Taubat Dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain
Taubat Dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain - Di antara pertanyaan yang penting yang menuntut untuk
dijawab dan dijelaskan hukumnya di sini adalah pertanyaan: apakah taubat dari
suatu dosa sah, jika sambil tetap melakukan dosa yang lain?
Dalam hal ini
ada dua pendapat ulama, dan keduanya adalah dua riwayat dari imam Ahmad. Orang
yang mengatakan di situ ada ijma', tidak mengetahui ikhtilaf pendapat yang
terjadi, seperti an-Nawawi yang berpendapat lain dan ulama lainnya.
Abu Thalib al
Makki dalam kitabnya "Qutul Qulub" meriwayatkan pendapat berikut ini
dari beberapa ulama: orang yang telah taubat dari sembilan puluh sembilan dosa,
namun ia tidak bertaubat dari satu dosa, maka ia menurut kami bukan kelompok
orang yang bertaubat" [Qutul Qulub: 1/191]
Imam Ibnu Qayyim
berkata: Masalah ini pelik, dan memiliki kerumitan tersendiri. Namun perlu
memilih salah satu pendapat itu dengan diperkuat oleh dalil. Mereka yang
mengabsahkan taubat seperti itu berdalil bahwa keislaman seseorang jelas sah
--dan keislaman itu adalah taubat dari kekafiran meskipun ia masih tetap
melakukan maksiat yang ia belum bertaubat darinya. Maka demikian pula halnya
dengan taubat dari suatu dosa sambil masih tetap melaklukan dosa yag lain.
Sedangkan
kelompok ulama yang lain berkata: keislaman itu lain masalahnya dari yang lain,
karena kekuatannya, serta keislaman itu dapat terjadi dengan keislaman kedua orang
tuanya atau salah satunya bagi anak kecil.
Sementara
kelompok ulama yang lain lagi berdalil, bahwa taubat itu adalah kembali kepada
Allah SWT dari melanggar aturan-Nya menuju ketaatan-Nya. Maka bagaimana ia
dapat dikatakan kembali jika ia hanya taubat dari satu dosa, sementara masih
terus melakukan seribu dosa lainnya?
Mereka berkata:
Allah SWT tidak menghukum orang yang telah bertaubat karena orang itu telah
kembali kepada ketaatan dan penghambaanNya, serta telah taubat dengan taubat
nasuha. Sedangkan orang yang masih terus melakukan dosa lain yang sejenisnya
--atau malah lebih besar lagi-- tidak dapat dikatakan telah kembali kepada
ketaatan, dan tidak pula telah taubat dengan taubat nasuha.
Mereka berkata:
karena orang yang bertaubat kepada Allah SWT, darinya telah hilang cap
"pelaku maksiat", seperti orang kafir ketika ia masuk Islam yang
hilang cap "kafir" itu darinya. Sedangkan orang yang tetap melakukan
dosa lain selain dosa yang ia mintakan taubat itu, maka cap "maksiat"
masih tetap melekat padanya, sehingga taubatnya tidak sah. Rahasia masalah ini
adalah: taubat itu memiliki macam-macam bagian, seperti kemaksiatan, sehingga
ia dapat taubat dari satu segi, tidak pada segi lainnya, seperti antara
keimanan dengan keislaman
Pendapat yang
kuat adalah: taubat itu dipecah-pecah, seperti perbedaan dalam pelaksanaannya.
Demikian juga dalam jumlahnya. Maka jika seorang hamba telah menjalankan suatu
kewajiban dan meninggalkan kewajiban yang lain, ia akan menerima hukuman atas
yang ditinggalkan itu tidak atas kewajiban yang telah dilakukannya. Demikian
juga halnya orang yang telah bertaubat dari satu dosa dan tetap melakukan dosa
yang lain. Karena taubat adalah kewajiban dari dua dosa. Maka ia telah
melakukan satu dari dua kewajiban dan meninggalkan yang lain. Sehingga apa yang
ditinggalkannya tidak membuat batal apa yang telah dikerjakannya. Seperti orang
yang tidak melaksanakan hajji, namun menjalankan shalat, puasa dan zakat.
Kelompok yang
lain berkata: taubat adalah satu pekerjaan. Maknanya adalah meninggalkan apa
yang dibenci oleh Allah SWT serta menyesal dari perbuatannya yang buruk, dan
kembali kepada ketaatan kepada Allah SWT. Maka jika ia tidak melengkapinya,
taubatnya itu tidak sah, karena ia adalah satu kesatuan ibadah. Maka
melaksanakan sebagian taubat sementara meninggalkan taubat yang lain adalah
seperti orang yang melakukan sebagian ibadah dan meninggalkan bagian lainnya.
Dan ikatan bagian-bagian suatu ibadah satu sama lain lebih kuat dari ikatan
ibadah-ibadah yang bermacam-macam, satu sama lain.
Dan kelompok
yang berpendapat lain berkata: setiap dosa memiliki taubat yang khusus baginya,
dan taubat itu wajib dilakukannya. Namun taubat itu tidak berkaitan dengan
taubat dari perbuatan lainnya. Seperti tidak ada kaitan antara satu dosa dengan
dosa lainnya.
Ibnu Qayyim
berkata: menurutku dalam masalah ini adalah: suatu taubat atas suatu dosa tidak
sah jika orang itu tetap menjalankan dosa lainnya yang sejenis. Sedangkan
taubat dari satu dosa sambil masih melakukan dosa lain yang tidak mempunyai
hubungan dengan dosa pertama, juga bukan dari jenisnya, taubat itu sah. Seperti
orang yang bertaubat dari riba, dan belum bertaubat dari meminum khamar
misalnya. Karena taubatnya dari riba adalah sah. Sedangkan orang yang bertaubat
dari riba fadhl, kemudian ia tidak bertaubat dari riba nasi'ah dan terus
menjalankan riba ini, atau sebaliknya, atau orang yang taubat dari menggunakan
obat bius dan ia masih tetap minum minuman keras, atau sebaliknya, maka
taubatnya ini tidak sah. Ini adalah seperti orang yang bertaubat dari berzina
dengan seorang wanita, namun ia masih tetap berzina dengan wanita-wanita
lainnya, maka tidak sah taubatnnya. Demikian juga orang yang bertaubat dari
meminum juice anggur yang memambukkan, namun ia masih terus meminum minuman
lainnya yang memabukkan juga, maka orang ini sebetulnya belum bertaubat. Namun
ia hanya bnerpindah dari satu macam ke macam lainnya.
Berbeda dengan
orang yang meninggalkan satu jenis maksiat, sambil menjalankan maksiat jenis
lainnya. Karena dosanya lebih ringan, atau karena dorongannya baginya lebih
kuat, serta kekuatan syahwat untuk melakukan itu amat kuat baginya atau juga
faktor-faktor yang mendorongnya untuk terus melakukan itu masih tetap ada,
tidak perlu dicari. Berbeda dengan maksiat yang butuh dicari dahulu
perangkatnya untuk mengerjakannnya, atau juga karena teman-temannya
memilikinya, dan mereka tidak membiarkannhya untuk bertaubat darinya, dan ia
memiliki kehormatan di hadapan mereka, maka jiwanya tidak membiarkannya untuk
merusak penghormatan mereka atasnya itu dengan melakukan taubat [Madarij
Salikin: 1/273-275]
Pendapat yang
aku pilih dalam masalah ini adalah: seluruh orang yang bertaubat dari suatu
dosa dengan taubat yang benar, maka diharapkan Allah SWT menerima taubatnya,
dari dosa itu. Meskipun ia masih terus menjalankan dosa yang lain. Barangsiapa
yang bertaubat dari perbuatan kaum Luth (homoseksual) dengan benar, niscaya
Allah SWT akan menerima taubatnya, meskipun ia masih berat untuk bertaubat dari
zina. Orang yang bertaubat dari riba nasi'ah, maka Allah SWT akan menerima
tabatnya, meskipun ia masih menjalankan riba fadhl. Atau ia taubat dari ghibah
(menceritakan keburukan orang) dan namimah (mengadu domba), meskipun ia masih
sering menghina orang, berbohong ketika bicara atau dosa lidah lainnya.
Taubat itu sah
karena taubat pada dasarnya adalah hasanah (kebaikan), bahkan kebaikan yang
besar. Allah SWT berfirman:
"Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang
walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah
akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisiNya pahala yang besar" [an Nisa: 40]
Kemudian Allah
SWT berjanji akan menerima taubat hamba-hamba-Nya secara umum. Dan tidak
mengkhususkan satu dosa dari dosa lainnya. Seperti dalam firman Allah SWT:
"Dan Dialah yang menerima taubat dari
hamba-hambaNya dan memaafkan kesalahan-kesalahan" [QS. asy-Syuura: 25].
Orang ini telah
bertaubat dari dosanya, dan ia berhak untuk diterima taubatnya oleh Allah SWT
dan dimaafkan.
Kemudian ini
cocok dengan keluasan rahmat dan maghfirah Allah SWT yang mencakup seluruh
orang yang berdosa dan seluruh orang yuang bertaubat. Seperti firman Allah SWT:
"Sesungguhnya
Allah SWT mengampuni dosa-dosa seluruhnya".
Kemudian itu
juga akan mengobati kelemahan manusia, dan menuntunnya secara bertahap, dan
membuka kesempatan baginya meningkat setahap demi setahap. Sehingga ia dapat
meninggalkan maksiat sedikit demi sedikit, dan dari satu fase ke fase
selanjutnya. Hingga pada akhirnya Allah SWT memberikan hidayah kepadanya untuk
meninggalkan seluruh kemaksiatan itu. Dalam hadits sahih disabdakan:
"Kalian
diutus hanya untuk memberi kemudahan dan tidaklah kalian diutus untuk membuat
kesulitan".
Pendapat yang
mengatakan diterimanya taubat seseorang yang taubat ketika ia masih berbuat
dosa lagi, dan ia kemudian kembali bertaubat, didukung oleh hadits yang diriwayatkan
oleh Bukhari dan Muslim dari Abi Hurairah r.a. bahwa Rasulullah Saw bersabda:
"Seorang
hamba melakukan dosa, dan berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah melakukan dosa maka
ampunilah aku. Tuhannya berfirman: hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai
Tuhan yang akan mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu.
Kemudian waktu berjalan dan orang itu tetap seperti itu hingga masa yang
ditentukan Allah SWT, hingga orang itu kembali melakukan dosa yang lain. Orang
itupun kembali berdo'a: Ya Tuhanku, aku kembali melakukan dosa, maka ampunilah
dosaku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui bahwa dia mempunyai Tuhan Yang
mengampuni dan menghapus dosanya, maka Aku ampuni hamba-Ku itu. Kemudian ia
terus dalam keadaan demikian selama masa yang ditentukan Allah SWT, hingga
akhirnya ia kembali melakukan dosa. Dan ia berdo'a: Ya Tuhanku, aku telah
melakukan dosa, maka ampunilah daku. Allah SWT berfirman: Hamba-Ku mengetahui
bahwa ia mempunyai Tuhan Yang mengampuni dan menghapus dosanya. Maka Aku telah berikan
ampunan kepada hamba-Ku, (diulang tiga kali) dan silahkan ia melakukan apa yang
ia mau" [Hadits Muttafaq alaih: lihat: al Lu'lu wa al Marjan (1754) dan
lihatlah: Fathul Bari juz 13 hal. 46 dan setelahnya].
Al Qurthubi
berkata dalam kitabnya "al Mufhim fi syarhi Muslim": Hadits ini
menunjukkan kebesaran faedah istighfar, dan keagungan nikmat Allah SWT,
keluasan rahmat-Nya serta sifat pemaaf dan pemurah-Nya. Namun istighfar ini
adalah permohonan taubat yang maknanya tertanam dalam hati sambil diiringi
dengan ucapan lidah, sehingga ia tidak lagi menjalankan dosa itu, dan ia merasa
menyesal atas perbuatan masa lalunya. Sehingga itu adalah ungkapan praktekal
atas taubat. Seperti dikatakan oleh hadits: orang yang paling baik dari kalian
adalah setiap orang yang terfitnah (sehingga melakukan dosa) dan sering
bertaubat". Maknanya: yaitu orang yang terulang dosanya dan mengulang
taubatnya. Setiap kali ia jatuh dalam dosa ia mengulang taubatnya. Bukan orang
yang berkata dengan lidahnya: aku ber istighfar kepada Allah SWT, namun hatinya
masih terus ingin menjalankan maksiat itu. Inilah istighfar yang masih
membutuhkan kepada istighfar lagi!
Al Hafizh ibnu
Hajar berkata dalam kitab Fathul Bari ketika memberi komentar atas hadits itu,
sebagai berikut: hal ini diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Dunya dari hadits Ibnu Abbas secara marfu':
"Orang yang
bertaubat adalah seperti orang yang tidak mempunyai dosa, dan orang yang
meminta ampunan dari dosa, sementara ia masih tetap melakukan dosa, adalah
seperti orang yang mengejek Tuhannya".
Ia berkata: yang
rajih adalah: redaksi dari "wal mustaghfir... hingga akhirnya, adalah
mauquf. Atau dari perkataan Ibnu Abbas, bukan hadits Nabi. Yang pertama menurut
Ibnu Majah dan Thabrani, dari hadits Ibnu Mas'ud. Dan sanadnya hasan.
Al Qurthubi
berkata: faedah hadits ini adalah: kembali berbuat dosa adalah lebih buruk dari
ketika pertama kali melakukan dosa itu, karena dengan kembali berdosa itu ia
berarti melanggar taubatnya. Tapi kembali melakuian taubat adalah lebih baik
dari taubatnya yang pertama, karena ia berarti terus meminta kepada Allah SWT
Yang Maha Pemurah, terus meminta kepada-Nya, dan mengakui bahwa tidak ada yang
dapat memberikan taubat selain Allah SWT.
Imam an Nawawi
berkata: dalam hadits itu, suatu dosa meskipun telah terulang sebanyak seratus
kali atau malah seribu dan lebih jika orang itu bertaubat dalam setiap kali
melakukan dosa-- niscaya taubatnya diterima, atau juga ia bertaubat dari
seluruh dosa itu dengan satu taubat, maka taubatnya juga sah. Dan redaksi:
"perbuatlah apa yang engkau mau"
atau "Maka silakan ia berbuat apa yang ia mau" - maknanya:
selama engkau masih melakukan dosa maka bertaubatlah, niscaya Aku akan ampuni
dosamu" [Lihat: Fathul Bari: 14/ 471. Cetakan: Darul Fikr al Mushawirah An
Salafiyah]
Benar, taubat
yang sempurna adalah taubat dari seluruh dosa. Dan itulah yang akan membawa
kepada keberuntungan yang disinyalir dalam firman Allah SWT:
"Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung" [QS. an-Nur: 31]
Taubat seperti
itulah yang akan menghapus seluruh keburukan, dan menghilangkan seluruh dosa,
dan orangnya akan masuk dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai,
pada hari Allah SWT tidak mengcewakan Nabi dan orang-orang yang beriman
bersamanya.
Inilah yang akan
menarik cinta Allah SWT kepadanya, juga kesenangan dan senyum-Nya terhadap
mereka.
Juga taubat yang
sempurna adalah taubat yang tidak hanya mencegah orang itu untuk kembali
melakukan maksiat saja, namun ia adalah taubat yang mendorongnya untuk
melakukan ketaatan, menjalankan perbuatan yang saleh, serta mematuhi
hukum-hukum syari'ah dan adab-adabnya, secara zahir dan bathin, antara dia
dengan Rabbnya, antara dirinya dengan dirinya sendiri, serta antara dirinya
dengan seluruh makhluk. Sehingga ia dapat mencapai keberuntungan di dunia dan
akhirat, dan mendapatkan kemenangan surga serta selamat dari neraka.
Oleh karena itu,
kita harus membedakan antara taubat yang menyeluruh yang akan mengantarkan
orang itu kepada kemenangan mendapatkan surga dan selamat dari neraka, dengan
taubat yang parsial yang memberikan keuntungan kepada orang yang taubat itu serta
membebaskannya dari suatu dosa tertentu, meskipun ia tetap terikat dengan dosa
yang lain. Kedua macam taubat itu mempunyai ketentuan hukumnya masing-masing.
Oleh: DR. Yusuf Qardhawi
0 Response to "Taubat Dari Suatu Dosa Sambil Tetap Melakukan Dosa yang Lain"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!