Hukum Bank ASI
Hukum Bank ASI - Bank ASI di
satu sisi memiliki manfaat, tetapi juga mendatangkan mudarat. Karenanya, para
ulama tidak bersepakat tentang hukumnya.
Kebutuhan akan air susu ibu (ASI) telah disadari banyak kalangan. Kesadaran ini muncul, bahkan diiringi dengan ide untuk mendirikan bank ASI.
Bank ASI memberi kesempatan penampungan air susu dari para pendonor atau mereka yang sengaja mengambil imbalan atas ASI yang mereka salurkan di tempat itu. ASI tersebut lalu didistribusikan bagi mereka yang membutuhkan. Sebagiannya diawetkan untuk masa tertentu.
Tak ada catatan pasti sejak kapan ide dan eksekusi pendirian bank ASI itu muncul. Tetapi, menurut Prof Ismail Marhaba dalam bukunya yang berjudul “Al-Bunuk Ath-Thibbiyyah Al-Basyariyyah Wa Ahkamuha Al-Basyariyyah”, asumsi kuat kemunculan pertama kali bank ASI adalah sejak berakhirnya perang dunia pertama.
Inggris disebut-sebut negara pertama yang mengoperasikan bank ASI pada 1943. Fenomena ini kemudian menjalar di berbagai negara.
Seiring perjalanan waktu, risiko dan dampak negatif bank ASI pun terungkap ke publik. Penelitian semakin menguatkan urgensi proses penyusuan secara alami, berikut manfaatnya pula bagi ibu dan balitanya.
Namun, di sisi lain, ada kalangan perempuan yang ASI-nya kering. Sementara, sebagian ibu memiliki ASI yang melimpah. Ini ditambah dengan segudang alasan lain seperti meningkatnya kelahiran prematur yang menuntut asupan ASI yang cukup bagi bayi.
Tarik ulur antara manfaat dan bahaya bank ASI memicu diskusi hangat di kalangan ulama, terutama para cendekiawan masa kini. Ini mengingat persoalan bank ASI merupakan isu kontemporer yang belum muncul di kajian fikih klasik.
Prof Ismail mengatakan, para ulama mempunyai penyikapan yang berbeda. Menurut kubu yang pertama, hukum pendirian dan pengoperasian bank ASI diperbolehkan. Pendapat ini adalah pandangan yang antara lain dikemukakan oleh Syekh Ahmad Huraidi dan Syekh Athiyah Shaqar.
Kedua pendapat tokoh itu tertuang di Kompilasi Fatwa Lembaga Fatwa Mesir. Syekh Yusuf al-Qaradhawi juga berpendapat sama. Ada sederet nama lain seperti Syekh Khalid al-Madzkur, Izzuddin Tuni, Mahmud al-Makadi, dan Abdul Halim Uwais.
Kelompok kedua mengatakan, pendirian dan pengoperasian bank halal tidak diperbolehkan. Ini merupakan pandangan dari sejumlah tokoh ternama, di antaranya ialah Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Mukhtar as-Sulamy, Rajab at-Tamimiy, Bakar bin Abdullah Abu Zaid, Ahmad Abd al-Aziz al-Haddad. Abdurrahman an-Najjar, dan Muhammad Husamuddin.
Pada Desember
1985, Komite Fikih Islam memutuskan hukum larangan pendirian dan pengoperasian
bank ASI.
Prof Ismail mengatakan, di pihak lain ada tokoh yang menyatakan abstain dan memilih tidak berkomentar soal bank ASI.
Ia menyebut dua nama, yaitu Syekh Abdul Aziz Isa dan Abdul Halim al-Jundi. Menurut Ismail, adanya silang pendapat ini menepis anggapan yang beredar selama ini bahwa ulama telah berkonsensus hukum bank ASI adalah haram.
Kubu yang pertama mengutarakan argumen-argumennya. Menurut mereka, pendirian bank ASI tidak termasuk larangan syariat. Ini karena aktivitas menyusui dari instansi tersebut tidak dikategorikan menyebabkan status mahram. Dua syarat sah persusuan, yaitu menyusui dan memberikan asupan langsung ke bayi, tidak terpenuhi dalam praktik bank ASI.
Kelompok ini memandang, melalui bank ASI, maka para ibu yang ASI-nya bermasalah bisa mendapatkan ASI bagi balita mereka dari bank ASI. Dengan demikian, ini akan melindungi balita dari konsumsi risiko susu pabrik.
Menurut pihak ini pula, mereka menganologikan (qiyas) hukum bank ASI dengan diperbolehkannya perempuan lain menyusui menggantikan ibu kandung. Ini sejalan pula dengan hadis Nabi SAW yang menegaskan pentingnya pelaksanaan prinsip kemudahan dibanding kesulitan.
Argumentasi kelompok kedua adalah lawan dari alasan yang dipaparkan kubu pertama. Menurut pandangan pihak kedua, aktivitas menyusui dari bank ASI tetap bisa mengakibatkan mahram. Ini rawan pula dengan perkara yang diharamkan. Kelompok ini beralasan, anggapan kelompok pertama tentang risiko dan dampak jika tidak ada bank ASI bagi bayi dinilai terlalu berlebihan.
Dan, dalam kaidah fikih ditegaskan, 'Ad dharar la yazalu bi ad dharar', menghindari bahaya bukan dengan cara mendatangkan petaka yang baru. Kaidah lain juga berlaku di sini, yaitu menjauhi petaka lebih dikedepankan dibandingkan dengan mendatangkan manfaat.
Prof Ismail mengatakan, di pihak lain ada tokoh yang menyatakan abstain dan memilih tidak berkomentar soal bank ASI.
Ia menyebut dua nama, yaitu Syekh Abdul Aziz Isa dan Abdul Halim al-Jundi. Menurut Ismail, adanya silang pendapat ini menepis anggapan yang beredar selama ini bahwa ulama telah berkonsensus hukum bank ASI adalah haram.
Kubu yang pertama mengutarakan argumen-argumennya. Menurut mereka, pendirian bank ASI tidak termasuk larangan syariat. Ini karena aktivitas menyusui dari instansi tersebut tidak dikategorikan menyebabkan status mahram. Dua syarat sah persusuan, yaitu menyusui dan memberikan asupan langsung ke bayi, tidak terpenuhi dalam praktik bank ASI.
Kelompok ini memandang, melalui bank ASI, maka para ibu yang ASI-nya bermasalah bisa mendapatkan ASI bagi balita mereka dari bank ASI. Dengan demikian, ini akan melindungi balita dari konsumsi risiko susu pabrik.
Menurut pihak ini pula, mereka menganologikan (qiyas) hukum bank ASI dengan diperbolehkannya perempuan lain menyusui menggantikan ibu kandung. Ini sejalan pula dengan hadis Nabi SAW yang menegaskan pentingnya pelaksanaan prinsip kemudahan dibanding kesulitan.
Argumentasi kelompok kedua adalah lawan dari alasan yang dipaparkan kubu pertama. Menurut pandangan pihak kedua, aktivitas menyusui dari bank ASI tetap bisa mengakibatkan mahram. Ini rawan pula dengan perkara yang diharamkan. Kelompok ini beralasan, anggapan kelompok pertama tentang risiko dan dampak jika tidak ada bank ASI bagi bayi dinilai terlalu berlebihan.
Dan, dalam kaidah fikih ditegaskan, 'Ad dharar la yazalu bi ad dharar', menghindari bahaya bukan dengan cara mendatangkan petaka yang baru. Kaidah lain juga berlaku di sini, yaitu menjauhi petaka lebih dikedepankan dibandingkan dengan mendatangkan manfaat.
Sumber:
-http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/12/14/mf0ggn-hukum-bank-asi-1
-http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/fatwa/12/12/14/mf0h5l-hukum-bank-asi-2habis
0 Response to "Hukum Bank ASI"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!