Bantuan Hukum dalam Organisasi Keagamaan
Bantuan Hukum dalam Organisasi Keagamaan - Semua agama, tanpa kecuali, mengajarkan pentingnya
membantu orang miskin. Dorongan untuk memperhatikan dan membantu fakir miskin
begitu banyak disebut dalam al-Qur’an. “Maka berilah kepada keluarga yang
dekat, orang miskin, dan ibnu sabil akan hak-haknya.
Yang demikian itu baik bagi orang-orang yang mengharapkan
keridlaan Allah (Ar-Rum ayat 26). Konsep zakat, sedekah, dan infaq dalam Islam
termasuk bagian dari upaya membantu orang miskin.
Demikian pula ajaran agama lain. ‘Kelaparan adalah
penyakit yang paling berat,” kata Sang Budha suatu kali, saat menyaksikan orang
miskin. Kepada para bikhsu, Budha memberi gambaran tentang orang miskin. “Aku
melihat orang itu mempunyai kemampuan untuk mencapai tingkat kesucian”.
Penganut Kristen percaya bahwa hidup dan karya Yesus
adalah untuk membebaskan orang miskin yang terbelenggu dalam kemiskinan.
Percaya kepada Kristus berarti mengikuti pola dan tindakan-Nya serta
memperhatikan sesama manusia tanpa membedakan mereka. Gambaran itu pula yang
terpatri dari puluhan tahun kerja sosial yang dilakukan Bunda Theresia bukan
hanya di Calcutta India, tetapi juga di berbagai belahan dunia.
Konsep bantuan hukum probono yang kita kenal sering
diasosiasikan dengan orang tidak mampu alias miskin. Konsep ini pula yang
kemudian diakomodir dalam UU No. 16 Tahun 2011tentang Bantuan Hukum. Penerima bantuan
hukum, demikian rumusan Undang-Undang ini, adalah orang atau kelompok orang
miskin. Dengan kata lain, orang miskin adalah sasaran utama pemberian bantuan
hukum.
Oleh karena bantuan terhadap orang miskin acapkali
dilakukan secara terorganisir oleh kelompok keagamaan, maka kelompok
dimaksud menjadikan bantuan hukum kepada orang miskin sebagai program pula.
Bantuan hukum hanya salah satu jenis bantuan yang diberikan organisasi keagamaankepada para pengikut, bahkan dalam
beberapa kasus diberikan secara lintas agama. Maka, kita kenal sekarang
beberapa organisasi keagamaan memiliki lembaga bantuan hukum, biro konsultasi
hukum, atau nama lain yang fungsinya sejenis. Bahkan dalam struktur organisasi,
urusan hukum menjadi bagian penting. Misalnya, kita mengenal Lembaga Penyuluhan
dan Bantuan Hukum Nadhdlatul Ulama (LPBH NU), atau Lembaga Bantuan Hukum Budhis.
Ada juga lembaga bantuan hukum yang tak berafiliasi
secara terbuka dengan ormas keagamaan tertentu, tetapi dibentuk terutama
atas dorongan atau spirit keagamaan untuk membantu sesama ummat manusia,
meskipun dalam praktik tak membeda-bedakan klien atas dasar agamanya. Kita juga
mengenal banyak lembaga yang memberikan layanan bantuan hukum seperti LBH Mawar Saron, Tim
Pembela Muslim, dan Paham Indonesia.
Sejak kapan?
Tidak diperoleh catatan resmi sejak kapan LBH pada
organisasi-organisasi keagamaan di Indonesia muncul. Literatur bantuan hukum
selalu memulai riwayat bantuan hukum di Indonesia dari pendirian LBH pada 1970.
Abdurrahman, dalam bukunyaAspek-Aspek Bantuan Hukum di Indonesia (1980:
51-52) mencatat setelah LBH berdiri, lembaga sejenis berkembang di daerah.
Setahun setelah pendirian LBH, diadakan konperensi yang
dihadiri 17 LBH, termasuk dari perguruan tinggi. LBH yang digagas Adnan Buyung
Nasution juga terus berkembang, dan kini ada 14 LBH di bawah naungan Yayasan
Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Andi Najmi Fuadi, Ketua LPBH NU, mengatakan
Pengorganisasi bantuan hukum di lingkungan NU lebih dahulu ada di daerah
sekitar 30 tahun silam, baru kemudian dimasukkan ke dalam struktur organisasi
pusat. Dengan kata lain, pemberian bantuan hukum kepada kaumnahdliyinsudah
dilakukan sebelum LPBH pusat dibentuk.
Abdurrahman – kini hakim agung-- mencatat sejak 1978
‘terjadi perkembangan yang cukup menarik bagi bantuan hukum di Indonesia’
seiring munculnya LBH dengan berbagai nama. Ada yang sifatnya independen,
organisasi yang dibentuk organisasi politik atau ormas, ada pula yang dikaitkan
dengan lembaga pendidikan.
Mulyana W. Kusumah, dalam bukunya Bantuan Hukum dan
Pemerataan Keadilan(1983: 1) juga mencatat pada 1983 bahwa ada peningkatan
empat kali lipat jumlah organisasi yang menyelenggarakan bantuan hukum
dibanding sebelum tahun 1978. Ada lima wadah yang dicatat Mulyana, yakni: (i)
LBH yang bernaung di bawah fakultas hukum; (ii) bantuan hukum yang dibentuk
organisasi profesi advokat; (iii) LBH yang dibentuk kekuatan sosial politik
tertentu; (iv) LBH yang dibentuk kelompok-kelompok kepentingan; dan (v)
organisasi bantuan hukum yang dibentuk oleh kelompok sosial tertentu.
Salah satu penyebab menjamurnya lembaga pemberi bantuan
hukum seperti disinggung Abdurrahman dan Mulyana adalah dukungan finansial yang
diberikan baik pemerintah pusat maupun daerah.
Ada plus minus atas kehadiran lembaga bantuan hukum pada
organisasi keagamaan. Abdurrahman mengatakan “kenyataan semacam itu dapat
menimbulkan beberapa kemungkinan, dapat dilihat secara positif dapat pula
dilihat negatif dalam arti dapat menghilangkan atau menjadikan menyimpangnya
ide bantuan hukum dalam praktek”. Namun salah satu pertanyaan yang
diajukan Prof. Soerjono Soekanto (alm), dalam bukunyaBantuan Hukum, Suatu
Tinjauan Sosio Yuridis(1983: 118), apakah menjamurnya LBH tersebut sebagai
bukti bantuan hukum untuk golongan tidak mampu atau miskin sudah membudaya?
“Tidaklah mudah menjawab pertanyaan itu,” tulis Soerjono.
Penyuluhan hingga litigasi
Memang tidak mudah menjawab apakah LBH pada organisasi
keagamaan efektif atau tidak. Yang jelas, kehadirannya dibutuhkan masyarakat.
Apalagi sebagian besar LBH tersebut menerapkan kebijakan lintas agama. Penganut
agama lain pun boleh dibantu.
Fokus utama LBH keagamaan juga berbeda. LBH Budhis, kata
Ketua lembaga ini, Budiman, masih lebih fokus pada penyuluhan hukum. Sebagai
organisasi yang baru dibentuk, LBH Budhis, belum menerima permohonan untuk
litigasi kasus. “Tapi kalau nanti ada kasus yang butuh litigasi, ya kita
jalani,” kata Budiman kepada hukumonline.
Bantuan Hukum Front, lembaga bantuan hukum di bawah
bendera Front Pembela Islam (FPI) termasuk yang sudah aktif memberikan advokasi
hingga ke pengadilan. Misalnya, ketika mendampingi Bambang Tedi, Ketua FPI
Yogyakarta, yang diproses hukum di PN Yogyakarta, Februari-April 2012. Ada pula
organisasi keagamaan yang tak memiliki struktur kelembagaan LBH. Kalaupun ada
kasus yang menimpa pengurus atau anggota organisasi, mereka menyerahkan kepada
pengacara di luar organisasi. Bahkan ada yang dibentuk sesuai kebutuhan saja.
M.R. Siahaan, mantan Ketua Biro Hukum Persatuan Gereja Indonesia (PGI)
mengatakan pembentukan biro hukum pada 1989 karena saat itu dianggap perlu.
Kalau belakangan biro hukum PGI tak ada lagi ‘bisa jadi (karena) dianggap tidak
perlu’.
Posisi dalam UU Bankum
UU No. 16 Tahun 2011 memberikan payung hukum pemberian bantuan
hukum bagi orang miskin. Mulai berlaku sejak 2 November 2011, UU Bantuan Hukum
(UU Bankum) memberi batasan tentang siapa yang berhak menerima bantuan hukum,
dan lembaga mana yang berhak memberi. Batasan ini penting karena ke depan
negara akan menyediakan dana bantuan hukum dalam APBN. Tentu saja, dana bantuan
hukum itu tak boleh dipandang sebagai proyek.
Apakah LBH di organisasi keagamaan termasuk pemberi dana
bantuan hukum kepada penerima menurut UU Bankum? Pasal 1 angka 3 menyebutkan
Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi
kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang
ini. Ada dua batasan yang disebut: (i) lembaga bantuan hukum; atau (ii) organisasi kemasyarakatan atau ormasyang memberikan layanan
bantuan hukum. Syarat ormas telah ditentukan dalam UU No. 8 Tahun 1985.
Agar LBH di organisasi keagamaan bisa masuk kategori
Pemberi Bantuan Hukum, UU Bankum sudah memberikan syarat. Antara lain harus
berbadan hukum, terakreditasi, memiliki kanto atau sekretariat, memiliki
pengurus, dan memiliki program bantuan hukum.
Berdasarkan penelusuran hukumonline, tak semua divisi
hukum di organisasi keagamaan memiliki struktur LBH, dan tak semua LBH tersebut
memiliki kantor khusus atau sekretariat. Layak tidaknya LBH pada organisasi
keagamaan menjadi penerima dana bantuan hukum sangat ditentukan Tim Verifikasi dan
Akreditasi yang dibentuk Kementerian Hukum dan HAM. (hukumonline.com)
0 Response to "Bantuan Hukum dalam Organisasi Keagamaan"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!