Pengertian, Proses dan Fungsi Fatwa

Pada masa awal perkembangan Islam, Rasulullah s.a.w. telah menghadapi berbagai persoalan-persoalan baru yang menyangkut urusan-urusan keagamaan dan keduniaan, terutama di kalangan bangsa Arab Makkah. Bersamaan dengan itu, Allah menurunkan wahyu sebagai tanda kemukjizatan Rasulullah s.a.w. penutup para Nabi.

Makna hal terpenting dari wahyu tersebut adalah Rasulullah s.a.w. mengeluarkan fatwa-fatwa sebagai petunjuk, pedoman dan panduan bagi umat Islam dalam memberikan penjelasan, jawaban dan alternatif terhadap persoalan-persoalan yang mencakupi isu-isu akidah, sosial, ekonomi, adat, budaya, politik dan lain-lain. Dengan demikian, kehidupan terus berjalan di bawah ajaran (hukum-hukum ) dan bimbingan agama Allah.

Setelah wafatnya Nabi s.a.w, dengan sistem sentralisasi kekuasaan (urusan dunia dan agama), maka yang mengambil alih kekuasaan berikutnya (urusan dunia/politik) adalah para khalifah yang bertindak sebagai eksekutif dan legislatif sekaligus, terutama yang berkaitan dengan urusan-urusan duniawi.

Ini menunjukkan institusi fatwa secara tidak langsung telah dapat dibangun. Para Khulafa Rasyidin adalah penguasa-penguasa yang berhak mengeluarkan fatwa untuk memberikan jawaban atau suatu alternatif kepada isu-isu terbaru demi memastikan kerelevanan syariat Islam dalam memperjuangkan kemaslahatan umat yang semakin luas.

Sekilas sejarah mencatatkan bahwa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. dengan berani dan tegas menfatwakan penyerangan dan peperangan terhadap nabi palsu, golongan yang enggan membayar zakat dan golongan murtad. Begitu pula yang dilakukan oleh Usman dalam kodifikasi al-Quran dan lain sebagainya.

Selanjutnya, kita akan membahas beberapa definisi tentang fatwa itu. Fatwa dilihat dari segi etimologi berasal dari kata al fatwa wal futyaa (fatawaa) yang berarti petuah, nasehat jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Sedangkan al- istifta’ berarti permintaan fatwa dan al-mufti adalah pemberi fatwa.

Dari segi terminologi fatwa adalah pendapat atau keputusan dari alim ulama atau ahli hukum Islam. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, fatwa adalah jawab (keputusan/pendapat) yang diberikan oleh mufti terhadap suatu masalah atau juga dinamakan dengan petuah. Sedangkan dalam ilmu ushul fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau fakih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam satu kasus yang sifatnya tidak mengikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut bisa pribadi, lembaga maupun kelompok masyarakat. Ada juga yang mengartikan fatwa sebagai pendapat mengenai suatu hukum dalam Islam yang merupakan tanggapan atau jawaban terhadap pertanyaan yang diajukan oleh peminta fatwa dan tidak mempunyai daya ikat.

Fatwa juga dapat diidentikkan dengan ra’yu. Ra’yu didefinisikan sebagai pendapat tetang suatu masalah yang tidak diatur oleh al-Qur’an dan Sunnah. Ra’yu adalah pendapat yang dipertimbangkan dengan matang, yang dicapai sebagai hasil pemikiran yang dalam dan upaya keras individu dengan tujuan menyingkapkan dan mencari pengetahuan tentang suatu subyek yang mungkin hanya menjadi pertanda  atau indikasi dari hal lain.

Fatwa yang dikemukakan oleh mujtahid atau fakih tersebut tidak mesti diikuti oleh orang yang meminta fatwa, dan karenanya fatwa tersebut tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang meminta fatwa tersebut disebut al-mustafi. Keperluan akan fatwa ini sudah terasa sejak awal perkembangan Islam. Dengan semakin menigkatnya penduduk Islam dan semakin meluasnya daerah Islam. Maka, konsekwensinya adalah banyak kaum muslimin yang jauh dari pusat “informasi Islam”. Sementara permasalahan semakin bertambah, dan memerlukan jawaban. Untuk keperluan tersebut dibutuhkan seorang yang memiliki kapasitas dan kapabilitas dalam hukum Islam. Disinilah dibutuhkan sosok mufti sebagai pemberi jawaban atas permasalahan tersebut.

Berdasarkan tinjauan singkat sejarah fatwa, ada tiga konsep berbeda yang berkaitan dengan istilah ini, yakni pengelolaan informasi tentang agama Islam secara umum, pemberian saran kepada Pengadilan, dan penafsiran atas hukum Islam. Konsep pertama, yang berperan sentral sepanjang sejarah, kembali monojol pada zaman modern, seperti terlihat dari isi dan definisi yang diberikan dalam kumpulan fatwa modern.

Konsep fatwa pada masa awal Islam berkembang dalam kerangka proses tanya jawab tentang informasi keIslaman. Subjeknya adalah ilmu, tanpa spesifikasi lebih lanjut. Kemudian, ketika ilmu dikaitkan dengan hadis, fatwa dikaitkan dengan ra’yu (opini) dan fiqh (yurisprudensi atau hukum). Pemakaian teknis istilah ini meningkat ketika-setelah kompilasi literatur hukum oleh berbagai mazhab- istilah fatwa dipakai untuk kasus-kasu yang tidak terliput dalam kitab-kitab fiqh.

Dari perspektif bidang subyek fatwa meliputi bidang yang lebih luas, seperti hukum, teologi, filsafat dan aqidah-yang tidak tercakup dalam kitab fiqh-. Sedangkan dari persfektis bidang otoritas, yudicial, yuridiksi dan keterlaksanaan fatwa dibedakan dengan qadha’, yuridiksi fatwa lebih luas daripada qadha’ seperti masalah ibadah keagamaan. Qadha’ mengikat dan harus dilaksanakan, sedang fatwa tidak. Sehingga konsep fatwa adalah sebagai instrumen tidak langsung untuk mendefinisikan konsep formal hukum, seperti diterapkan di Pengadilan.

Dalam kajian ushul fiqh, dilihat dari produk hukum, terdapat perbedaan antara mujtahid dan mufti. Para mujtahid berupaya meng-intinbath-kan hukum dari nash (al-Quran dan Sunnah) dalam berbagai kasus, baik diminta dari pihak lain maupun tidak. Sedangkan mufti tidak mengeluarkan fatwanya kecuali apabila diminta dan persoalan yang diajukan kepadanya adalah persoalan yang bisa dijawabnya sesuai dengan pengetahuannya. Oleh sebab itu, mufti dalam menghadapi suatu persoalan hukum harus benar-benar mengetahui secara rinci kasus yang dipertanyakan, mempertimbangkan kemaslahatan peminta fatwa, lingkungan yang mengitarinya, serta tujuan yang ingin dicapai dari fatwa tersebut. Ini sesuai denga kaidah ushul fiqh: “akibat dari suatu fatwa lebih berat dari fatwa itu sendiri”.

Dari beberapa definisi di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Fatwa itu berasal dari bahasa Arab, yang artinya adalah sebuah keputusan atau nasihat yang diambil oleh sebuah dewan mufti atau ulama. Kata fatwa ini masih berkerabat dengan kata peruah dalam bahasa Indonesia. Sedangkan Mufti adalah ulama yang memiliki wewenang untuk menginterpretasikan teks (nash/dalil/atau peristiwa yang belum ada penejelasannya dalam nash) dan memberikan fatwa kepada umat. Fungsi Mufti terkadang diambil oleh suatu organisasi ulama seperti Majelis Ulama Indonesi (MUI).

Proses dan Fungsi Fatwa
Pada prinsipnya keputusan hukum syar’iyah senantiasa mendasarkan pada hasil uasaha para ahli hukum atau para mufti dalam menggali ajaran-ajaran al-Quran dan as-Sunnah.
    1. dikeluarkan oleh mufti sebagai jawaban atas pertanyaan, fatwa adalah pendapat berdasarkan penafsiran atas syari’at
    2. sebagai lembaga hukum keagamaan penting, secara fundamental fatwa ikut andil dalam kesinambungan dinamisme hukumdalam peraturan-peraturan praktik lokal. Namun kategori spesialisasi hukum, fatwa kurang dikenal dari pada peradilan (Pertimbangan qadhi). Dari segi status teknis, pertimbangan hakim bersifat kreatif atau permormatif, artinya pertimbangan hakim bersifat mengikat dan memaksa. Sedangkan fatwa, bersifat informatif atau komunikatif, artinya pendapat mufti bersifat menasehati. Akan tetapi, dengan ketiadaan konsepsi tentang yurisprudensi dalam hubungannya dengan putusan peradilan syari’at, otoritas pertimbangan hakim cenderung berlaku terbatas pada kasus-kasus tertentu, sedangkan otoritas fatwa bersifat umum yang secara potensial dapat mencakup setiap bentuk kasus yang serupa. Pertimbangan hakim tercatat dalam catatan pengadilan dan tidak dipublikasikan, sedangkan fatwa seorang mufti dihimpun, dikutip dan disebarluaskan.
    3. hakim bertugas memeriksa pengakuan dan bukti dari pihak-pihak yang berselisih dan kemudian menetapkan suatu putusan, sedangkan proses penafsiran yang memunculkan suatu fatwa memiliki karakter yang berbeda. Mufti hanya menjawab individu yang bertanya.
    4. tidak seperti hakim pengadilan yang menyelidiki fakta dengan disertai bukti-bukti, mufti menerima fakta yang disampaikan dalam pertanyaan sebagaimana adanya
    5. baik hakim maupun mufti adalah penafsir syari’at, namun penafsiran mereka memiliki titik tolak yang berlainan. Penafsiran hakim diarahkan untuk memahami bentuk-bentuk pembuktian seperti kesaksian, pengakuan dan sumpah. Sedangkan penafsiran mufti merujuk pada sumber-sumber tekstual hukum seperti al-Qur’an dan Sunnah.
Referensi:
-Abdul Aziz Dahlan (Eds), Einsiklopedi Hukum Islam I (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999)
-Ahmad Warson Munawir, Al-Munawir Kamus Arab-Indonesia (Yogyakarta: 1984)
-Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990)
-John L. Esposito. Einsiklopedi Oxford Dunia Islam Modern jilid 2 (Bandung: Mizan, 2001)
-Mohammad Hasyim Kamali, Kebebasan Berpendapat Dalam Islam (Bandung: Mizan, 1996)
-Sudarsono. Kamus Hukum (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1990)
Yusuf Qardhawi, Fatwa Antara Ketelitian dan Kecerobohan (Jakarta: Gema Insani Press, 1997)

SUBSCRIBE TO OUR NEWSLETTER

Sarana Belajar Hukum Islam dan Hukum Positif

0 Response to "Pengertian, Proses dan Fungsi Fatwa"

Post a Comment

Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!