yang sudah kawin; dan syari'at membedakan secara
jelas antara kedua istilah tersebut. Karena itu, khitbah tidak lebih dari
sekadar mengumumkan keinginan untuk kawin dengan wanita
tertentu, sedangkan zawaj (perkawinan) merupakan akad yang mengikat dan
perjanjian yang kuat yang mempunyai batas-batas, syarat-syarat, hak-hak, dan
akibat-akibat tertentu.
Al Qur'an telah mengungkapkan kedua perkara tersebut, yaitu ketika
membicarakan wanita yang kematian suami. "Dan tidak ada dosa
bagi kamu meminang wanita-wanita (yang suaminya telah meninggal dan masih dalam
'iddah) itu dengan sindiran atau kamu
menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam
hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan
menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu mengadakan janji
kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekadar mengucapkan
(kepada mereka) perkataan yang ma'ruf (sindiran yang baik). Dan janganlah kamu
ber'azam (bertetap hati) untuk berakad nikah sebelum habis 'iddahnya." (QS
Al-Baqarah: 235)
Khitbah, meski bagaimanapun dilakukan berbagai upacara, hal itu
tak lebih hanya untuk menguatkan dan memantapkannya
saja. Dan khitbah bagaimanapun keadaannya tidak akan dapat
memberikan hak apa-apa kepada si peminang melainkan hanya
dapat menghalangi lelaki lain untuk meminangnya, sebagaimana disebutkan dalam
hadits, "Tidak boleh salah seorang diantara kamu meminang
pinangan saudaranya." (Muttafaq Alaih)
Karena itu, yang penting dan harus diperhatikan di sini bahwa wanita yang
telah dipinang atau dilamar tetap merupakan orang
asing (bukan mahram) bagi si pelamar sehingga
terselenggara perkawinan (akad nikah) dengannya. Tidak boleh si wanita
diajak hidup serumah (rumah tangga) kecuali
setelah dilaksanakan akad nikah yang benar menurut syara', dan rukun
asasi dalam akad ini ialah ijab dan kabul. Ijab dan kabul adalah lafal-lafal
(ucapan-ucapan) tertentu yang sudah dikenal dalam adat dan syara'.
Selama akad nikah dengan ijab dan Kabul ini belum terlaksana, maka
perkawinan itu belum terwujud dan belum terjadi, baik menurut adat,
syara', maupun undang-undang. Wanita tunangannya tetap sebagai orang asing bagi
si peminang (pelamar) yang tidak halal bagi
mereka untuk berduaan dan bepergian berduaan tanpa disertai salah seorang
mahramnya seperti ayahnya atau saudara laki-lakinya.
Menurut ketetapan syara', yang sudah dikenal bahwa
lelaki yang telah mengawini seorang wanita lantas
meninggalkan (menceraikan) isterinya itu sebelum ia mencampurinya,
maka ia berkewajiban memberi mahar kepada isterinya separuh harga.
Allah berfirman, "Jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum
kamu mencampuri mereka, padahal sesungguhnya kamu telah menentukan maharnya,
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali
jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan
oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (QS Al-Baqarah: 237)
Adapun jika peminang meninggalkan (menceraikan) wanita
pinangannya setelah dipinangnya, baik selang waktunya itu
panjang maupun pendek, maka ia tidak punya kewajiban apa-apa kecuali
hukuman moral dan adat yang berupa celaan dan cacian. Kalau demikian
keadaannya, mana mungkin si peminang akan diperbolehkan berbuat terhadap
wanita pinangannya sebagaimana yang diperbolehkan bagi orang yang
telah melakukan akad nikah.
Karena itu, yang sudah mampu, hendaklah segera melaksanakan
akad nikah dengan wanita tunangannya itu.
Jika itu sudah dilakukan, maka semua yang ditanyakan tadi diperbolehkanlah.
Dan jika kondisi belum memungkinkan, maka sudah selayaknya ia
menjaga hatinya dengan berpegang teguh pada agama dan
ketegarannya sebagai laki-laki, mengekang nafsunya dan mengendalikannya
dengan takwa. Sungguh tidak baik memulai sesuatu dengan melampaui
batas yang halal dan melakukan yang haram.
Saya nasihatkan pula kepada para bapak dan para wali agar
mewaspadai anak-anak perempuannya, jangan gegabah membiarkan mereka
yang sudah bertunangan. Sebab, zaman itu selalu
berubah dan, begitu pula hati manusia. Sikap gegabah pada
awal suatu perkara dapat menimbulkan akibat yang pahit dan getir.
Sebab itu, berhenti pada batas-batas Allah merupakan tindakan lebih tepat
dan lebih utama.
"...Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang
yang zhalim." (QS Al-Baqarah: 229)
"Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, serta takut
kepada Allah dan bertakwa kepada-Nya, maka mereka
adalah orang-orang yang mendapat kemenangan." (QS An Nur: 52)
0 Response to "Qardhawi: Hukum Berduaan dengan Tunangan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!