Istishna' dalam Fiqh Muamalah
Istishna' (استصناع) adalah bentuk
ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u (اتصنع - يستصنع).
Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan,
meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
Sedangkan
menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah
akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga
bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat
sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan
orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab
ini.[2]
Senada
dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli
barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam
hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3]
Namun
kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan
akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشيء
المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang
diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. [4]
Jadi
secara sederhana, istishna' boleh disebut sebagai akad yang terjalin
antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang
serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang
diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
2.
Masyru'iyah
Akad
istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk
Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
2.1.
Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ
الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan
ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan
shahih.
2.2.
As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه
أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ
فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ
خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى
بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja
non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi
menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim)
Perbuatan
nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. [5]
2.3.
Al-Ijma'
Sebagian
ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah
bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang
dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat
atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk
melarangnya. [6]
2.4.
Kaidah Fiqhiyah
Para
ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat
Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل
في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil
yang menunjukkan akan keharamannya.
2.5.
Logika
Orang
membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia
inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar,
sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila
akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai
banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya
disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[7]
3.
Rukun
Akad
istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar
terjadi : [1] Kedua-belah pihak, [2] barang yang diakadkan dan [3] shighah
(ijab qabul).
3.1.
Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak
pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع)
sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya
pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan
shani' (الصانع).
3.2.
Barang yang diakadkan
Barang
yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل)
adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad
ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian
menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[8]
Namun
menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun
akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan
sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa
bukan barang.[9]
3.3
Shighah (ijab qabul)
Ijab
qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang
meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan
tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan
persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
4.
Syarat
Dengan
memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang
dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana
yang berlaku pada akad salam diantaranya:
4.
1. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan,
persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak
pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
4.
2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan
barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga
berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu
Hanifah.
Akan
tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan
menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu
penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena
demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'.
Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang
pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum
syari'at. [10]
3.
Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad
istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad
istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan
tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan
demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh
masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka
dikembalikan kepada hukum asal
Akan
tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna', maka dengan
sendirinya persyaratan ini tidak kuat.
Betapa
tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan
tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya,
maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang
oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
5.
Hakikat Akad Istishna'
Ulama
mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini.
Sebagian
menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat
pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa
(ijarah). [11]
Sebagian
lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada
awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi
dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya
berubah menjadi akad jual beli.[12]
Nampaknya
pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1
yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada
akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki
oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang
olahan yang diingikan oleh pemesan.
[1]
Lihat
Lisanul Arab pada madah (صنع)
[2]
Badai'i
As shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 2
[3]
Kasysyaf
Al-Qinna' jilid 3 halaman 132
[4]
Raudhatuthalibin
oleh An-Nawawi jilid 4 halaman 26 dan Al-Muhadzdzab jilid 1 halaman 297
[5]
Fathul
Qadir oleh Ibnul Humaam 7/115)
[6]
Al
Mabsuth oleh As Sarakhsi jilid 12
halaman 138; Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115
[7]
Badai'i
As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 3
[8]
Al-Mabsuth
jilid 12 halaman 159
[9]
Fathul
Qadir jilid 5 halaman 355
[10]
Al
Mabsuth oleh As-Syarakhsi jilid 12 halmaan 140 Badai'i As Shanaai'i oleh Al
Kasaani jilid 5 halaman 3
[11]
Al
Mabsuth oleh AsSyarakhsi jilid 12
halaman 139 dan Badai'i As-Shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman3
[12]
Fathul
Qadir Ibnul Humam jilid 7 halaman 116
0 Response to "Istishna' dalam Fiqh Muamalah"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!