Hawalah dalam Fiqh Muamalah
1. Pengertian Hawalah
Secara bahasa
hawalah atau hiwalah bermakna berpindah atau berubah. Dalam hal ini terjadi
perpindahan tanggungan atau hak dari satu orang kepada orang lain. Dalam
istilah para fukoha hawalah adalah pemindahan atau pengalihan penagihan hutang
dari orang yang berhutang kepada orang yang menanggung hutang tersebut. Batasan
ini dapat digambarkan sebagai berikut. Misalnya A meminjamkan sejumlah uang
kepada B dan B sebelumnya telah meminjamkan sejumlah uang kepada C. Untuk lebih
menyederhanakan persoalan, kita asumsikan bahwa hutang C pada B sama jumlahnya
dengan hutang B pada A. Ketika A menagih hutang kepada B, ia mengatakan kepada
A bahwa ia memiliki piutang yang sama pada C. Karena itu B memberitahukan
kepada A dan ia dapat menagihnya kepada C dengan catatan ketiga-tiga orang itu
menyepakati perjanjian hawalah dahulu.
2. Landasan Syariah Akad Hawalah
Pengalihan
penagihan hutang ini dibenarkan oleh syariah dan telah dipraktekkan oleh kaum
Muslimin dari zaman Nabi Muhammad ZAW sampai sekarang. Dalam al-Qur'an kaum
Muslimin diperintahkan untuk saling tolong menolong satu sama lain, lihat
al-Qur'an : 5: 2. Akad hawalah merupakan suatu bentuk saling tolong menolong
yang merupakan manifestasi dari semangat ayat tersebut.
a. As-Sunnah.
Rasulullah SAW
bersabda : " Menunda-nunda pembayaran hutang dari orang yang mampu
membayarnya adalah perbuatan zalim. Dan apabila salah seorang dari kamu
dipindahkan penagihannya kepada orang lain yang mampu, hendaklah ia
menerima." H. R. Ahmad dan Abi Syaibah. Semangat yang dikandung oleh hadis
ini menunjukkan perintah yang wajib diterima oleh orang yang dipindahkan
penagihannya kepada orang lain. Karena itu menurut Imam Ahmad dan Dawud
adh-Dhohiri orang yang dipindahkan hak penagihannya wajib menerima akad
hawalah. Hanya saja jumhur ulama tidak mewajibkan hal itu dan menakwilkan kata
perintah dalam hadis ini mempunyai kedudukan hukum sunnah atau dianjurkan saja,
bukan sebagai suatu kewajiban yang harus diikuti.
b. Ijma'
Pada
prinsipnya para ulama telah sepakat dibolehkannya akad hawalah ini. Hawalah
yang mereka sepakati adalah hawalah dalam hutang piutang bukan pada barang
konkrit.
3. Rukun Hawalah
Menurut
madzhab Hanafi rukun hawalah ada dua yaitu ijab yang diucapkan oleh Muhil dan
qobul yang diucapkan oleh Muhal dan Muhal alaih. Sedangkan menurut jumhur ulama
rukun hawalah ada enam macam yaitu:
a. Muhil ( orang yang
memindahkan penagihan yaitu orang yang berhutang).
b. Muhal ( orang yang
dipindahkan hak penagihannya kepada orang lain yaitu orang yang mempunyai
piutang).
c. Muhal alaih ( orang
yang dipindahkan kepadanya objek penagihan).
d. Muhal bih (hak yang
dipindahkan yaitu hutang).
e. Piutang Muhil pada
Muhal alaih.
f.
Shighot.
Dalam contoh
di atas Muhil adalah B, Muhal adalah A dan Muhal alaih adalah C. Dalam akad
hawalah Ijab yang diucapkan oleh Muhil mengandung pengertian pemindahan hak
penagihan, umpamanya ia berkata kepada A : Aku pindahkan (hawalahkan) hak
penagihanmu terhadap hutang saya kepada C. Sementara itu A dan C menyetujui
dengan mengucapkan " Kami setuju". Dengan demikian akad hawalah
tersebut dapat dilaksanakan dengan masing-masing pihak puas dan rela.
4. Syarat-Syarat Hawalah
Persyaratan
hawalah ini berkaitan dengan Muhil, Muhal, Muhal Alaih dan Muhal Bih. Berkaitan
dengan Muhil, ia disyaratkan harus, pertama, berkemampuan untuk melakukan akad
(kontrak). Hal ini hanya dapat dimiliki jika ia berakal dan baligh.
Hawalah tidak
sah dilakukan oleh orang gila dan anak kecil karena tidak bisa atau belum dapat
dipandang sebagai orang yang bertanggung secara hukum. Kedua, kerelaan Muhil.
Ini disebabkan karena hawalah mengandung pengertian kepemilikan sehingga tidak
sah jika ia dipaksakan.
Di samping itu
persyaratan ini diwajibkan para fukoha terutama terutama untuk meredam rasa
kekecewaan atau ketersinggungan yang mungkin dirasakan oleh Muhil ketika
diadakan akad hawalah.
Persyaratan
yang berkaitan dengan Muhal. Pertama, Ia harus memiliki kemampuan untuk
melaksanakan kontrak. Ini sama dengan syarat yang harus dipenuhi oleh Muhil.
Kedua, kerelaan dari Muhal karena tidak sah jika hal itu dipaksakan. Ketiga, ia
bersedia menerima akad hawalah.
Persyaratan
yang berkaitan dengan Muhal Alaih. Pertama, sama dengan syarat pertama bagi
Muhil dan Muhal yaitu berakal dan balig. Kedua, kerelaan dari hatinya karena
tidak boleh dipaksakan. Ketiga, ia menerima akad hawalah dalam majlis atau di
luar majlis.
Persyaratan
yang berkaitan dengan Muhal Bih. Pertama, ia harus berupa hutang dan hutang itu
merupakan tanggungan dari Muhil kepada Muhal. Kedua, hutang tersebut harus
berbentuk hutang lazim artinya bahwa hutang tersebut hanya bisa dihapuskan
dengan pelunasan atau penghapusan.
5. Jenis-jenis Hawalah
Ada dua jenis
hawalah yaitu hawalah muthlaqoh dan hawalah Muqoyyadah.
Hawalah Muthlaqoh
Hawalah Muthlaqoh terjadi jika orang yang
berhutang (oarang pertama) kepada orang lain ( orang kedua) mengalihkan hak
penagihannya kepada pihak ketiga tanpa didasari pihak ketiga ini berhutang
kepada orang pertama. Jika A berhutang kepada B dan A mengalihkan hak penagihan
B kepada C, sementara C tidak punya hubungan hutang pituang kepada B, maka
hawalah ini disebut Muthlaqoh. Ini hanya dalam madzhab Hanafi dan Syi'ah
sedangkan jumhur ulama mengklasifikasikan jenis hawalah ini sebagai kafalah.
Hawalah Muqoyyadah terjadi jika Muhil
mengalihkan hak penagihan Muhal kepada Muhal Alaih karena yang terakhir punya
hutang kepada Muhal.
Hawalah Haq
Hawalah ini adalah pemindahan piutang
dari satu piutang kepada piutang yang lain dalam bentuk uang bukan dalam bentuk
barang. Dalam hal ini yang bertindak sebagai Muhil adalah pemberi utang dan ia
mengalihkan haknya kepada pemberi hutang yang lain sedangkan orang yang
berhutang tidak berubah atau berganti, yang berganti adalah piutang. Ini
terjadi jika piutang A mempunyai hutang kepada piutang B.
Hawalah Dayn
Hawalah ini adalah pemindahan hutang
kepada orang lain yang mempunyai hutang kepadanya. Ini berbeda dari hawalah
Haq. Pada hakekatnya hawalah dayn sama pengertiannya dengan hawalah yang telah
diterangkan di depan.
6. Kedudukan Hukum Hawalah
Pertama, jika hawalah telah disetujui
oleh semua pihak maka tanggungan Muhil menjadi gugur dan ia kini bebas dari
penagihan utang. Demikian menurut jumhur ulama. Kedua, dengan ditandatanganinya
akad hawalah, maka hak penagihan Muhal ini telah dipindahkan kepada Muhal
alaih. Dengan demikian ia memiliki wilayah penagihan kepadanya.
7. Berakhirnya Akad Hawalah
Akad hawalah akan berakhir oleh hal-hal
berikut ini.
a. Karena dibatalkan
atau fasakh. Ini terjadi jika akad hawalah belum dilaksanakan sampai tahapan
akhir lalu difasakh. Dalam keadaan ini hak penagihan dari Muhal akan kembali
lagi kepada Muhil.
b. Hilangnya hak Muhal
Alaih karena meninggal dunia atau bangkrut atau ia mengingkari adanya akad
hawalah sementara Muhal tidak dapat menghadirkan bukti atau saksi.
c. Jika Muhal alaih
telah melaksanakan kewajibannya kepada Muhal. Ini berarti akad hawalah
benar-benar telah dipenuhi oleh semua pihak.
d. Meninggalnya Muhal
sementara Muhal alaih mewarisi harta hawalah karena pewarisan merupakah salah
satu sebab kepemilikan. Jika akad ini hawalah muqoyyadah, maka berakhirlah
sudah akad hawalah itu menurut madzhab Hanafi.
e. Jika Muhal
menghibahkan harta hawalah kepada Muhal Alaih dan ia menerima hibah tersebut.
f.
Jika Muhal menyedekahkan harta hawalah kepada Muhal alaih.
Ini sama dengan sebab yang ke 5 di atas.
g. Jika Muhal
menghapusbukukan kewajiban membayar hutang kepada Muhal Alaih.
0 Response to "Hawalah dalam Fiqh Muamalah"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!