Unsur Hati dan Keinginan dalam Taubat
Unsur Hati dan Keinginan dalam Taubat - Unsur jiwa, yang
berhubungan dengan hati dan keinginan diri. Atau dengan kata lain: emosi dan
inklinasi. Dari unsur ini ada yang berhubungan dengan masa lalu, dan ada yang
berhubungan dengan masa depan.
Yang berkaitan
dengan masa lalu adalah apa ang kita kenal dengan penyesalan. Tentang ini
terdapat hadits: "penyesalan adalah taubat". Karena ia adalah bagian
yang paling penting dari taubat. Seperti dalam hadits "Hajji adalah
Arafah". Karena ia adalah rukun yang paling penting dalam hajji itu. al
Qusyairi mengutip dari beberapa ulama: penyesalan itu cukup untuk mewujudkan
taubat. Karena penyesalan itu akan menghantarkan kepada dua rukun lainnya,
yaitu tekad dan meninggalkan perbuatan dosa. Adalah mustahil jika ada seseorang
yang menyesali tindakan yang masih terus ia lakukan atau ingin ia lakukan
kembali.
Penyesalan
adalah: perasaan, emosi atau gerak hati. Yaitu suatu bentuk penyesalan dalam
diri manusia atas perbuatan dosa yang ia lakukan terhadap Rabbnya, terhadap
makhluk yang lain dan bagi dirinya sendiri. Ini adalah penyeslan yang mirip
dengan api yang membakar hati dengan sangat. Malah ia akan merasakannya seperti
dipanggang ketika ia mengingat dosanya, sikap pelanggarannya serta hak Rabbnya
atasnya. Itu adalah kondisi "terbakar di dalam" yang diungkapkan oleh
sebagian kaum sufi ketika mereka mendefinisikan taubat: melelehkan lemak (yang
terkumpul) karena kesalahan masa lalu. Dan yang lain berkata: ia adalah api
hati yang membakar, serta sakit dalam hati yang tidak terobati!.
Al Quran telah
mendeskripsikan sisi jiwa ini bagi beberapa orang yang melakukan taubat, dengan
deskripsi yang amat bagus. Yaitu dalam kisah tiga sahabat yang absen dari
mengikuti perang yang besar bersama Rasulullah Saw, yaitu perang Tabuk. Yang
merupakan peperangan pertama Rasulullah Saw dengan negara yagn paling kuat di
dunia saat itu: negara Romawi. Mereka tidak mengungkapkan alasan bohong seperti
kaum munafik, maka Rasulullah Saw memerintahkan untuk mengucilkan mereka.
Kemudian mereka menyesali perbuatan mereka itu dengan sangat, dan dilukiskan
oleh Al Quran sebagai berikut:
"Dan
terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat ) mereka, hingga
apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa merekapun
telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa
tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian
Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya
Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang". (QS.
at-Taubah: 118)
Oleh karena itu
Dzun-Nun al Mishri berkata: hakikat taubat adalah: engkau merasakan bumi yuang
luas ini menjadi sempit karena dosamu, hingga engkau tidak dapat lari darinya,
kemudian kesempitan itu engkau rasakan dalam dirimu. Seperti diungkapkan oleh
al Quran: "dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh
mereka".
Di antara bentuk
penyesalan adalah: mengakui dosa, dan tidak lari dari pertanggungjawaban dosa
itu, serta meminta ampunan dan maghfirah dari Allah SWT.
Seperti kita
temukan dalam kisah Adam setelah beliau dan istirnya memakan pohon yang
dilarang itu:
"Keduanya
berkata: "Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika
Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah
kami termasuk orang-orang yang merugi". (QS. al A'raf: 23)
Dan seperti kita
temukan dalam kisah Nuh ketika ia meminta ampunan kepada Rabbnya atas anaknya
yang kafir. Dan jawaban Ilahi terhadapnya adalah:
"Hai Nuh,
sesungguhnya dia bukanlah termasuk keluargamu (yang dijanjikan akan
diselamatkan), sesungguhnya (perbuatannya) perbuatan yang tidak baik. Sebab itu
janganlah kamu memohon kepada-Ku sesuatu yang kamu tidak mengetahui (hakekat)
nya. Sesungguhnya Aku memperingatkan kepadamu supaya kamu jangan termasuk
orang-orang yang tidak berpengetahuan". (QS. Huud: 46)
Di sini Nuh a.s.
merasakan kesalahannya, dan iapun menyesalinya. Serta berkata:
"Ya
Tuhanku, sesungguhnya aku berlindung kepada Engkau dari memohon kepada Engkau
sesuatu yang aku tiada mengetahui (hakekatnya) . Dan sekiranya Engkau tidak
memberi ampun kepadaku, dan (tidak) menaruh belas kasihan kepadaku, niscaya aku
akan termasuk orang-orang yang merugi". (QS. Huud: 47)
Dan seperti kita
lihat dalam kisah Musa, ketika beliau memukul seorang laki-laki dari Koptik dan
menewaskannya:
Musa berkata:
'Ini adalah perbuatan syaitan sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang
menyesatkan lagi nyata (pemusuhannya)'. (QS. al Qashash: 15-16)
Juga kita lihat
dalam kisah nabi Yunus:
"Ketika ia
pergi dalam keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa Kami tidak akan
mempersempitnya (menyulitkannya), maka dia menyeru dalam keadaan yang sangat
gelap: "Bahwa tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Engkau. Maha
Suci Engkau, sesungguhnya aku adalah termasuk orang-orang yang zalim." (QS.
al Anbiyaa: 87)
Meskipun jika
kita perhatikan dosa-dosa yang diperbuat oleh para Rasul itu adalah dosa-dosa
kecil, terutama jika kita perhatikan situasi dan kondisi terjadinya dosa itu,
maka dosa-dosa itu memang ringan. Namun para Rasul itu, karena halusnya
perasaan mereka, hati mereka yang hidup, serta perasaan mereka yang kuat akan
hak Rabb mereka, maka mereka melihat dosa itu sebagai dosa yang amat besar,
mereka mengakui kesalahan diri mereka, dan merekapun segera memohon ampunan dan
maghfirah dari Rabb mereka, karena Dia adalah Maha Pengampun dan Maha
Penyayang.
Jika penyesalan
itu berkaitan dengan masa lalu dan kesalahan yang telah ia perbuat; ada dimensi
dalam taubat yang berkaitan dengan masa depan, dan tentang probabilitas ia
melakukan pengulangan perbuatan dosa itu kembali, serta bagaimana mengganti
kesalahan yang telah ia perbuat. Yaitu dengan bertekad untuk meninggalkan
maksiat itu dan bertaubat darinya secara total, dan tidak akan kembali
melakukannya selama-lamanya. Seperti susu yang tidak mungkin kembali ke puting
hewan setelah diperah. Ini semua berpulang pada keinginan dan tekad orang itu.
Dan tekad itu harus kuat betul, bukan keinginan yang dilandasi oleh
keragu-raguan. Tidak seperti mereka yang pada pagi harinya bertaubat sementara
pada sore harinya kembali mengulangi lagi dosanya!
Yang terpenting
dalam masalah tekadnya ini adalah agar tekad itu kuat dan betul-betul, saat
bertaubat. Dengan tanpa disertai oleh keraguan atau kerinduan untuk kembali
melakukan kemaksiatan, atau juga berpikir untuk mengerjakannya kembali. Taubat
itu tidak batal jika suatu saat tekadnya itu sedikit melemah kemudian ia
terlena oleh dirinya, tertipu oleh syaitan sehingga ia terpeleset, dan kembali
melakukan kemaksiatan.
Dalam kasus
seperti ini, ia harus segera melakukan taubat, menyesal dan menyusun tekad
lagi. Dan ia tidak perlu putus-asa takut taubatnya tidak diterima jika memang
tekadnya tulus. Allah SWT berfirman:
"Maka
sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang bertaubat" [QS.
al Isra: 25].
Al-Awwaab adalah
orang yang sering meminta ampunan kepada Allah SWT; setiap kali ia melakukan
dosa ia mengetahui bahwa ia memiliki Rabb Yang Maha Mengampuni dosa, maka dia
segera melakukan istighfar dan diapun mendapatkan ampunan.
Imam Ibnu Katsir
berkata: "Sedangkan jika ia bertekad untuk bertaubat dan memegang teguh
tekadnya, maka itu akan menghapuskan kesalahan-kesalahannya pada masa lalu.
Seperti terdapat dalam hadits sahjih "Islam menghapuskan apa yang
sebelumnya, dan taubat menghapuskan dosa yang sebelumnya".
Ibnu Katsir
berkata: "apakah syarat taubat nasuha itu orang harus tetap bersikap
seperti itu hingga ia mati, seperti diungkapkan dalam hadits dan atsar:
"kemudian ia tidak kembali melakukannya selama-lamanya", ataukah
cukup bertekad untuk tidak mengulangi lagi, untuk menghapus dosa yang telah
lalu, sehingga ketika ia kembali melakukan dosa setelah itu, maka ia tidak merusak
taubatnya dan menghidupkan kembali dosa yang telah terhapuskan, dengan melihat
generalitas pengertian hadits: "Taubat menghapus dosa yang
sebelumnya" [Tafsir Ibnu Katsir: 4/ 392 , cet. Al Halabi.]?.
Ibnu Qayyim
membicarakan hal ini dalam kitabnya "Madarij Salikin" dan menyebut
dua pendapat:
Satu pendapat
mengharuskan agar orang itu tidak mengulangi kembali dosanya sama sekali. Dan
berkata: ketika ia kembali melakukan dosa, maka jelaslah taubatnya yang dahulu
itu batal dan tidak sah.
Sedangkan
menurut pendapat kalangan mayoritas, hal itu tidak menjadi syarat. Kesahihan
taubat hanya ditentukan oleh tindakannya meninggalkan dosa itu, dan bertaubat
darinya, serta bertekad dengan kuat untuk tidak mengulanginya lagi. Dan jika ia
mengulanginya lagi padahal ia dahulu telah bertekad untuk tidak mengulang
dosanya itu, maka saat itu ia seperti orang yang melakukan kemaksiatan dari
permulaan sekali, sehingga taubatnya yang lalu tidak batal.
Ia berkata:
masalah ini dibangun di atas dasar pertanyaan: "Apakah seorang hamba yang
bertaubat dari suatu dosa kemudian ia mengulanginya dosanya itu, ia kembali
menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya sebelumnya, sehingga ia harus
menanggung dosa yang lalu dan sekarang ini, jika ia mati saat masih melakukan
maksiat? Ataukah itu telah terhapus, sehingga ia tidak lagi menanggung dosanya,
namun hanya menanggung dosa yang terakhir itu?"
Dalam masalah
ini ada dua pendapat:
Satu kelompok
berpendapat: ia kembali menanggung dosa yang telah ia mintakan taubatnya dahulu
itu, karena taubatnya telah rusak dan batal ketika ia mengulangi dosanya.
Mereka berkata: karena taubat dari dosa adalah seperti keislaman dengan
kekafiran. Seorang yang kafir ketika ia masuk Islam maka keislamannya itu akan
menghapuskan seluruh dosa kekafiran dan dosa yang pernah dilakukannya. Kemudian
jika ia murtad, dosanya yang lalu itu kembali ia tanggung ditambah dengan dosa
murtad. Seperti terdapat dalam hadits Nabi Saw:
"Barangsiapa
yang beramal baik dalam Islam (setelah masuk ke dalamnya dari kejahiliyahan)
maka ia tidak akan dipertanyakan akan apa yang telah diperbuatnya pada masa
jahiliah. Dan siapa yang berbuat buruk dalam Islam, maka ia akan dimintakan
pertanggungjawaban akan dosanya pada yang pertama (saat masih jahiliah) dan
yang lainnya (setelah Islam)".
Ini adalah orang
yang masuk Islam namun merusakan keislamannya itu. Dan telah diketahui bersama
bahwa kemurtadan adalah perusakan yang paling besar terhadap keislaman
seseorang. Maka ia akan kembali menanggung dosa yang telah ia lakukan dalam
kekafirannya sebelum ia masuk Islam, dan keislaman yang pernah ia rasakan itu
tidak menghapuskan dosa-dosa yang lama iu. Demikian juga dosa orang yang taubatnya
ia langgar, maka dosa yang dilakukan sebelum taubat yang ia langgar itu kembali
ia tanggung. Juga tidak menghalangi dosa yang ia lakukan kemudian.
Mereka berkata:
karena kesahihan taubat disyaratkan kontinuitasnya dan terus dijalani, maka
sesuatu yang tergantung dengan suatu syarat akan hilang ketika syarat itu
lenyap. Seperti kesahihan Islam disayaratkan kontinuitasnya dan terus
dijalaninya. Mereka berkata: taubat adalah wajib secara ketat sepanjang usia
seseorang. Masanya adalah sepanjang usia orang itu. Oleh karena itu,
hukumnya-pun harus terus ditaati sepanjang usianya. Maka bagi dia, masa
sepanjang usianya itu adalah seperti orang yang menahan diri dari melakukan
hal-hal yang membatalkan puasa ketika ia berpuasa pada hari itu. Maka jika sepanjang
hari ia menahan diri dari yang membatalkan puasa, kemudian ia melakukan
perbuatan yang membatalkan puasa pada sore harinya, niscaya seluruh puasanya
yang telah ia jalani dari pagi hari itu otomaits batal, dan tidak dinilai
sebagai puasa. Dan ia sama seperti orang yang tidak puasa sama sekali.
Mereka berkata:
ini didukung oleh hadits sahih, yaitu sabda Rasulullah Saw:
"Sesungguhnya
seorang hamba telah beramal dengan amal penghuni surga, hingga antara dirinya
dengan surga itu sekadar satu lengan, kemudian ketentuan takdirnya datang
hingga akhirnya ia beramal dengan amal penghuni neraka sehingga iapun masuk ke
neraka itu".
Ini lebih umum
dari amal yang kedua itu, suatu kekafiran yang menghantarkan kepada neraka
selamanya, atau kemaksiatan yang menghantarkannya ke neraka. Karena Rasulullah
Saw tidak mensabdakan: "maka ia murtad dan iapun meninggalkan Islam".
Namun menghabarkan bahwa: ia beramal dengan amal yang menghantarkannya ke
neraka. Dan dalam sebagian kitab sunan terdapat: "Ada seorang hamba yang
telah melakukan ketaatan kepada Allah SWT selama enam puluh tahun, dan ketika
ia menjelang kematiannya ia melakukan kecurangan dalam berwasiat maka iapun
masuk neraka".
Penutup yang
buruk lebih umum dari penutup dengan kekafiran atau kemaksiatan. Dan seluruh
amal perbuatan dinilai dengan akhir amal itu.
Sedangkan
kelompok kedua yaitu mereka yang berkata bahwa dosa yang lama yang telah ia
mintakan taubatnya tidak kembali ditanggungnya jika ia melanggar taubatnya
itu-- berdalil bahwa dosa itu telah terhapus dengan taubat. Maka ia seperti
orang yang tidak melakukannya sama sekali, sehingga ia seperti tidak ada.
Sehingga ia tidak kembali ke situ setelahnya. Namun yang harus ia tanggung
hanya dosa yang baru itu, bukan dosa yang lama.
Mereka berkata:
tidak disyaratkan dalam kesahihan taubat itu ia tidak pernah berdosa hingga
mati. Namun jika ia telah menyesal dan meninggalkan dosa serta bertekad untuk
meninggalkan sama sekali perbuatannya itu, niscaya dosanya segera terhapuskan.
Dan jika ia kembali melakukannya, ia memulai dari baru catatan dosanya itu.
Mereka berkata:
ini tidak seperti kekafiran yang menghancurkan seluruh amal kebaikan. Karena
kekafiran itu lain lagi masalahnya. Oleh karenanya ia menghapuskan seluruh
kebaikan. Sedangkan kembali berdosa tidak menghapuskan amal kebaikan yang telah
dilakukannya.
Mereka berkata:
taubat adalah termasuk kebaikan yang paling besar. Maka jika taubat itu
dibatalkan dengan melakukan dosa kembali, niscaya pahala-pahala itu juga
terhapuskan. Pendapat itu tidak benar sama sekali. Itu sama seperti mazhab kaum
khawarij yang mengkafirkan orang karena dosa yang ia perbuat. Dan kaum
Mu'tazilah yang memasukkan orang yang berdosa besar dalam neraka, meskipun ia
telah melakukan banyak amal yang baik. Kedua kelompok itu sepakat memasukkan
orang-orang yang melakukan dosa-dosa besar dalam neraka. Namun khawarij
mengkafirkan mereka, dan mu'tazilah menilai mereka fasik. Dan kedua mazhabn itu
adalah batil dalam Islam. Bersebrangan dengan nash-nash, akal serta keadilan:
"Sesungguhnya
Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, dan jika ada
kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya, dan
memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar" [QS. an-Nisa: 40].
Mereka berkata:
Imam Ahmad menyebutkan dalam musnadnya secara marfu' kepada Nabi Saw:
"Sesungguhnya
Allah SWT mencintai hamba yang terfitnah (hingga melakukan dosa) dan sering
meminta ampunan" [Hadits ini sanadnya dha'if jiddan/lemah sekali].
Aku berkata: ia
adalah orang yang setiap kali melakukan dosa ia segera bertaubat dari dosa itu.
Kalaulah mengulang dosa itu membatalkan taubatnya niscaya ia tidak disenangi
oleh Rabbnya, malah menimbulkan kebencian-Nya.
Mereka berkata:
Allah SWT mengaitkan diterimanya taubat dengan istighfar, tidak terus melakukan
dosa, dan tidak mengulanginya. Allah SWT berfirman
"Dan (juga)
orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri
sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka
dan siapa lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? - Dan mereka
tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui" [QS.
Ali Imran: 135].
Terus melakukan
dosa adalah: membiasakan hati dan diri untuk melakukan dosa setiap kali ada
kesempatan untuk itu. Inilah yang menghalangi maghfirah dari Allah SWT.
Mereka berkata:
Sedangkan kontinuitas taubat adalah syarat keabsahan kesempurnaan dan
kemanfaatan taubat itu, bukan syarat keabsahan taubat atas dosa yang
sebelumnya. Namun tidak demikian halnya dengan ibadah, seperti puasa selama
satu hari penuh, serta bilangan raka'at dalam shalat. Karena ia adalah suatu
ibadah secara utuh, sehingga ibadah itu tidak dapat diterima jika tidak
terpenuhi seluruh rukun dan bagian-bagiannya. Sedangkan taubat, ia adalah adalah
ibadah yang beragam sesuai dengan ragam dosa. Setiap dosa memiliki cara taubat
tersendiri. Jika seseorang melakukan suatu ibadah dan tidak melakukan yang
lain, itu tidak berarti ibadah yang dilakukannya itu tidak sah karena ia tidak
mengerjakan ibadah yang lain, seperti telah disebutkan sebelumnya.
Namun, sama
dengan ini adalah: orang yang puasa pada bulan Ramadlan kemudian ia membatalkan
puasanya itu tanpa adanya uzur, maka apakah puasa yang ia batalkan itu
membatalkan pahala puasa yang telah ia lakukan?
Contoh yang lain
adalah orang yang shalat namun ia tidak berpuasa , atau yang yang menunaikan
zakat namun tidak pernah melaksanakan ibadah hajji (padahal ia mampu).
Pokok masalah:
taubat sebelumnya adalah kebaikan, sedangkan mengulang dosa itu adalah keburukan,
maka pengulangan dosa itu itidak menghapus kebaikan itu, juga tidak membatalkan
kebaikan yang dilakukan bersamaan dengannya.
Mereka berkata:
ini dalam pokok-pokok (ushul) ahli sunnah lebih jelas. Mereka sepakat bahwa
seseorang bisa mendapat perlindungan dari Allah SWT dan pada saat yang sama
juga dibenci oleh-Nya. Atau ia dicintai Allah SWT namun ia juga sekaligus
dibenci dari segi lain. Atau ada orang yang beriman namun masih mempunyai
kemunafikan, juga keimanan dan kekafiran. Dan orang itu dapat lebih dekat
kepada suatu sisi dari sisi yang lain. Sehingga ia menjadi kelompok sisi itu.
Seperti firman Allah SWT: "Mereka pada hari itu lebih dekat kepada
kekafiran dari padi keimanan"[QS. Ali Imran: 167]. Dan berfirman:
"Dan
sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan
mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)" [QS. Yusuf:
106].
Allah SWT
mengakui keimanan mereka, sambil menyebut kemusyrikan mereka. Namun jika
bersama kemusyrikan ini juga terdapat pengingkaran terhadap Rasul-rasul Allah
maka keimanannya kepada Allah SWT itu tidak bermakna lagi. Sedangkan jika
mereka membenarkan apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw, sementara mereka tetap
melakukan beragam tindakan musyrik, itu tidak mengeluarkan mereka dari keimanan
kepada para Rasul dan hari kiamat. Dan mereka berhak mendapatkan ancaman yang
lebih besar daripada pelaku dosa-dosa besar.
Kemusyrikan
mereka adalah dua macam: musyrik yang tersembunyi dan yang terang-terangan.
Yang tersembunyi dapat diampuni, sedangkan yang terang-terangan tidak diampuni
oleh Allah SWT kecuali dengan melakukan taubat dari pebuatannya itu. Karena
Allah SWT tidak mengampuni kemusyrikan.
Dengan dasar
ini, ahli sunnah mengatakan bahwa para pelaku dosa besar masuk neraka, namun
setelah merasakan siksa neraka itu mereka akan keluar darinya dan masuk surga,
karena adanya dua unsur pada dirinya.
Jika demikian,
maka orang yang mengulang melakukan dosa setelah bertaubat adalah orang yang
dibenci Allah SWT karena ia mengulangi dosanya, namun juga dicintai karena ia
telah melakukan taubat dan amal ang yang baik sebelumnya. Dan Allah SWT telah
menetapkan bagi segala seuatu sebab-sebabnya, dengan adil dan penuh hikmah, dan
Allah SWT tidak sedikitpun melakukan kezhaliman.
"Dan
sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba (Nya)" [QS.
Fushilat: 46].
0 Response to "Unsur Hati dan Keinginan dalam Taubat"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!