Biografi Syeikh Yusuf Al-Makassari
Pejuang
yang Berdakwah Tanpa Henti
Berjuang Melawan Penjajahan
Karomah dan Kewalian
Muhammad Yusuf
lahir di Gowa Sulawesi Selatan pada 13 Juli 1627. Ayahnya bernama Abdullah,
sementara ibunya adalah seorang wanita keluarga Kerajaan Gowa Sultan Ala’uddin
yang bernama Aminah. Nama Muhammad Yusuf diberikan oleh Sultan Ala’uddin
sendiri.
Kesultanan Gowa adalah salah satu kerajaan Islam yang terdapat di daerah
Sulawesi Selatan. Rakyat dari kerajaan ini berasal dari Suku Makassar yang
berdiam di ujung selatan dan pesisir barat Sulawesi. Kerajaan ini terletak di
wilayah yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Gowa dan beberapa kabupaten di
sekitarnya termasuk Kotamadya Makassar.
Muhammad Yusuf dididik menurut tradisi Islam, diajari bahasa Arab, fikih,
tauhid dan ilmu-ilmu keagamaan lainnya sejak dini. Sebagai seorang putera keluarga
bangsawan, Muhammad Yusuf berkesempatan mengenyam pendidikan yang sangat bagus
dengan belajar kepada ulama-ulama ternama pada zamannya, termasuk berkesempatan
menimba ilmu di pusat-pusat pendidikan ternama pada zamannya.
Karena salah satu pusat pendidikan keagamaan yang bagus berada di Cikoang,
sebagai seorang putera keluarga bangsawan maka Muhammad Yusuf pun berkesempatan
belajar ke sana. Cikoang pada saat itu merupakan perkampungan para guru-guru
agama. Mereka adalah keluarga-keluargasayyid Arab yang diyakini sebagai
keturunan (dzurriyat) Rasulullah Muhammad SAW. Pada usia 15
tahun Muhammad Yusuf belajar di Cikoang pada seorang sufi, ahli tasawuf,
mistik, guru agama, dan dai yang berkelana. Beberapa di antara para guru
Muhammad Yusuf yang terkenal adalah Syeikh Jalaludin al-Aidit, Sayyid Ba’lawi
At-Thahir dan Daeng Ri Tassamang.
Secara geografis, Cikoang saat ini berada termasuk ke dalam wilayah kecamatan
Mangarabombang Kabupaten Talakar yang terletak di bagian selatan Provinsi
Sulawesi Selatan dengan jarak 60 km dari Kota Metropolitan Makassar. Hingga
saat ini, di Cikoang terkenal dengan ritual Maulid Akbar Cikoang atau biasa
disebut Maudu’ Lompoa Cikoang (dalam bahasa Makassar) yang merupakan
perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Dalam perayaan
ini digelar berbagai atraksi budaya dengan ritual-ritual keagamaan yang digelar
setiap tahun di Bulan Rabiul Awal.
Berdakwah dan MengembaraSekembalinya belajar dari Cikoang Muhammad Yusuf menikah dengan seorang
putri Sultan Goa. Pada usia 18 tahun kemudian Muhammad Yusuf memulai
pengembaraannya dalam menuntut ilmu. Pada tahun 1644, dengan menumpang kapal
Melayu, Muhammad Yusuf segera berlayar untuk menunaikan ibadah haji dan
memperdalam ilmu-ilmu agama di Timur Tengah.Sesuai rute perjalanan kapal Melayu yang singgah di berbagai pelabuhan
kerajaan-kerajaan Nusantara waktu itu, Muhammad Yusuf banyak menyinggahi
berbagai daerah Nusantara. Salah satu yang kemudian menjadi sangat penting
dalam perjalanan hidup dan perjuangan Muhammad Yusuf adalah Banten, sebuah
pelabihan dagang yang dikendalikan oleh Kerajaan Islam Banten. Sebagai seorang
bangsawan, Muhammad Yusuf bersahabat dengan putra mahkota yang kelak memerintah
sebagai Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1683), seorang penguasa terakhir
Kesultanan Banten. Selain Banten, Muhammad Yusuf juga sempat singgah di Aceh
dalam perjalanan pengelbarannya ini.
D`ri Aceh, Muhamamad Yusuf kemudian berlayar ke Gujarat, Sebuah kawasan yang
menjadi salah satu negara bagian India sejak 1 Mei 1960. Gujarat dikenal
sebagai tempat yang asal para wali penyebar agama Islam di Nusantara, termasuk
beberapa wali songo yang kemudian bermukin di Jawa.
Di Gujarat inilah dikabarkan Muhammad Yusuf sempat bertemu dengan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniri, salah seorang penasihat Sultonah Shofiyatuddin, raja
perempuan Aceh. Syeikh Nuruddin Ar-Raniri adalah negarawan, ahli fikih, teolog,
sufi, sejarawan dan sastrawan penting dalam sejarah Melayu pada abad ke-17.
Nama aslinya adalah Nuruddin bin Ali bin Hasanji bin Muhammad Hamid Ar-Raniri.
Ia lahir di Ranir (Rander), Gujarat, India, dan mengaku memiliki darah suku
Quraisy,
Beberapa pendapat menyatakan bahwa Muhammad Yusuf bertemu dangan Syeikh
Nuruddin Ar-Raniri ketika Muhammad Yusuf singgah di Aceh. Hal ini didasarkan
pada pendapat yang menyatakan bahwa Syeikh Nuruddin Ar-Raniri meninggal dunia
pada 22 Zulhijjah 1069 H./21 September 1658 M. di Aceh. Pada masa-masa sebelum
1658 M. inilah Muhammad Yusuf bertemu dengan Syeikh Nuruddin Ar-Raniri di Aceh.
Dari Syeikh Nuruddin Ar-Raniri inilah Muhammad Yusuf belajar dan mendapatkan
ijazah Tarekat Qodiriyah.
Dari Aceh, Muhammad Yusuf kemudian bertolak ke Gujarat, Yaman, Damaskus
(Suriyah) hingga akhirnya ke Mekkah dan Madinah. Konon, Muhammad Yusuf sempat
berkelana hingga ke Istanbul (Turki) yang disebut dalam tambo-tambo Melayu
sebagai “Negeri Rum”. Di Yaman, Muhamamd Yusuf berguru pada Syeikh Abdullah
Muhammad bin Abd Al-Baqi,
Di Damaskus Muhammad Yusuf berguru kepada Syeikh Abu Al-Barkah Ayyub
bin Ahmad bin Ayyub Al-Khalwati Al-Quraisyi. Konon gurunya inilah yang
memberikan laqob (gelar panggilan) kepada Muhammad Yusuf dengan
“Al-Makassari.” Syeikh Abu Al-Barkah adalah gurunya yang memberikan
ijazah Tarekat Khalwatiyah kepadanya. Kelak, setelah Muhammad Yusuf menjadi
seorang ursyid, Ijazah Tarekat Khalwatiyah inilah yang kemudian menjadikannya
dikenal sebagai Syeikh Yusuf Tajul Khalwati.
Semenjak berada di Haramain (Makkah-Madinah) Muhamamd Yusuf telah dipandang
sebagai guru agama oleh orang-orang Melayu-Indonesia yang datang naik haji ke
Tanah Suci. Konon Muhammad Yusuf yang telah menjadi guru dan dipanggil sebagai
Syeikh Muhammad Yusuf al-Makassari ini sempat menikah dengan salah seorang
putri keturunan Imam Syafi’i di Mekkah yang meninggal dunia waktu melahirkan
bayi. Sebelum akhirnya pulang kembali ke Nusantara, Syeikh Muhammad Yusuf
al-Makassari sempat menikah lagi dengan seorang perempuan asal Sulawesi di
Jeddah.
Berjuang Melawan Penjajahan
Dengan Kedua Isterinya, isteri pertama yang menemaninya selama berkelana
dan isteri ketiga yang baru dinikahinya sewaktu di Jeddah, Syeikh Yusuf
al-Makassari pun kembali ke Nusantara. Beberapa sumber menyebutkan, Syeikh
Yusuf al-Makassari tidak pernah kembali ke Gowa, namun langsung menetap di
Banten. Sementara beberapa pendapat menyebutkan, setelah Kesultanan Gowa
mengalami kekalahan dalam peperangan melawan Belanda, Syeikh Yusuf al-Makassari
kembali berlayar ke Banten, ke tempat sahabatnya semasa remaja yang kini telah
menjadi seorang raja bergelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Di Banten, Sekitar tahun 1670 Syeikh Yusuf al-Makassari diangkat menjadi mufti
(penesehat spiritual) dengan murid dari berbagai daerah, termasuk 400 orang
asal Makassar yang dipimpin oleh Ali Karaeng Bisai. Syeikh Yusuf al-Makassari
tinggal kemudian menikah lagi dengan Putri Sultan Ageng Tirtayasa.
Kedalaman ilmu yang dimiliki Syeikh Yusuf menjadikan Beliau begitu cepat
terkenal dan menjadikan Banten sebagai Pusat pendidikan Islam. Banyak Murid
murid yang berdatangan dari berbagai penjuru negeri untuk belajar kepada Syeikh
Yusuf al-Makassari. Disamping mengajarkan tentang ilmu-ilmu syariat beliau juga
mengajarkan ilmu beladiri untuk berjuang bersama melawan penjajah Belanda.
Sehingga banyak di antara para pendekar di kesultanan Banten adalah murid
Syeikh Yusuf al-Makassari.
Murid -murid Syeikh yusuf Al makassari terkenal sebagai pendekar pendekar
Banten yang kebal terhadap Senjata membuat Pasukan Belanda kalang kabut. Syeikh
Yusuf al-Makassari memiliki pengaruhnya yang sangat besar terhadap rakyat
Banten untuk melawan Penjajah Belanda. Syeikh Yusuf al-Makassari memiliki peran
sangat penting dalam penyerbuan Banten ke Batavia. Ketika Belanda berhasil
memecah belah serta mengadu domba terhadap keluarga Sultan, maka Banten
terpaksa direpotkan oleh pemberontakan dari dalam keluarga kerajaan sendiri.
Sultan Ageng Tirtayasa pun terpaksa berperang melawan puteranya sendiri yang
bernama Sultan Haji dengan dukungan militer Belanda. Syeikh Yusuf al-Makassari
beserta 4.000 tentara Makassar dan Bugis memihak Sultan Ageng Tirtayasa.
Ketika pasukan Sultan Ageng dikalahkan Belanda tahun 1682, Syeikh Yusuf
al-Makassari pun turut terlibat dalam perang gerilya. Syeikh Yusuf
al-Makassari terus memimpin pasukannya bersama Pangeran Purabaya mengobarkan
perang gerilya. Pasukan yang dipimpinnya bergerilya hingga ke Karang dekat
Tasikmalaya.
Namun pada tahun ini juga Syeikh Yusuf al-Makassari dapat ditangkap oleh
Belanda. Awalnya, Syeikh Yusuf al-Makassari ditahan di Cirebon kemudian
dipindahkan ke Batavia (Jakarta). Karena pengaruhnya yang begitu besar dianggap
membahayakan kompeni Belanda. Syeikh Yusuf al-Makassari dan keluarga
kemudian diasingkan ke Sri Lanka.
Pada bulan September 1684, Syeikh Yusuf al-Makassari bersama dua
istrinya, beberapa anak, 12 murid, dan sejumlah perempuan pembantu dibuang ke
pulau Ceylon, kini Sri Lanka. Sementara Sultan Ageng Tirtayasa sendiri berhasil
ditangkap dan dikurung di Batavia hingga meninggal sebagai tawanan Belanda pada
tahun 1692 M.
Karena telah berada dalam pengasingan Belanda, maka sejak di Sri Lanka inilah
secara praktis, Syeikh Yusuf al-Makassari tidak lagi dapat menjalani dan
memimpin perjuangan fisik. Maka Syeikh Yusuf al-Makassari pun mulai
mencurahkan seluruh hidupnya untuk diabdikan dalam penyebaran dan pengembangan
agama Islam. Syeikh Yusuf al-Makassari kemudian menulis karya-karya
keagamaan dalam bahasa Arab, Melayu, dan Bugis.
Di pengasingannya di Sri Lanka, Syeikh Yusuf al-Makassari bertemu dengan
ulama Sri langka bernama Syeikh Ibrahim bin Mi’an dan sering mengadakan diskusi
kegamaan dan majlis ta’lim. Pembahasan tentang konsep Tasawuf yang diajarkan
oleh Syeikh Yusuf al-Makassari sangat menarik minta para ulama serta
jama’ah setempat dan mereka meminta kepada Syeikh Yusuf al-Makassari
untuk membuat sebuah kitab tentang tasawuf. Syeikh Yusuf
al-Makassari akhirnya mengarang Kitab tentang konsep tawasuf yang
berjudul “Kaifiyatut Tasawwuf.”
Dari pengasingannya, Syeikh Yusuf al-Makassari aktif menyusun sebuah
jaringan Islam yang luas di kalangan para haji yang singgah di Sri Lanka, di
kalangan para penguasa, dan raja-raja di Nusantara. Melalui jamaah haji yang
singgah ke Sri Lanka, Syeikh Yusuf masih dapat berkomunikasi dengan para
pengikutnya di Nusantara. Para kafilah haji inilah yang membawa karya-karya
Syeikh Yusuf al-Makassari ke Nusantara sehingga dapat dibaca di Indonesia
sampai sekarang. Di Sri Lanka, Syeikh Yusuf al-Makassari tetap aktif
menyebarkan agama Islam, sehingga memiliki murid ratusan, yang umumnya berasal
dari India Selatan.
Dakwah Tiada HentiMengingat aktivitas dakwah Syeikh Yusuf al-Makassari yang terus meningkat
dan dinilai membahayakan stabilitas politik penjajahan Belanda, maka VOC lalu
mengambil keputusan memindahkan Syeikh Yusuf al-Makassari ke Kaapstad di Afrika
Selatan. Belanda khawatir dampak dakwah agama Syeikh Yusuf al-Makassari akan
berpengaruh buruk bagi dan politik Belanda di Nusantara. Murid-murid Syeikh
Yusuf al-Makassari terus mengobarkan perlawanan-perlawanan yang mengancam
kekuasaan Belanda di Nusantara.Dalam usia 68 tahun, Syeikh Yusuf al-Makassari beserta rombongan pengikutnya
terdiri dari 49 orang tiba di Tanjung Harapan tanggal 2 April 1694 dengan
menumpang kapal Voetboog. Syeikh Yusuf al-Makassari di tempatkan di Zandvliet,
desa pertanian di muara Eerste Rivier, dengan tujuan supaya tidak bisa
berhubungan dengan orang-orang Indonesia yang telah datang lebih dahulu. Syeikh
Yusuf al-Makassari membangun pemukiman di Cape Town yang sekarang dikenal
sebagai Macassar.
Bersama ke-12 pengikutnya yang dinamakan imam-imam, Syeikh Yusuf al-Makassari
memusatkan kegiatan pada menyebarkan agama Islam di kalangan budak belian dan
orang buangan politik, termasuk di kalangan orang-orang Afrika kulit hitam yang
telah dibebaskan dan disebut Vryezwarten.
Syeikh Yusuf al-Makassari terus berjuang menyebarkan syiar Islam, memelihara
dan mempertahankan agama Islam di Afrika Selatan. Syeikh Yusuf al-Makassari
kemudian hidup sebagai sufi yang mengajarkan tarekat Qadiriyyah, Shattariyyah,
dan Rifaiyyah di kalangan Muslim Afrika Selatan.
Karomah dan Kewalian
Sebagai seorang mursyid tarekat, Syeikh Yusuf al-Makassari dikisahkan
memiliki berbagai karomah dan kewalian. Salah satu yang sangat terkenal adalah
mengislamkan kapten kapal yang membawanya ke pengasingan terakhir menuju Afrika
Selatan. Menurut cerita, dalam pelayaran yang membawanya menuju Kapstaad, atas
kapal Voetboog yang ditumpanginya beserta rombongan dihantam oleh badai besar
yang membuat nakhoda berkebangsaan Belanda, Van Beuren, ketakutan karena
mengira kapalnya akan tenggelam. Namun berkat wibawa dan karisma Syeikh Yusuf
al-Makassari kapten beserta nahkoda kapal dapat tetap tenang dan mengendalikan
kapal dengan selamat sampai di Kaapstad. Akibat pengalaman tersebut, sang
kapten memeluk agama Islam dan turut tinggal di pengasingan bersama Syeikh
Yusuf al-Makassari. Sampai sekarang keturunan kapten kapal ini tetap memeluk
Islam Muslim masih bermukim di Afrika Selatan.
Di Afrika Selatan, Syeikh Yusuf al-Makassari tetap berdakwah, dan memiliki
banyak pengikut. Ketika ia wafat pada tanggal 23 Mei 1699 M. para pengikut
Syeikh Yusuf al-Makassari menjadikan hari wafatnya sebagai hari peringatan.
Syeikh Yusuf al-Makassari dimakamkan di Faure, Cape Town. Makamnya terkenal
sebagai Karamah yang berarti keajaiban atau mukjizat. Bahkan, Nelson
Mandela, mantan Presiden Afrika Selatan, menyebut Syeikh Yusuf al-Makassari
yang juga salah seorang pahlawan nasional Indonesia ini sebagai 'Salah Seorang
Putra Afrika Terbaik'.
Sultan Gowa meminta kepada VOC supaya jenazah Syeikh Yusuf al-Makassari dibawa
kembali ke Tanah Airnya. Permintaan ini dikabulkan oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, sehingga jasad Syeikh Yusuf al-Makassari pun diboyong kembali ke
Nusantara. Jasad Syeikh Yusuf al-Makassari tiba di Goa pada tanggal 5 April
1705 dan dimakamkan kembali di Lakiung (sebuah wilayah di kerajaan Gowa) pada
hari Selasa tanggal 6 April 1705 M./12 Zulhidjah 1116 H. Seperti makamnya
di Faure, makamnya di Lakiung juga banyak diziarahi masyarakat.
Sumber:
nu.or.id
0 Response to "Biografi Syeikh Yusuf Al-Makassari"
Post a Comment
Terimah Kasih Telah Berkunjung Ke blog yang sederhana ini, tinggalkan jejak anda di salah satu kolom komentar artikel blog ini! jangan memasang link aktif!