Prof Dr M Quraish Shihab: Membaca Alquran Menghadirkan Allah
Namun,
bukan berarti ia tidak tegas. Bila suatu masalah jelas-jelas haram atau halal,
ayah lima anak ini akan mengatakannya langsung. Tawaran alternatif itu, bila
suatu masalah masih khilafiyah, yakni para ulama masih berbeda pendapat.
Jawaban dengan menyertakan berbagai alasan hukum baik tekstual maupun
kontekstual itu dimungkinkan karena Dr Quraish Shihab adalah ahli tafsir yang
hafal Alquran. Sejumlah buku, kebanyakan berkaitan dengan Alquran, telah ia
tulis, antara lain: Membumikan Alquran, Wawasan Alquran, Tafsir Almanar,
Keistimewaan dan Kekurangannya, Sekitar Kemukjizatan Alquran dari Segi Hukum,
Mukjizat Alquran dari Segi Bahasa, Mahkota Tuntunan Ilahi, Lentera Hati, Yang
Tersembunyi, Jalan Menuju Keabadian, Menuju Haji Mabrur, dan Panduan Puasa.
Kini, pria kelahiran Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1946 ini sedang
menyelesaikan Tafsir Al Misbah sebanyak 30 juz, yang sekarang telah terbit 9
volume. Dalam waktu dekat juga segera terbit dua bukunya, Bekal Perjalanan dan
40 Hadis Qudsi Pilihan. Selain aktif menulis dan berceramah, sejumlah jabatan
penting juga pernah ia jalani, antara lain Menteri Agama, Duta Besar RI untuk
Mesir, dan Rektor IAIN Jakarta kini Universitas Islam Negeri (UIN). Hebatnya,
ketika masih sibuk sebagai pejabat, doktor dari Universitas Al-Azhar Mesir ini
tetap menyempatkan menjawab berbagai pertanyaan dari pembaca Republika secara
ajeg. Kepada Republika yang menemuinya di kediamannya di Jalan Jeruk Purut,
Kemang, Jakarta Selatan, Senin lalu, Ustad Quraish berbicara banyak hal seputar
kandungan, manfaat, dan keagungan Alquran, serta bagaimana menumbuhkan rasa
cinta kepada kitab suci itu. Berikut petikannya:
Bagaimana menumbuhkan kecintaan masyarakat
pada Alquran?
Selama ini sudah ada minat dan kecintaan
mendengar ayat-ayat Alquran di masyarakat. Itu misalnya terlihat dari
kaset-kaset yang dijual atau dalam acara-acara keagamaan yang selalu
diperdengarkan ayat-ayat Alquran, baik melalui kaset maupun melalui
qari/qariah. Hanya saja, ini kan memang belum sampai ke sana (kepada kecintaan
Alquran yang sebenarnya). Karena itu, kecintaan terhadap Alquran semestinya
lahir dalam wujud kecintaan mengamalkan ajaran-ajaran Alquran. Nah, kecintaan
mengamalkan Alquran akan lahir sedikitnya dari dua faktor. Pertama, apabila ada
pemahaman terhadap kandungan Alquran itu sendiri. Kedua, kecintaan mengamalkan
Alquran itu akan timbul bila ada bukti konkret tentang keistimewaan isi
Alquran. Bila kedua hal ini ada, insya Allah kecintaan mengamalkan Alquran itu
akan lahir dan tumbuh berkembang. Masyarakat Islam selama ini tahu Alquran itu
pedoman hidup mereka.
Tapi kenapa mereka malas membacanya, apalagi
memahaminya?
Saya tidak yakin mereka semua tahu, mungkin
hanya sebagian saja. Tapi, saya juga yakin apabila mereka tahu kandungan
Alquran, mereka pasti tertarik mengamalkan isinya. Nah, karena itu harus ada
upaya dari ulama, mubaligh dan mereka yang berkompeten di bidang ini untuk
memberikan penjelasan yang lebih konkret, lebih nyata, dan lebih menarik
menyangkut kandungan Alquran.
Apakah selama ini penjelasan tentang Alquran
kurang memadai?
Kalau kita menyadari bahwa belum terasa
cinta kepada Alquran itu berarti masih kurang. Kalau dinyatakan bahasa Alquran,
yakni bahasa Arab, sebagai salah satu kendala, mungkin ada benarnya. Tapi
sebenarnya pemahaman terhadap kandungan Alquran dapat ditempuh melalui
penjelasan dalam bahasa Indonesia atau bahasa daerah, misalnya. Sayangnya, saat
ini kan sangat sedikit orang yang mau menulis tentang hal tersebut. Bolehkan
dalam rangka mencintai alquran, belajar langsung terjemahannya tanpa membaca
teks Arabnya? Kalau untuk belajar, boleh. Tapi kalau untuk menafsirkan jelas
tidak boleh.
Apa bedanya?
Kalau dalam terjemahan atau penafsiran, itu
si penulis sudah menjelaskan maksudnya. Sedangkan dalam menafsirkan, yang
menafsirkan itu berusaha memahami maksudnya. Misalkan, saya mempelajari tafsir
Buya Hamka, maka saya akan mendapat penjelasan tafsir Buya Hamka itu menyangkut
pandangan dan pemahamannya mengenai ayat itu. Beliau terangkan dalam bahasa
Indonesia, maka saya mengerti. Tetapi kalau saya menafsirkan Alquran, maka
penafsiran saya itu adalah pemahaman saya terhadap teks Alquran itu. Dan
pemahaman itu tidak mungkin akan lahir secara penuh kalau saya tidak mengerti
bahasa Alquran. Jadi, berbeda antara menafsirkan dan mempelajari kandungan
Alquran.
Benarkah membaca Alquran tanpa mampu
memahaminya sudah mendapatkan pahala dan karena itu dianjurkan?
Ya, jelas dianjurkan. Dengan catatan, selama
yang bersangkutan menghayati keagungan kandungan Alquran dan berusaha
mendekatkan diri kepadanya (kandungan Alquran). Satu contoh yang ingin saya
sampaikan kepada Anda misalnya, anak-anak kecil yang mendengarkan lagu-lagu
Barat kan belum tentu, bahkan kebanyakan mereka tak tau artinya, juga kandungan
lagu itu. Tapi mereka kan merasa enak dan menikmati betul dengan hatinya.
Begitu juga dengan membaca Alquran tanpa memahami artinya, atau hanya tahu
sedikit. Ada kesan di dalam hati mereka menyangkut kebesaran Allah, bahwa ini
adalah firman-firman Allah, dan seterusnya. Kesan itu boleh jadi pada lagunya,
nadanya, dan lain sebagainya.
Jadi jelas ada manfaatnya. Nah, dorongan
untuk menghadirkan Tuhan, untuk membesarkan Allah itulah yang mendapatkan
pahala. Semangatnya itu yang utama. Adakah cara efektif untuk mempelajari
Alquran?
Tentu saja ada. Selama ini saya melihat
pengajaran pemahaman Alquran tidak terlalu efektif. Mungkin caranya pun tidak
terlalu tepat. Kalau saya ingin gambarkan bagaimana cara mengajarkan Alquran di
pesantren dan di IAIN banyak pengulangan. Saya pernah menulis dan saya katakan
bahwa paling tinggi seorang dosen mengajarkan Alquran dalam satu semester hanya
25 ayat. Itu kalau dia mau menjelaskannya secara memadai. Jelas ini sangat
sedikit, minim sekali. Padahal kandungan Alquran kan luas. Salah satu sebabnya yang
membuat tidak efektif, karena kita menemukan kata demi kata seringkali
disalahmaknakan, padahal kata itu sering diulang di tempat lain. Saya melihat
ada dua cara efektif untuk memahami Alquran. Pertama, bisa menggunakan metode
tematik bahkan segera sampai kepada sasaran apa yang dikehendaki. Atau kedua,
kita mengajarkan kaidah-kaidah, sehingga ayat-ayat yang dipilih tidak berurut.
Kalau berurut dari /alif lam mim dan seterusnya, sampai kapan nanti selesai.
Spesialisasi saya adalah belajar Alquran, dan ini tidak kurang dari 40 tahun
saya belajar Alquran, dan sampai saat ini pun saya terus mempelajari Alquran
itu. Kalau saya mempelajari ayat-demi ayat tentu saja akan lama mencapai
sasaran/target. Akan tetapi, kalau kita mempelajari kaidah-kaidah, rumus-rumusnya,
persis seperti mempelajari rumus bahasa, grammer misalnya, orang bisa
mempelajari grammer all in one system. Sehingga, ketika dia mempelajari suatu
ayat, dia akan mendapatkan ayat lainnya. Katakanlah ketika seseorang
mempelajari makna shiraathol mustaqiim di Al-Fatikhah, dia akan menemukan
kalimat tersebut di ayat lain, sehingga dia tak usah mengulanginya karena sudah
tahu maknanya. Cukup dia pelajari shiraathal mustaqiim di Al-Fatihhah, dan di
ayat lain dia dengan sendirinya telah memahaminya tanpa mengulangi dari depan.
Jadi memang harus diubah cara mempelajari dan memahami Alquran. Itu baru akan
lebih efektif dari yang ada saat ini.
Apa rahasia diturunkannya Alquran secara
bertahap?
Kalau secara langsung akan banyak kesulitan.
Pertama, bila satu adat budaya yang sudah membudaya dan memasyarakat dalam satu
komunitas sosial akan langsung dilarang, maka itu akan terasa berat. Misalnya,
mereka yang sudah terbiasa dengan meminum [minuman keras], kalau langsung
dilarang, maka itu akan berat. Karena itu salah satu dari tertib hukum Islam
adalah pentahapan. Kedua, karena dia berinteraksi maka tentu saja timbul
problema dalam satu masyarakat, timbul pertanyaan. Nah, pertanyaan-pertanyaan
inilah yang dijawab. Seandainya dia [Alquran diturunkan] sekaligus, tidak bisa
terjawab pertanyaan itu. Ketiga, mempermudah menghafalnya. Bisa dibayangkan,
kalau ayat itu turun sekaligus, tidak mudah menghafalnya. Tapi bila turun
sedikit demi sedikit, maka akan memudahkan menghafalnya, terus diamalkan, dan
seterusnya. Ini juga yang memudahkan Nabi Muhammad SAW bila ada yang bertanya
tentang sesuatu hal. Jadi ini di antara hikmahnya.
Mengapa setiap turun ayat Alquran ada
sebab-musababnya (asbabun nuzul)?
Sebenarnya begini. Alquran itu kan
berinteraksi dengan masyarakat. Alquran turun dalam suatu masyarakat yang
berbudaya. Allah SWT mengajarkan manusia, mengajarkan ayat-ayat-Nya dengan
mengaitkan dengan kondisi masyarakat yang ada, sehingga lebih jelas apa maksud
ayat-ayat itu diturunkan. Kendatipun kita dapat mengatakan, tidak setiap ayat
ada sebab rincinya, akan tetapi semua ayat berkaitan dengan kondisi sosial
masyarakat. Karena itu, orang harus memahami ayat Alquran itu pertama sesuai
dengan kondisi saat itu, lalu dianalogikan dengan kondisi masyarakatnya
sekarang untuk mengambil hikmah/pelajaran.
Subhanallah... sungguh luar biasa mukjizat Rasulullah SAW.
ReplyDeletejangan pernah berhenti gan!!! sampaikan shalawat kepada Rasulullah SAW..
ReplyDelete