Ketika Sekarat dan Mendekati Kematian
Ketika Sekarat dan Mendekati
Kematian
Apabila keadaan
si sakit sudah berakhir dan memasuki pintu maut yakni
saat-saat meninggalkan dunia dan menghadapi
akhirat, yang diistilahkan dengan
ihtidhar (detik-detik kematian/kedatangan tanda-tanda
kematian) maka seyogianya keluarganya yang
tercinta mengajarinya atau menuntunnya mengucapkan kalimat
laa ilaaha illallah (Tidak ada tuhan selain
Allah) yang merupakan kalimat tauhid, kalimat ikhlas, dan kalimat takwa,
juga merupakan perkataan paling utama yang diucapkan Nabi Muhammad saw.
dan nabi-nabi sebelumnya.
Kalimat inilah
yang digunakan seorang muslim untuk memasuki kehidupan dunia
ketika ia dilahirkan dan diazankan di
telinganya (bagi yang berpendapat demikian;
Penj.), dan kalimat ini pula yang ia pergunakan untuk mengakhiri
kehidupan dunia. Jadi, dia menghadapi atau memasuki
kehidupan dengan kalimat tauhid dan meninggalkan kehidupan pun
dengan kalimat tauhid.
Ulama-ulama
kita mengatakan, "Yang lebih disukai
untuk mendekati si sakit ialah famili yang paling sayang kepadanya,
paling pandai mengatur, dan paling takwa kepada Tuhannya.
Karena tujuannya adalah mengingatkan si sakit kepada
Allah Ta'ala, bertobat dari maksiat, keluar dari kezaliman, dan agar
berwasiat. Apabila ia melihat si sakit
sudah mendekati ajalnya, hendaklah
ia membasahi tenggorokannya dengan meneteskan air
atau meminuminya dan membasahi kedua bibirnya dengan
kapas, karena yang demikian
dapat memadamkan kepedihannya dan
memudahkannya mengucapkan kalimat
syahadat."
Kemudian dituntunnya
mengucapkan kalimat laa ilaaha illallah mengingat hadits yang diriwayatkan
Muslim dari Abi Sa'id secara marfu': "Ajarilah orang
yang hampir mati diantara kalian dengan kalimat laa illaaha illallah." Orang
yang hampir mati didalam hadits ini disebut
dengan "mayit" (orang mati) karena ia menghadapi kematian yang
tidak dapat dihindari.
Jumhur ulama
berpendapat bahwa menalkin (mengajari atau
menuntun) orang yang hampir mati dengan kalimat laa
ilaaha illallah ini hukumnya mandub (sunnah), tetapi ada pula
yang berpendapat wajib berdasarkan zhahir perintah. Bahkan sebagian pengikut
mazhab Maliki mengatakan telah disepakati wajibnya.
Hikmah menalkin kalimat
syahadat ialah agar akhir ucapan ketika
seseorang meninggal dunia adalah kalimat tersebut,
mengingat hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Hakim serta
disahkan olehnya dari Mu'adz secara marfu': "Barangsiapa yang akhir
perkataannya kalimat laa ilaaha illallah, maka ia akan masuk surga."
Dicukupkannya dengan
ucapan laa ilaaha illallah karena pengakuan
akan isi kalimat ini berarti pengakuan terhadap yang lain, karena dia mati
berdasarkan tauhid yang diajarkan Nabi Muhammad saw., disamping itu
agar jangan terlalu banyak ucapan yang diajarkan kepadanya.
Sebagian ulama
berpendapat agar menalkinkan dua kalimat
syahadat, karena kalimat kedua (Muhammad Rasulullah) mengikuti kalimat pertama.
Tetapi yang lebih utama ialah mencukupkannya dengan syahadat tauhid, demi
melaksanakan zhahir hadits.
Seyogyanya,
dalam menalkinkan kalimat tersebut
jangan diperbanyak dan jangan diulang-ulang, juga janganlah berkata
kepadanya: "Ucapkanlah laa
ilaaha illallah," karena dikhawatirkan ia merasa
dibentak sehingga merasa jenuh, lalu ia mengatakan,
"Saya tidak mau mengucapkannya," atau bahkan mengucapkan
perkataan lain yang tidak layak. Hendaklah kalimat ini diucapkan
kepadanya sekiranya ia mau mendengarnya dan memperhatikannya,
kemudian mau mengucapkannya.
Atau mengucapkan apa yang dikatakan
oleh sebagian ulama, yaitu berdzikir kepada Allah
dengan mengucapkan: "Subhanallah, walhamdulillah, wa laa
ilaaha illallah."
Apabila ia sudah mengucapkan
kalimah syahadat satu kali, maka hal itu sudah cukup dan
tidak perlu diulang, kecuali jika ia mengucapkan perkataan lain sesudah
itu, maka perlu diulang menalkinnya dengan
lemah lembut dan dengan cara persuasif (membujuknya agar mau
mengucapkannya), karena kelemahlembutan dituntut dalam
segala hal terlebih lagi dalam kasus ini. Pengulangan
ini bertujuan agar perkataan terakhir
yang diucapkannya adalah kalimat laa ilaaha illallah.
Diriwayatkan dari
Abdullah bin al-Mubarak bahwa ketika ia kedatangan
tanda-tanda kematian (yakni hampir meninggal dunia) ada
seorang laki-laki yang
menalkinkannya secara berulang-ulang, lantas Abdullah
berkata, "Seandainya engkau ucapkan satu
kali saja, maka saya tetap atas kalimat itu selama saya
tidak berbicara lain."
Dalam hal ini, sebaiknya orang yang
menalkinkannya ialah orang yang dipercaya oleh si sakit, bukan orang yang
diduga sebagai lawannya (ada rasa permusuhan dengannya) atau orang yang hasad
kepadanya, atau ahli waris yang menunggu-nunggu kematiannya.
Sementara itu, sebagian
ulama menyukai dibacakan surat Yasin kepada orang yang hampir mati berdasarkan
hadits: "Bacakanlah surat Yasin kepada orang yang hampir mati diantara
kamu."
Namun demikian, derajat hadits ini
tidak sahih, bahkan tidak mencapai derajat hasan, sehingga tidak
dapat dijadikan hujjah.
Disamping itu, disukai
menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat jika memungkinkan karena
kadang-kadang si sakit tengah menjalani perawatan di rumah sakit
hingga ia menghadap ke arah yang sesuai dengan posisi ranjang tempat ia tidur.
Yang menjadi dalil bagi hal ini
adalah hadits Abu Qatadah yang diriwayatkan oleh Hakim,
bahwa ketika Nabi saw. datang di Madinah, beliau bertanya tentang
al-Barra' bin Ma'rur, lalu para sahabat menjawab bahwa
dia telah wafat, dan dia berpesan agar dihadapkan ke kiblat ketika hampir
wafat, lalu Rasulullah saw. bersabda: "Sesuai dengan fitrah."
Imam Hakim berkata, "Ini
adalah hadits sahih, dan saya tidak mengetahui dalil
tentang menghadapkan orang yang hampir mati ke arah kiblat melainkan hadits
ini."
Ada dua macam
pendapat dari para ulama mengenai cara
menghadapkan orang sakit ke arah kiblat ini: Pertama,
ditelentangkan di atas punggungnya, kedua telapakkakinya ke
arah kiblat, dan kepalanya diangkat sedikit agar
wajahnya menghadap ke arah kiblat, seperti posisi orang yang
dimandikan. Pendapat ini dipilih oleh beberapa
imam dari mazhab Syafi'i, dan ini merupakan pendapat dalam mazhab Ahmad. Kedua, miring ke
kanan dengan menghadap kiblat, seperti posisi dalam liang lahad. Ini merupakan
pendapat mazhab Abu Hanifah dan Imam Malik, dan nash
Imam Syafi'i dalam al-Buwaithi, dan pendapat yang mu'tamad (valid) dalam mazhab
Imam Ahmad.
Sebagian ulama memperbolehkan kedua
cara tersebut, mana yang lebih mudah. Sedangkan Imam
Nawawi membenarkan pendapat yang kedua, kecuali jika
tidak memungkinkan cara itu karena
tempatnya yang sempit atau lainnya, maka pada waktu itu boleh
dimiringkan ke kiri dengan menghadap
kiblat. Jika tidak memungkinkan, maka di atas tengkuknya atau
punggungnya.
Imam Syaukani
berkata, "Yang lebih cocok ialah menghadap kiblat
dengan miring ke kanan, berdasarkan hadits al-Barra' bin Azib
dalam Shahihain: "Apabila engkau hendak naik ke tempat tidurmu maka
berwudhulah seperti wudhumu ketika hendak shalat, kemudian berbaringlah di atas
lambungmu sebelah kanan."
Dalam riwayat lain disebutkan:
"Jika engkau meninggal dunia pada malam harimu itu, maka engkau berada
pada fitrah (kesucian)." Dari riwayat ini tampak bahwa
seyogyanya orang yang hampir meninggal dunia hendaklah dalam
posisi seperti itu.
Diriwayatkan juga
dalam al-Musnad dari Salma Ummu Walad Abu Rafi' bahwa Fatimah binti
Rasulullah saw. radhiyallahu 'anha, ketika akan meninggal dunia
beliau menghadap kiblat, kemudian berbantal dengan miring ke kanan.
0 Response to "Ketika Sekarat dan Mendekati Kematian"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!