Haji dan Ideologi Kekuasaan
Kekhasan haji
sebagai ibadah Mahdhah antar lain disebabkan, karena ia menggabungkan dua unsur
sekaligus; fisik dan finansial (ibadah jasadiyah wa maaliyah). Berbeda dengan
Shalat dan puasa yang hanya melibatkan fisik (ibadah jasadiyah). Juga berbeda
dengan zakat yang semata-mata ibadah maaliyah tanpa melibatkan jasad.
Jadi haji
memang ibadah yang unik. Seseorang yang hanya memiliki kemampuan fisik atau
dana saja, tidaklah menjadi jaminan untuk menunaikan haji. Sekian banyak orang
sehat, tapi tidak memiliki dukungan maaliyah, begitu juga sebaliknya, akhirnya
mereka tidak dapat berhaji.
Juga menarik,
satu-satunya rukun Islam yang diambil menjadi nama surat dalam Alqur'an
hanyalah haji dengan surat al-haj.
Ada poin
essensial dalam haji yang justru banyak dilupakan orang termasuk yang melakukan
manasik itu sendiri, yaitu ketergantungan (tidak sekedar keterkaitan) haji
dengan Tauhid.
Adalah jarang
kita mendengar, dalam pelajaran manasik, masalah haji dan tauhid dibahas. Yang
lebih dominan adalah pembahasan haji dari sudut pandang hukum (fiqh),
mempersoalkan mana yang rukun, wajib dan sunnat haji?
Umpamanya,
bagaimana kalau wudhu' batal di tengah tawaf, karena bersenggolan dengan wanita
yang bukan mahramnya, dalam mazhab Syafii. Bagaimana batu yang digunakan untuk
melontar Jamrah, bukan dari Muzdalifah, dan persoalan yang sejenisnya.
Padahal, haji
mengandung pelajaran penting bagi 'Aqidah seorang Muslim. Seharusnya, yang
banyak diperhatikan oleh jamaah haji adalah evaluasi terhadap pemahaman tauhid
yang ada pada diri masing-masing. Apakah pemahamannya selama ini tentang
syahadat tauhid sudah benar atau belum.
Jika ilmu
tentang syahadat sudah ia miliki, bagaimana implementasinya dalam kehidupan?
Apakah ilmu itu sudah membuahkan hasil tunduk dan pasrah secara mutlak kepada
Allah Swt? Apakah mereka sudah benar-benar mengilahkan (menuhankan) Allah swt
atau belum?
Jika ya,
niscaya akan terlihat efeknya dalam sepak terjangnya. Bila ia seorang politisi,
tentunya ia tidak akan haus jabatan dan pemburu kekuasaan. Jika ia seorang
pebisnis, tentu ia tidak menuhankan keuntungan materi.
Jadi
pertanyaan-pertanyaan ini perlu dihidupkan terus menerus oleh para jamaah, agar
kepergiannya ke tanah haram membuahkan hasil berupa perubahan dalam garis
hidupnya. Tanpa melakukan ini, besar kemungkinan tidak ada yang berubah,
sehingga setelah ia kembali dari haji, mentalnya sama seperti ketika ia belum
berangkat.
Jika ia
melakukan korupsi sebelum haji, maka setelah hajipun perbuatan haram itu masih
tetap berlanjut. Jika sebelum haji, ia hampir tidak pernah datang ke masjid, maka
setelah hajipun ia juga jarang berjamaah ke masjid.
Tidak sedikit
muslim bahkan aktifis Islam, yang bolak balik haji dan umroh (bahkan iktikaf
asyrul awakhir bulan Ramadhan di Masjidil Haram), tapi sesampainya di tanah
air, watak aslinya tetap muncul, enggan salat berjamaah di Masjid, ambisi
kekuasaannya sampai ke ubun-ubun, kehausannya pada kesenangan duniawi
mengalahkan kaum kuffar.
Manusia semacam
ini, jelas mengkhianati iqrar tauhid yang ia ucapkan dalam manasik haji atau
umroh.
Ada sejumlah
praktik manasik yang sangat kental nuansa Tauhidnya, kendatipun secara umum
manasik sebenarnya, berkait erat dengan wahdaniyah Allah Swt., antara lain:
1. Lafaz
Talbiyah.
Pertama sekali
pelajaran tauhid ada dalam kalimat talbiyah yang dikumandangkan setiap muhrim
(pemakai ihram), baik haji ataupun umroh.
Dalam kalimat
itu, dua kali berulang ungkapan 'La Syarika lak' (tidak ada sekutu bagiMu).
Sebuah deklarasi penolakan terhadap segala bentuk penuhanan pada selain Allah
Swt. Ini berarti orang tersebut tidak akan menuhankan kekuasaan, materi, harta,
hawa nafsu, dan Ilah-ilah lainnya.
Namun jika
fakta di lapangan menunjukkan berbeda dengan iqrar tersebut, berarti di sana
sedang terjadi pengkhianatan, atau lebih halusnya, sedang berlangsung pemupukan
kemunafikan. wal 'iyazu billah.
2. Tawaf.
Apalagi jika
kita renungkan tawaf (mengelilingi) baitullah, maka suhu tauhid semakin membara
di dalam kalbu muhrim. Dari awal putaran ia mulai dengan kalimat Takbir:
'Bismillah Allahu Akbar'. Yang besar di matanya hanya Allah. Semua makhluk
adalah kecil. Pikirannya menjadi terpusat pada Robb hazal bait (Pemilik rumah
Allah). Lidahnya hanya mengucapkan pujian, tasbih, mengakui kemaha agungan
Allah swt.
3. Figur
Sejarah.
Tak kalah
pentingnya dalam pengokohan tauhid pada ibadah haji, ialah Nabi Ibrahim sebagai
figur yang banyak terkait dengan asal usul manasik. Mulai dari upaya keras
membangun ka'bah. Berlari bolak balik dari Safa ke Marwa. Melempar jamrah yang
diambil dari praktik melempar syaitan yang menggoda Ibrahim a.s agar menggagalkan
penyembelihan anaknya Isma'il a.s.
Ada apa dengan
Ibrahim? Ia adalah figur yang menjadi simbol tauhid. Permusuhannya terhadap
paganisme diabadikan di dalam alqur'an surat al-Anbiya'.
Pada awalnya ia
hanya sendirian dengan tegar berani melawan kekuatan thoghut pada zamannya yang
memaksakan kemusyrikan. Ibrahim melawannya dengan demonstratif. Ia hancurkan
seluruh patung yang dipertuhan oleh kaumnya dan menyisakan hanya satu patung
yang terbesar. Keberaniannya berdebat melawan raja dan melecehkan kaum paganis
dengan menyuruh mereka bertanya kepada patung tentang pelaku pengrusakan
Tuhan-tuhan mereka.
Ternyata dalam
pandangan Allah, pendapat sedikit atau banyak orang sama sekali tidak ukuran
bagi kebenaran. Belum tentu pendapat terbanyak itu benar dan pendapat sedikit
orang itu salah. Bahkan Ibrahim di zamannya hanya sendirian, tapi di mata Allah
ia dihitung ummat 'inna Ibrahim kaana ummah'.
Jadi demokrasi
yang mendasarkan pada pendapat terbanyak adalah prinsip yang batil. Kebenaran
tidak boleh diukur dari jumlah pendukungnya, tetapi diukur dari esensi sebuah
pendapat. Jika ia diusung oleh hujjah yang kuat, maka itulah kebenaran,
sementara pendapat yang didukung oleh hawa nafsu dinilai salah dan runtuh,
walaupun pendukungnya mayoritas.
Sikap Ibrahim
dan pengikutnya mendapat pujian langsung dari Allah swt dan di dalam surat
al-mumtahanah. Kita disuruh untuk meneladaninya, wabil khusus sikap
ideologisnya yang tak mengenal kompromi.
Ibrahim dan pengikutnya
dengan tegas mengatakan: 'Kami berlepas dari kalian dan dari sembahan kalian.
Kami menolak kamu dan telah tampak permusuhan dan kebencian antara kami dan
kalian untuk selamanya sampai kalian beriman hanya kepada Allah.' Masya Allah,
sungguh menggetarkan ketegasan Nabi Ibrahim dalam bersikap menghadapi musuh
aqidah mereka, yakni tidak menerima kompromi, menampakkan permusuhan dan
kebencian, hingga mereka mau beriman hanya kepada Allah swt.
Andaikan sikap
Ibrahim ini dipelajari dan dipraktikkan oleh kaum Muslimin, paling tidak mereka
yang berhaji dan umroh, niscaya akan terjadi perubahan besar dalam visi dan
pandangan hidup mereka. Aqidah mereka semakin kokoh, iltizam mereka semakin
kuat, komitmen mereka semakin jelas.
4. Dalam
berbagai praktik manasik, tampak pelajaran tauhid melalui kepasrahan
(al-inqiyad) dan taat yang sempurna.
Setiap orang
yang berhaji menampakkan kepasrahan pada aturan yang ditentukan oleh Allah,
tanpa catatan, debat atau protes, betapapun terasa berat. Kita diperintah
berjemur di Arafah di siang hari, menginap malam hari di Muzdalifah, melempar
jumrah dalam jumlah yang besar, dilanjutkan dengan tawaf ifadhah. Semua ini
dilaksanakan dengan pasrah dan patuh, karena perintahnya datang dari Allah dan
RasulNya.
Kepatuhan dan
penerimaan itu adalah tolok ukur utama mengetahui tauhid seseorang. Orang yang
bertauhid senantiasa pasrah dan patuh pada ketentuan Allah. Ia tidak
mengatakan, saya akan patuh pada aturan Allah jika saya telah mengerti betul
seluk beluk aturan itu.
Akan halnya perintah
manusia, memang sikap kritis (ala bashiroh) itu harus ditunjukkan, agar tidak
hanyut dibawa oleh arus yang menyesatkan. Karena pertanggung jawaban di hari
Akhirat bersifat personal bukan bersama. Kesalahan bawahan tidak ditimpakan
kepada pimpinannya, sekalipun itu disebabkan karena menjalankan sebuah
perintah. Wala taqfu malaysa laka bihi ilmun, innassam'a wal bashara wal fu'ada
kullu ula'ika kana anhu mas'ula.
Lalu kenapa
kepatuhan itu hanya sebatas pada manasik saja, tidak meliputi ketentuan-ketentuan
syari'at lainnya, seperti bertahkim kepada hukum Allah swt.?
Di sinilah kita
harus evaluasi kembali, bahwa penanaman tauhid dalam haji dan umroh harus
diutamakan ketimbang persoalan fiqh yang bersifat furu'.
Seharusnya
setiap orang yang kembali dari haji dan umroh akan semakin kuat tauhid dan
komitmen keislamannya dalam sikap dan perjuangannya. Namun jika ada yang
kembali umroh semakin kabur identitas keislamannya, pertanda ibadahnya hanya
sia-sia. Nas'alullah al-'Afwa wal 'afiyah (oleh Dr. Daud Rasyid, MA)
0 Response to "Haji dan Ideologi Kekuasaan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!