Kekuatan Wajd dan Gejolaknya
Syeikh Abu Nashr As-Sarraj
Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah berkata: Ja’far
bin Muhammad al-Khuldi rahimahullah memberi tahu saya pada apa yang saya
bacakan kepadanya: Saya mendengar al-Junaid berkata: Suatu hari dituturkan pada
Sari as-Saqathi tentang wajd-wajd yang sangat “tajam” dalam dzikir-dzikir yang
kuat dan yang sejenis, bahwa ini adalah termasuk yang menguatkan seorang hamba.
Maka Sari as-Saqathi mengatakan, “Ya! Bahkan jika wajahnya dipukul dengan
pedang pun ia tidak akan merasakannya.”
Abu al-Qasim al-Junaid rahimahullah berkata: Pada saat
itu aku tidak percaya terhadap apa yang dikatakan oleh Sari as-Saqathi, maka
pada saat itu pula kutanyakan kembali kepadanya, “Dipukul dengan pedang dan
tidak terasa?” Suatu pertanyaan dariku yang mengingkari kebenaran pernyataan
tersebut. Lalu ia menjawab, “Ya, benar! Dipukul dengan pedang dan ia tidak
terasa.” Kemudian ia memberikan bukti atas pernyataannya.
Dan al-Junaid rahimahullah yang mengatakan, “Jika wajd
itu kuat maka akan jauh lebih sempurna daripada orang yang lebih mengutamakan
ilmu.”
Juga disebutkan dari al-Junaid yang mengatakan,
“Kekurangan yang ada pada wajd disertai dengan keutamaan ilmu tidak akan
berbahaya, sementara keutamaan ilmu adalah lebih sempurna daripada keutamaan
wajd.”
Ja’far al-Khuldi menceritakan dan al-Junaid yang juga
pernah mengatakan, “Orang yang mampu ‘memikul’ dalam wajd setelah mampu
menguasai adalah lebih sempurna daripada saat ia mampu menguasai dalam wajd.
Sedangkan menguasai dalam wajd Iebih sempurna daripada yang ‘dibawa’ sebelum
mampu menguasai.” Lalu dikatakan padanya, “Bagaimana Anda menempati posisi
ini?” Maka ia menjawab, “Orang yang ‘dibawa’ dan kondisi dimana ia sanggup
menguasai dengan ‘membawa’ setelah terkuasai adalah lebih sempurna, sementara
orang yang tidak sanggup menguasai setelah mampu membawa diri dan yang
menyaksikannya adalah lebih sempurna.”
Syekh Abu Nashr as-Sarraj - rahimahullah - berkata:
Penjelasan apa yang dikatakan al-Junaid dan hanya Allah Yang Mahatahu adalah,
bahwa orang yang “dibawa”, yakni yang diam dan tak bergerak setelah terkuasai
oleh wujud dan kekuatan warid (apa yang datang di hatinya) adalah memiliki
makna lebih sempurna daripada orang yang mampu menguasainya sehingga
sifat-sifat lahiriahnya masih tetap tampak. Sementara itu terkuasai oleh
kekuasaan wajd dan kuatnya apa yang datang kepadanya (warid) dan yang ditemukan
oleh hatinya adalah lebih sempurna daripada kondisi spiritual orang yang diam
dan tidak mampu dipengaruhi oleh apa pun, baik yang bersifat negatif maupun
positif.
Saya mendengar Ibnu Salim menceritakan dari ayahnya,
bahwa Sahl bin Abdullah pernah dikuasai oleh wajd, sehingga selama sekitar dua
puluh empat atau dua puluh lima hari tidak makan apa pun. Dalam cuaca yang
sangat dingin di musim penghujan ia masih bisa berkeringat, dan ia hanya
mengenakan sepotong baju gamis. Ketika orang-orang bertanya kepadanya tentang
suatu ilmu maka ia tidak mau menjawab dengan mengatakan, “Janganlah kalian
bertanya kepadaku, sebab pada saat ini kalian tidak akan bisa mengambil manfaat
dari apa yang aku katakan.”
Saya mendengar Abu Amr bin ‘Ulwan berkata: Saya mendengar
al-Junaid rahimahullah berkata, “Asy-Syibli rahimahullah dalam kondisi mabuk
(cinta padaTuhan). Andaikata ia sadar kembali pasti ada seorang imam datang
darinya dan bisa diambil manfaatnya.”
Dikisahkan dan al-Junaid rahimahullah yang mengatakan:
Saya pernah menyebutkan tentang cinta (mahabbah) di depan Sari as-Saqathi,
kemudian ia memukulkan tangannya pada kulit lengan yang satunya dan kemudian
mengulurkannya sembari berkata, “Andaikata aku mengatakan, bahwa ini akan
kering di atas ini karena cinta (mahabbah), maka apa yang aku katakan adalah
benar.” Kemudian ia pingsan dan tak ingat apa-apa, lalu wajahnya memerah hingga
tampak seperti lingkaran bulan. Kami tidak bisa melihatnya karena begitu indah,
sehingga kami terpaksa menutupi wajahnya.
Amr bin Utsman al-Makki rahimahullah berkata: Wajd yang
bertempat dan memenuhi hati, sehingga tidak tersisa tempat sedikit pun karena
adanya kondisi spiritual (hal) yang telah dikenali sebelumnya hanyalah akan
menambah ma’rifatnya jiwa terhadap keagungan nilai al-Haq dan nilai apa yang
seharusnya Dia miliki. Sehingga dengan ma’rifat yang semakin meningkat itu
akanjauh berbeda dengan kondisi spiritual yang menjadi keistimewaan tersendiri
dan berbeda dengan segala sesuatu, sehingga ia tidak menemukan yang lain. Pada
saat itulah ia akan terputus dengan segala yang bersifat inderawi. Ia akan
sadar bahwa ia terputus dan hal-hal yang bersifat inderawi karena al-Haq telah
memasukkan sesuatu dalam hatinya, sementara tidak ada keutamaan apa pun untuk
selain Diri-Nya.
Dan Abu Utsman al-Muzayyin rahimahullah yang mengatakan
dalam untaian syair:
Mabuk wajd maknanya adalah sadar
Sedangkan kesadaran wajd adalah mabuk dalam wishal.
Mana yang Terbaik Antara Orang yang Wajd Dalam
Kondisi Tenang Dengan yang Bergerak?
Syekh Abu Nashr as-Sarraj rahimahullah berkata: Abu Said
bin al-A’rabi dalam tulisannya tentang wajd mengatakan: Bila ada seseorang
bertanya, “Manakah yang lebih utama dan lebih sempurna antara gerak dengan diam
ketika wajd?” Maka sekelompok (kaum) Sufi mengatakan, bahwa diam dan kuat
bertahan dengan tenang adalah lebih baik dan lebih tinggi tingkatannya daripada
yang bergerak dan gelisah.
Abu Said mengatakan: Jawaban tersebut dan hanya Allah
Yang Mahatahu mengacu, bahwa apa yang datang (warid) dan dzikir-dzikir itu ada
yang menuntut untuk tenang dan ada pula yang menuntut untuk bergerak. Maka pada
warid dan dzikir yang menuntut untuk diam dan tenang, maka diam adalah lebih
baik daripada bergerak. Begitu sebaliknya, bila warid dan dzikir-dzikir itu
menuntut untuk bergerak, maka bergerak adalah lebih baik dan lebih sempurna
daripada diam. Sebab kebijakan dan keduanya memaksa dan menguasai pelakunya.
Sehingga bila ia tidak bisa terkuasai maka wand yang datang itu lemah. Dan
andaikata ia datang dengan hakikat yang sebenarnya maka secara otomatis akan
nengakibatkan gerak. Sementara itu warid-warid yang muncul dari ilmu dan dzikir
dimana wajd dan mengikuti kemauan nafsu itu muncul darinya maka akan merasuk
dalam hati kemudian akan menyaksikannya.
Sementara itu saya melihat sekelompok kaum Sufi lain yang
Iebih mengutamakan orang-orang yang sanggup diam dan tenang, karena akal mereka
cukup dewasa dan kuat serta pengawasannya terhadap apa yang datang pada hatinya
dan ketangguhannya untuk mempertahankan. Memang demikianlah menurut pendapatku.
Namun barangkali ada sesuatu yang datang dan tidak sesuai
dengan akal makhluk, sehingga cahayanya dan bukti-buktinya lebih kuat, lalu
yang menjadi sumber darinya dan akal tidak mampu memahaminya. Dalam kondisi
seperti ini, maka yang datang (warid) lebih kuat daripada akal. Dengan
demikian, gerak adalah lebih sempurna dan lebih baik.
Abu Said mengatakan: Di antara warid-warid tersebut ada
yang sesuai dengan akal manusia, sehingga ia mampu memahami dan menenangkannya.
Oleh karenanya tidak muncul gerakan karena kemampuan akal untuk mengenalinya,
disamping juga karena ia memberi isyarat pada akal dengan hal-hal yang sudah
dikenalinya. Maka orang yang menganggap orang-orang yang mampu tenang dan tidak
bergerak itu lebih baik dan lebih utama adalah semata memuliakan mereka karena
kelebihan akal yang mereka miliki dan ketangguhannya. Sementara itu orang yang
menganggap orang-orang yang bergerak itu lebih baik dan lebih utama adalah
karena kuatnya warid yang muncul dari dzikir yang tak mungkin dipahami oleh
akal. Sehingga ia dianggap lebih utama karena kelebihan yang ada pada warid.
Tapi jika kedua akal itu memiliki tingkatan yang sama, dimana salah satunya
tidak ada keistimewaan terhadap yang lain, maka yang diam adalah lebih utama
dan Iebih sempurna. Namun dalam pandanganku hal itu tidak mungkin terjadi
dimana dua orang, dua akal atau dua warid antara yang satu dengan yang lain
sejajar dan sama.
Sementara itu seluruh orang-orang berilmu mengingkari
kemungkinan ini. Jika persamaan itu tidak mungkin terjadi maka hendaknya kita
kembali pada masalah semula, yakni tidak ada artinya untuk mengutamakan orang
yang tenang daripada yang bergerak atau sebaliknya. Karena memang adanya
perbedaan kondisi spiritual, dimana ada kondisi spiritual yang mengharuskan
bergerak dan ada pula yang mengharuskan diam. Sebab orang-orang yang wajd tidak
sama dalam apa yang disingkapkan padanya dan apa yang disaksikannya,
misalnya dari kondisi spiritual yang mengharuskan bergerak atau tenang,
warid-warid yang mengharuskan diam, dimana hal itu lebih tinggi daripada
warid-warid yang mengharuskan gerak, dan sebaliknya, warid-warid yang
mengharuskan bergerak, dimana hal itu lebih utama daripada yang mengharuskan
diam. Sehingga dengan demikian, keutamaan di sini tidak dilihat dari sisi gerak
atau diam hingga diketahui lebih lanjut kondisi spiritual yang datang pada
orang-orang yang bergerak dan yang diam. Maka apabila kondisi spiritual itu
mengharuskan diam, kemudian tidak mampu menjadikan pelakunya diam maka itu
bernilai kurang. Demikian pula, apabila kondisi spiritual itu mengharuskan
bergerak, tapijuga tidak mampu menggerakkan pelakunya maka itujuga menunjukkan
tidak kuatnya warid. Sementara itu misyahadah yang datang pada hati adalah
sangat bergantung pada kejernihan hati dan bersihnya dan segala hijab
(penghalang) yang menghalangi untuk mengetahui warid (yang datang) dalam hati.
Inilah sifat-sifat dzikir bagi orang-orang yang memiliki
kondisi spiritual dan tindakan mereka yang sesuai dengan apa yang diajarkan
oleh ilmu. Adapun orang-orang yang tidak mampu menguasai dirinya dan mabuk maka
pembahasan ini tidak masuk dalam lingkup mereka. Dan hanya Allah Yang Mahatahu.
Sumber: www.sufinews.com
0 Response to "Kekuatan Wajd dan Gejolaknya"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!