Keutamaan Kesabaran Keluarga Si Sakit
Keutamaan Kesabaran Keluarga Si
Sakit
Keluarga si sakit
wajib bersabar terhadap si sakit, jangan merasa sesak dada
karenanya atau merasa bosan, lebih-lebih bila
penyakitnya itu lama. Karena akan terasa lebih pedih dan lebih sakit dari
penyakit itu sendiri jika si sakit merasa menjadi
beban bagi keluarganya, lebih-lebih jika keluarga itu mengharapkan dia segera
dipanggil ke rahmat Allah. Hal ini dapat dilihat
dari raut wajah mereka, dari cahaya pandangan mereka, dan dari gaya
bicara mereka.
Apabila kesabaran si sakit atas
penyakit yang dideritanya akan mendapatkan pahala yang sangat besar sebagaimana
diterangkan dalam beberapa hadits sahih maka kesabaran
keluarga dan kerabatnya dalam merawat dan mengusahakan
kesembuhannya tidak kalah besar pahalanya. Bahkan
kadang-kadang melebihinya, karena kesabaran si sakit
menyerupai kesabaran yang terpaksa, sedangkan kesabaran
keluarganya merupakan kesabaran yang
diikhtiarkan (diusahakan). Maksudnya, kesabaran
si sakit merupakan kesabaran karena ditimpa cobaan, sedangkan kesabaran
keluarganya merupakan kesabaran untuk berbuat baik.
Diantara orang yang paling
wajib bersabar apabila keluarganya ditimpa sakit ialah suami
atas istrinya, atau istri atas suaminya.
Karena pada hakikatnya kehidupan adalah bunga dan duri, hembusan
angin sepoi dan angin panas, kelezatan dan
penderitaan, sehat dan sakit, perputaran dari satu kondisi ke kondisi
lain. Oleh sebab itu, janganlah orang yang beragama dan
berakhlak hanya mau menikmati istrinya ketika ia sehat tetapi
merasa jenuh ketika ia menderita sakit. Ia hanya mau
memakan dagingnya untuk membuang tulangnya, menghisap sarinya ketika
masih muda lalu membuang kulitnya ketika lemah
dan layu. Sikap seperti ini bukan sikap
setia tidak termasuk mempergauli istri dengan baik,
bukan akhlak lelaki yang bertanggung jawab, dan bukan
perangai orang beriman.
Demikian
juga wanita, ia tidak boleh hanya
mau hidup bersenang-senang bersama suaminya
ketika masih muda dan perkasa, sehat dan
kuat, tetapi merasa sempit dadanya ketika suami jatuh sakit dan
lemah. Ia melupakan bahwa kehidupan rumah
tangga yang utama ialah yang ditegakkan di atas sikap
tolong-menolong dan bantu-membantu pada waktu manis dan ketika pahit, pada
waktu selamat sejahtera dan ketika ditimpa cobaan.
Seorang penyair
Arab masa dulu pernah mengeluhkan sikap istrinya
"Sulaima" ketika merasa bosan terhadapnya karena ia
sakit, dan ketika si istri ditanya tentang keadaan suaminya
dia menjawab, "Ia tidak hidup sehingga dapat diharapkan
dan tidak pula mati sehingga patut dilupakan." Sementara ibu sang
penyair sangat sayang kepadanya, berusaha untuk kesembuhannya, dan
sangat mengharapkan kehidupannya. Lalu sang penyair itu
bersenandung duka: "Kulihat Ummu Amr tidak bosan dan tidak sempit dada
Sedang Sulaima jenuh kepada tempat tidurku dan tempat tinggalku Siapakah
gerangan yang dapat menandingi bunda nan pengasih Maka tiada kehidupan kecuali
dalam kekecewaan dan kehinaan Demi usiaku, kuingatkan kepada orang yang tidur
Dan kuperdengarkan kepada orang yang punya telinga."
Yang lebih wajib lagi
daripada kesabaran suami-istri ketika teman
hidupnya sakit ialah kesabaran anak laki-laki terhadap penyakit kedua
orang tuanya. Sebab hak mereka adalah sesudah hak Allah
Ta'ala, dan berbuat kebajikan atau berbakti kepada mereka termasuk pokok
keutamaan yang diajarkan oleh seluruh risalah
Ilahi. Karena itu Allah menyifati Nabi Yahya a.s.
dengan firman-Nya: "Dan banyak berbakti kepada kedua orang tuanya, dan
bukanlah ia orang yang sombong lagi durhaka." (Maryam: 14) Allah
menjadikannya yang masih bayi dalam buaian
itu berkata menyifati dirinya: "Dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak
menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka." (Maryam: 32)
Demikian juga dengan anak
perempuan, bahkan dia lebih berhak memelihara dan
merawat kedua orang tuanya, dan lebih mampu melaksanakannya karena
Allah telah mengaruniainya rasa kasih dan sayang
yang melimpah, yang tidak dapat ditandingi oleh anak laki-laki.
Al-Qur'an sendiri menjadikan
kewajiban berbuat baik kepada kedua orang
tua ini dalam urutan setelah mentauhidkan Allah Ta'ala, sebagaimana
difirmankan-Nya: "Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya
dengan sesuatu pun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orang ibu bapak..."
(an-Nisa': 36) "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan
menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu bapakmu dengan
sebaik-baiknya ..." (al-lsra': 23)
Dalam ayat yang
mulia ini Al-Qur'an mengingatkan tentang kondisi khusus
atau pencapaian usia tertentu yang mengharuskan bakti dan perbuatan baik
seorang anak kepada orang tuanya semakin
kokoh. Yaitu, ketika keduanya telah lanjut usia, dan pada saat-saat
seusia itu mereka amat sensitif terhadap setiap perkataan yang
keluar dari anak-anak mereka, yang sering rasakan
sebagai bentakan atau hardikan terhadap keberadaan
mereka. Kata-kata yang mempunyai konotasi buruk inilah yang
dilarang dengan tegas oleh Al-Quran: "... Jika salah seorang diantara
keduanya atau kedua-duanya sampai ke umur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka
sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan 'ah' dan
janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang
mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan
dan ucapkanlah: 'Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku waktu kecil.'" (al-Isra': 23-24)
Diriwayatkan dari
Ali bin Abi Thalib r.a. bahwa beliau
berkata, "Kalau Allah melihat ada
kedurhakaan yang lebih rendah daripada perkataan 'uff (ah), niscaya
diharamkan-Nya."
Ungkapan
Al-Qur'an "sampai ke
usia lanjut dalam
pemeliharaanmu" menunjukkan bahwa si anak bertanggung
jawab atas kedua orang tuanya,
dan mereka telah menjadi
tanggungannya. Sedangkan bersabar terhadap keduanya ketika kondisi
mereka telah lemah atau tua merupakan pintu yang paling
luas yang mengantarkannya ke surga dan ampunan; dan
orang yang mengabaikan kesempatan
ini berarti telah mengabaikan keuntungan
yang besar dan merugi dengan kerugian yang nyata.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.
bahwa Nabi saw. bersabda: "Merugi, merugi, dan merugi orang yang mendapat
kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau kedua-duanya, lantas ia
tidak masuk surga." (HR Ahmad dan Muslim)
Juga diriwayatkan dalam hadits lain
dari Ka'ab bin Ujrah dan lainnya bahwa Malaikat
Jibril pembawa wahyu mendoakan buruk untuk orang yang menyia-nyiakan kesempatan
ini, dan doa Jibril ini diaminkan oleh Nabi saw.
Sedangkan yang
sama kondisinya dengan usia lanjut ialah
kondisi-kondisi sakit yang menjadikan manusia dalam keadaan
lemah dan memerlukan perawatan orang lain, serta tidak mampu
bertindak sendiri untuk menyelenggarakan keperluannya.
Jika demikian sikap umum terhadap
kedua orang tua, maka secara khusus ibu
lebih berhak untuk dijaga dan
dipelihara berdasarkan penegasan Al-Qur'an dan pesan Sunnah Rasul.
Allah berfirman: "Kami
perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu-bapaknya,
ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah
(pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan ..."
(al-Ahqaf: 15)
"Dan Kami perintahkan manusia
(berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam
keadaan lemah yang bertambah lemah, dan menyapihnya dalam dua tahun.
Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu-bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu." (Luqman: 14)
Imam Thabrani
meriwayatkan dalam al-Mu'jamush-Shaghir dari Buraidah bahwa
seorang laki-laki datang kepada Nabi saw., lalu ia berkata: "Wahai
Rasululah, saya telah menggendong ibu saya di pundak saya sejauh dua farsakh
melewati padang pasir yang amat panas, yang seandainya sepotong daging dilemparkan
ke situ pasti masak maka apakah saya telah menunaikan syukur kepadanya?"
Nabi menjawab, "Barangkali itu hanya seperti talak satu."
Diriwayatkan bahwa seorang
laki-laki berkata kepada Umar bin Khattab, "Ibuku
sangat lemah dan tua renta sehingga tidak dapat
memenuhi keperluannya kecuali punggungku ini
telah menjadi hamparan tunggangannya dia berbuat
untuk ibunya seperti ibunya berbuat untuk dia dahulu maka apakah
saya telah melunasi utang saya
kepadanya?" Umar menjawab, "Sesungguhnya engkau
berbuat begitu terhadap ibumu, tetapi engkau
menantikan kematiannya esok atau esok lusa; sedangkan ibumu berbuat
begitu terhadapmu justru mengharapkan engkau berusia
panjang."
Selain itu,
tanggung jawab keluarga terhadap si sakit
bertambah berat apabila ia tidak punya
atau kehilangan kelayakan untuk berbuat sesuatu, misalnya anak
kecil apalagi belum sampai mumayiz atau seperti
orang gila, yang masing-masing membutuhkan perawatan
ekstra dan penanganan yang serius. Karena orang yang mumayiz dan berpikiran
normal dapat meminta apa saja yang ia inginkan dapat
menjelaskan apa yang ia butuhkan, dapat minta
disegerakan kebutuhannya bila terlambat,
dan dapat memuaskan orang yang mengobati atau
merawatnya.
Sedangkan anak kecil, orang gila,
dan yang sejenisnya, maka tidak mungkin
dapat melakukan hal demikian. Karena itu
berlipatgandalah beban keluarganya. Dengan demikian, mereka
harus benar-benar menyadari
kondisi kesehatannya dan mengusahakan
pengobatannya, sehingga
terkadang harus membawanya ke dokter,
memasukkannya ke rumah sakit, atau hal-hal lain yang tidak
dapat dibatasi.
Oleh: Dr. Yusuf Al-Qardhawi
0 Response to "Keutamaan Kesabaran Keluarga Si Sakit"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!